Beberapa hari ini Ralin merasa lesu. Semangatnya untuk menyelesaikan hutang naskah novel untuk para pembacanya, menguap entah kemana. Draft naskah dramanya ditentang teman sekelompoknya, yang menolak saat Ralin meminta mereka saja untuk menulisnya. Nafsu makannya tak membaik, membuat Bik Suli mengomel dan Donna berulang kali membelikannya makanan di luar agar ia mau makan. Gangguan maagnya kembali datang, yang untungnya bisa reda dengan obatnya yang biasa. Dan di atas semua itu, ia berharap sekali bisa hidup terpisah dengan Yuga.
Tak ada yang berubah dari Yuga. Mereka berbincang biasa, seperlunya saja, walaupun Ralin sebisa mungkin menghindarinya. Hatinya masih sakit seperti diremas-remas mengingat apa yang disaksikannya tempo hari. Ia tak berhak marah, memangnya dia siapa? Tapi tetap saja ia merasa seperti terkhianati padahal hubungannya dengan Yuga hanya sebatas kakak adik.
Sepulang sekolah ia memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar untuk memulihkan suasana hatinya. Besok hari Sabtu, sekolah libur. Tak ada beban untuk sekadar bersantai sore ini. Ia pergi ke arah padang ilalang di bukit di belakang kompleks perumahannya, yang sudah lama sekali tak didatanginya. Mendung menggayuti langit. Ralin mendaki bukit ilalang itu dan duduk di puncaknya.
Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat birunya teluk Mangata di bawah sana dengan pasir putihnya yang berkilauan. Beberapa perahu mengapung damai di atas air. Jajaran pulau-pulau kecil di seberang Nusa Mangata terlihat abu-abu, tertutup kabut tipis. Atap-atap bangunan di kota Mangata berkelip dalam berkas sinar matahari yang lemah yang menerobos mendung di kejauhan sana. Pemandangan yang indah.
Angin semilir menghembus pelan ke arahnya. Tak jauh, di bawah bukit kecil tempatnya duduk, beberapa anak tengah menerbangkan layang-layang sambil berteriak-teriak antusias. Ralin duduk sambil memeluk lutut, merapatkan kardigan yang dipakainya, mencoba mengusir semua gundah yang masih merajai pikirannya.
Aku tak ingin pulang, ia membatin merana. Aku tak sanggup lagi bertemu Yuga.
Perih menusuk di bawah rusuk kirinya, membuatnya mengernyit. Gelombang rasa mual datang perlahan. Ia membenamkan wajah di lipatan lengan, meringis pelan. Tadi ia lupa makan siang. Tak banyak membantu, walaupun ia makan, perih dan mual ini tak akan hilang dengan mudah. Belakangan ini datangnya bahkan lebih intens. Gara-gara stres, ia tahu. Gara-gara memikirkan Yuga.
Ia memejamkan mata, menikmati angin sejuk beraroma asin yang membuainya. Suara teriakan anak-anak di bawah makin sayup. Ralin tersentak saat tetes hujan pertama jatuh di kakinya. Ia mendongak dan tetes demi tetes air yang dingin turun dengan cepat, berdetik lembut di wajahnya. Ia bangkit, berlari-lari menuruni bukit, sesekali terpeleset daun-daun ilalang yang basah. Hujan turun makin deras. Saat ia mencapai jalan beraspal yang menuju kompleks perumahannya, ia telah basah kuyup. Ralin memelankan langkah, tak memedulikan hujan. Sebisa mungkin berjalan selambat ia mampu, agar lebih lama sampai di rumah.
***
Hanya ada Bik Suli di rumah, yang menyambutnya dengan omelan panjang bernada cemas, lalu mengangsurkan sehelai handuk lebar padanya begitu Ralin melewati gerbang. Ralin menerimanya dengan penuh syukur, lalu membalut dirinya sendiri sebelum berjalan ke lantai 2 yang sepi.
“Tuan Yuga lagi keluar nyariin Nona Ralin!” Suara Bik Suli yang mengikutinya naik membuatnya menoleh. “Kalau mau keluyuran, bilang-bilang dulu, Non. Tuan Yuga cemas banget lho.”
Ralin tak menanggapi, berusaha tak terlalu memikirkannya. Yah, bukannya Yuga memang begitu? Menganggapnya adik yang harus dilindungi? Walaupun di sekolah dia cuek dan mereka nyaris tak pernah berinteraksi, di rumah dia berbeda. Lagipula, mungkin ia hanya mengikuti titah Mama untuk menemukanku, pikir Ralin sambil membuka pintu kamar. Nggak usah ge-er, nanti jatuhnya jauh lebih sakit.
Ralin meletakkan tasnya yang basah di pojok kamar agar tak membasahi karpet. Ia menutup pintu lalu melepas pakaian sekolah dan kardigannya yang kini melekat sempurna di tubuhnya. Ia menumpuknya dalam satu tumpukan di keranjang cucian, lalu mengambil pakaian ganti. Masih terbalut handuk, dengan satu tangan menenteng keranjang, tangan lain menekap baju ganti, ia keluar kamar dan berjalan ke kamar mandi.
“Bik! Ini bajuku.” Ia berseru pada Bik Suli yang telah menghilang, lalu meletakkan keranjang di dekat puncak tangga. Ia membuka pintu kamar mandi, dan baru saja hendak masuk saat langkah-langkah kaki terdengar di tangga. Sekejap kemudian sosok Yuga muncul, terengah dan wajahnya merah.
“RALIN!”
Ralin nyaris terlompat mendengar bentakannya, mengurungkan niatnya masuk walaupun ia kini benar-benar menggigil karena kulitnya yang basah.
“Apa?”
“Kamu kemana tadi? Aku keliling kota mencarimu! Bisa kabarin dulu kalau mau kemana-mana?”
“Ponselku mati, Kak.”
“Pulang dulu kek! Jangan asal menghilang, seperti tadi!” Yuga melirik jam di pergelangan tangannya. “Sudah jam segini lagi!”
“Maaf deh.” Ralin mengamati kekesalan Yuga yang tak asing. “Kamu sudah ada janji? Pergi aja. Aku kan sudah di rumah.”
“Sudah telat. Ngambek lagi deh Fani, gara-gara kamu!”
Fani lagi Fani lagi.
“Lain kali,” Ralin menatap Yuga lekat-lekat, “Lebih baik utamakan dulu pacarmu ketimbang aku. I’m okay, I’m fine. Aku nggak akan mati semudah itu, apalagi cuma gara-gara pulang telat tanpa ijin.” Ralin melangkah masuk ke kamar mandi. “Anyway, makasih banget sudah meluangkan waktumu yang sangat berharga untukku. It was an honor for me.”
Ia menutup pintu dengan keras di depan wajah Yuga.
***
“Minggu aja gimana? Kondisi gue lagi nggak fit nih!”
Ralin menggosok hidungnya yang kini meler akibat hujan-hujanan tadi. Beberapa kali ia bersin, menandakan pilek mulai menyerangnya. Udara dingin. Hujan masih turun deras di luar. Ia meringkuk di ranjangnya dengan memakai kaus berlengan panjang dan yoga pants selutut. Ponselnya menempel di telinga sementara suara Jenny memenuhi rongga pendengarannya.
“Pakai naskah yang mana? Punya gue? Kalian coba bikin dulu deh sesuai ide kalian. Siapa tahu lebih bagus.” Ia memutar bola mata mendengar jawaban Jenny. “Minggu sore ya. Besok gue mau istirahat dulu. Tadi kehujanan.” Ia tertawa pelan. “Ho-oh… Maunya kehujanan yang estetik gitu, tapi ujung-ujungnya pilek.”
Suara ketukan di pintu membuatnya menoleh. “Eh, gue makan dulu deh. Kita sambung lewat chat aja. Jangan lupa kirim naskah drama kelompok lain yang lo sebut tadi. Oke?” Ralin melempar ponselnya dan bangkit dari ranjang untuk membuka pintu.
Duh…
“Minggir.” Yuga menyentakkan kepala, menyuruhnya minggir. Ralin menghela napas jengkel, mengawasi lelaki itu berjalan ke arah meja belajarnya untuk meletakkan nampan berisi makan malamnya.
“Mana Bik Suli? Kenapa kamu yang bawa makananku naik?” protes Ralin, malas melihat tampang datarnya.
“Aku yang minta. Duduk.”
Yuga menunjuk kursi di sebelahnya, mendelik pada Ralin yang siap membantah. Ia masih terlihat sejengkel tadi. Ralin melengos kesal dan menurutinya. Ia duduk, memandang makan malamnya yang terdiri dari nasi beras merah dan lauk berupa sup bakso dan telur dadar. Ada mug berisi air jahe hangat, yang langsung diambilnya dan disesapnya perlahan dengan lega.
“Makan dulu. Setelah itu aku minta bantuanmu.” Yuga berjalan ke arah ranjang dan memeriksa laptop Ralin yang menyala.
“Bantuan apa? Membantumu baikan sama pacarmu? Nggak sudi ya!”
“Drama.” Yuga menukas. “Ayo, habiskan. Aku tunggu disini. Bik Suli bilang, kamu kalau makan sedikit-sedikit. Diet? Kamu perlu sekurus apa lagi?”
“Aku nggak diet. Sok tahu!” Ralin mengawasi Yuga yang menatap layar laptopnya dengan seksama. “Jangan dibaca!”
“Memangnya kenapa?” tanya Yuga tak acuh, masih asyik membaca novel yang dipublikasikan Ralin dengan nama pena samaran. “Cepat dimakan!”
Bimbang sejenak, lalu Ralin akhirnya menyuap makanannya, sesekali mengamati Yuga yang masih asyik membaca. Dalam waktu sepuluh menit semua makanan telah dilahapnya. Perutnya memang sedang lapar, dan kebetulan makanan kali ini adalah kesukaannya. Sambil menyesap air jahenya ia berjalan ke arah Yuga, mencari tahu apa yang tengah dibacanya. Ralin melongok dan menyaksikan salah satu novel yang ditulisnya tengah dibaca dengan tampang berminat oleh Yuga.
“Aku sudah selesai.”
Ralin mengingatkannya. Ia duduk di sebelah Yuga, menyodok lelaki itu agar bangkit, tapi Yuga tak mau bergeser. Ralin menyerah, beranjak bangkit, tapi Yuga menarik tangannya hingga ia duduk berimpitan dengan kakaknya itu. Ralin mulai panas dingin.
“Sudah deh, Kak.” Ralin bergerak menutup laptopnya, tapi Yuga menahannya. “Hei!”
“Jangan bilang kalau kamu yang nulis ini.” Yuga menggulirkan telunjuknya di touch pad laptop, mencari-cari nama penulis, dan masuk ke akun khusus penulis. Ia lalu menatap Ralin yang telah membuang muka. “Jawab dong.”
“Iya. Memang aku.” Ralin mengusap rambut panjangnya yang masih setengah basah, menghindari tatapan Yuga. “Katamu tadi mau minta tolong. Ayo.”
Yuga terdiam, masih memandangi layar laptop, membaca cepat tulisan di dalamnya.
“Kamu hebat.” Ia bergumam, memandang Ralin. “Tulisanmu bagus. Maksudku, aku nggak pernah menyangka kamu bisa menulis seperti ini. Genrenya romance thriller kan? Aku nggak suka genre itu. Tapi caramu menuliskannya nggak murahan atau pasaran. Keren.”
Ralin merasakan pipinya menghangat, ditambah tatapan Yuga yang intens membuatnya makin salah tingkah.
“Thanks untuk pujiannya.” Ia menyesap air jahenya lagi. “Tapi jangan pernah cerita ke siapapun soal ini. Oke? Aku nggak suka publisitas.”
“Tenang saja.” Yuga bangkit dan menarik Ralin hingga berdiri. “Ayo. Naskahnya masih di kamarku.” Ia masih menggenggam tangan Ralin saat mereka melewati ambang pintu. Ralin berharap sekali bisa pergi menjauh darinya saat matanya menangkap benda di atas meja.
“Duluan aja. Aku bawa ini ke dapur.” Dan Yuga melepas genggamannya, membuatnya bisa bernapas lega. Untuk sesaat.
***
“Irene memang luar biasa.”
Ralin menyeringai membaca naskah di tangannya, terkikik melihat beberapa kalimat bernada vulgar di dalamnya, lalu berakhir merona saat melihat bagian penutupnya. Ia membelalak, dengan wajah terasa hangat, lalu mendongak menatap Yuga yang ternyata tengah menatapnya tajam.
“Ini bercanda kan?” lengking Ralin, melambaikan lembaran kertas di tangannya. “Kalian nggak mungkin ciuman di depan Pak Nando. Nekat banget!” Ia meneliti ekspresi Yuga yang masih datar. “Kamu mau-mau aja? Kenapa nggak protes?”
“Nggak bisa. Naskah ini udah disetujui Pak Nando. Aku nggak bisa apa-apa.” Yuga menggeleng lesu.
Sial, enak banget si Irene, pikir Ralin gemas.
“Yah, kalau begitu...lebih baik kamu latihan langsung dengan Irene kan? Adegan ini perlu chemistry…”
“Persetan deh dengan chemistry! Yang penting aku membawakan peran itu, mau bagus kek mau payah kek, aku nggak peduli. Nilai raportku nggak akan jeblok cuma gara-gara nilai Seni Teater yang hancur. Toh semester depan pelajaran ini akan diganti dengan Seni Musik.” Yuga merampas kertas di tangan Ralin, lalu membelalak menatap tulisan di dalamnya. “Kita mulai dari awal. Langsung dipraktekkan?”
Ralin mengerjap.
“Latihan baca dialog dulu biar dapat intonasi dan vokal yang bagus. Nanti baru lanjut olah gerak tubuh sekalian pendalaman karakter.”
Mereka duduk berdampingan di atas karpet, bersandar di tepi ranjang Yuga, membaca lembar kertas yang sama.
“Kamu duluan, Kak.” Ralin mengingatkan.
“Sejak kapan kamu memanggil aku ‘Kakak’?” tanya Yuga tiba-tiba. “Nanti keterusan, Ralin.”
“Di sekolah juga kita nggak pernah saling bicara. Nggak masalah kan?”
“Kalau keceplosan?”
“Nggak akan.” Ralin mendelik padanya. Dengan lengan mereka saling menempel, jantungnya kini sudah memberontak. Ia berpaling saat dirasakannya wajahnya berubah hangat. “Buruan! Aku ngantuk tahu. Kepalaku pusing. Kayaknya mau flu.”
“Wajahmu merah.” Yuga berkata. Sedetik kemudian telapak tangannya menempel di dahi Ralin. “Nggak panas.”
Ralin menepis tangannya, sebisa mungkin menormalkan napasnya agar tak kentara salah tingkah di depan Yuga. “Ayolah, Kak.”
“Oke.” Yuga menatap lembaran naskahnya. “Jangan sampai baper ya.” Yuga meliriknya dan tersenyum. Ralin tak menanggapi, memilih pura-pura mengamati kakinya.
“’Siapakah gadis cantik bergaun biru itu? Diakah yang bernama Juliet Capulet?’”
“Pelafalannya kurang bagus, Kak. Kurang jelas kedengarannya.” Ralin melongok naskah di tangan Yuga. “Kenapa bacanya dari sana? Nggak dari awal?”
“Terserah aku saja deh! Dialognya panjang – panjang. Sialan si Irene.”
Ralin mengangkat bahu, membiarkan Yuga membaca lagi, memilih-milih bagian mana yang menurutnya menarik. Ia membaca lagi, dikoreksi lagi oleh Ralin, begitu seterusnya sampai akhirnya ia kehabisan kesabaran dan melempar kertas di tangannya jauh-jauh.
“Aku nyerah!” Ia mengacak-acak rambutnya dengan gusar. Ralin mendengus sinis, dan meraih kertas tadi, lalu membacanya.
“Langsung dipraktekin aja deh biar kamu nggak bosan. Ayo, bangun.”
Ralin berdiri. Yuga memberengut padanya, lalu bangkit dengan enggan. Ralin lalu naik dan berdiri di ranjang. Yuga menatapnya terheran-heran.
“Kamu ngapain?” tanyanya.
“Kalau kamu tahu kisah aslinya, Juliet itu harusnya berdiri di balkon, lalu si Romeo memanjat naik untuk bisa bertemu dengannya. Bukannya yang seperti ini.” Ralin menunjuk naskah di tangannya dengan gusar. “Ini sih versi sinetronnya.”
“Ralin, ikutin yang tertulis disana saja. Kamu lebay banget!”
“Kalau begitu, silakan latihan sendiri.” Ralin mengangsurkan naskah pada Yuga. “Aku mau tidur dulu. Ngantuk.”
“Hei….heiiiiii…..”
“Good night, Kakak.”
Ralin melompat turun lalu berjalan ke arah pintu.
“Oke!” Yuga menariknya mendekat. “Lanjutin aja. Naik lagi.”
Ralin menghela napas, gagal kabur dari Yuga. Kalau saja ia tak ingat-ingat akan meminta bantuannya untuk pelajaran Matematika, Ralin tak akan mau menolongnya latihan drama percintaan seperti ini. Perihnya dijamin akan abadi selamanya.
Ralin lalu membaca dialog bagian Juliet, memadukannya dengan gerakan tubuh yang pas, lalu mendorong Yuga agar mau melakukan hal yang sama. Yuga yang awalnya enggan terlihat sedikit lebih antusias dan lama-lama vokalisasinya makin baik, tinggal memadukannya dengan gestur yang tepat saja, ia akan menjiwai perannya sebagai Romeo.
Juliet (versi Ralin) : (menunduk di balkon, mencari-cari sosok Romeo) Romeo, apakah kau datang? Jangan katakan kau lupa pada janjimu. Romeo!
Romeo (versi naskah) : (berlari menghampiri Juliet) Sayangku, aku datang. (memeluk Juliet)
“Turun sini!”
Ralin membelalak pada Yuga.
“Sorry? Lanjut aja kenapa?” tanyanya, jengah melihat tulisan di naskah. “Kita kan cuma latihan dialog, Kak. Bagian-bagian yang itu silakan latih bareng Irene aja.” Bulu kuduk Ralin kontan meremang. Yuga mengedikkan bahu, menyetujui ucapan Ralin yang kini telah turun dari ranjang dan berdiri di sebelahnya.
Juliet : (menangis dalam pelukan Romeo) Bawa aku pergi dari sini. Tolong. Aku tak bisa hidup tanpamu, Romeo. Lebih baik aku mati jika harus hidup tanpamu.
Yuga menatap Ralin selama beberapa saat sebelum melanjutkan membaca dialog bagiannya.
Romeo : Besok. Tunggulah aku besok di tempat biasa. Tunggu hingga matahari terbenam. Jika aku tak datang, artinya aku telah mati. Jangan tunggu aku lagi dan pergi. Mengerti? (mengusap pipi Juliet, menciumnya tepat di bibir)
Yuga dan Ralin saling membelalak, lalu sama-sama memalingkan wajah dengan canggung. Keheningan turun diantara mereka.
“Ehm…sudah bagus, Kak.” Ralin akhirnya berdeham. “Aku yakin kamu bisa memerankannya dengan baik, apalagi ini drama romantis, bukan hal baru buatmu kan? Kamu sudah pernah melakukan semuanya sebelumnya.” Ralin meremas tangannya saat mengucapkannya.
“Kamu lihat ya?”
“Lihat apa?”
“Aku dan Fani, sore itu.”
Yuga tak memberinya kesempatan mengelak. Tangannya menyentuh pipi Ralin, memaksa gadis itu membalas tatapannya. Ralin menepisnya, namun secepat itu juga Yuga mencekal pergelangan tangannya.
“Iya, aku lihat. Nggak sengaja.” Ralin menarik tangannya hingga terlepas dari cekalan Yuga.
“Jangan bilang kalau kecurigaan Fani selama ini benar. Tentangmu.”
Kecurigaan apa lagi sih? Ralin tak tahan lagi dan ingin pergi saja sebelum topengnya terlepas begitu saja. Ia tak akan bisa menghadapi Yuga lagi jika itu terjadi.
“Jangan mulai menebak-nebak deh. Dan jangan bahas itu lagi. Nggak ada hubungannya dengan latihan ini kan?” Ralin memijat keningnya, kepalanya terasa makin berat. “Masih mau lanjut lagi? Atau besok aja? Atau latihan sama pacarmu aja sekalian, Kak. Biar lebih menjiwai.”
Yuga tak menjawab. Ralin menggelengkan kepala dan berbalik ke arah pintu.
“Aku melihatmu menangis, Lin.”
Ralin memejamkan mata. Terus kenapa, geramnya dalam diamnya. Nggak ada artinya juga untukmu kan? Kenapa pula mesti dibahas-bahas seolah itu hal luar biasa untuk seorang Yugara?
“Kamu salah lihat.” Ia merasakan gerakan Yuga di belakangnya. “Atau, lagi-lagi kamu berprasangka.”
Yuga menarik lengannya hingga Ralin terhuyung, nyaris jatuh. Yuga menangkapnya sebelum ia benar-benar jatuh ke atas karpet. Posisi mereka kini canggung, dengan lengan Yuga menahan satu sisi tubuh Ralin, sementara Ralin mencekal kedua bahu Yuga sebagai pegangan. Ralin mencelat menjauh, melepaskan diri, hingga akhirnya benar-benar jatuh di karpet. Cepat-cepat ia berdiri di luar jangkauan Yuga.
“Hei, aku nggak bermaksud…”
“It’s okay. Harusnya aku nggak sampai jatuh tadi. Maaf.”
“Lin, apa yang kamu sembunyikan sebenarnya?” tanya Yuga pelan.
“Apapun itu, bukan hal yang penting untukmu, Kak. Bukan hal yang penting untuk siapa-siapa.” Ralin mengedikkan bahu, terlihat lesu. “Sudahi dulu ya. Aku…aku…pusing sekali.”
Ia membuka pintu, mengabaikan panggilan Yuga, lalu menutupnya. Dalam dua langkah ia mencapai pintu kamarnya sendiri dan membukanya. Matanya makin terasa panas, dan butir pertama airmatanya menetes tanpa bisa dicegah. Ia mendorong pintu hingga menutup, sekilas melihat sosok Yuga yang telah membuka kembali pintu di seberang. Ralin memalingkan wajah, namun Yuga telah melihat airmatanya.