Malam Sabtu.
Chi memperhatikan punggung Marco yang memasak di dapur tanpa pakaian. Pria itu hanya mengenakan celana joger berbahan kaos dengan strip putih pada sisinya.
Dia terus memperhatikan guratan otot kekar Marco. Chi tersenyum sendiri sambil menopang dagu.
Sesekali Marco melirik dan mata mereka bertemu. Keduanya saling mengalihkan tatapan dengan wajah merona merah.
Tak berselang lama Marco menghidangkan pasta lengkap dengan saus daging dan parutan keju.
"Wow!" Chi terlihat takjub dengan keahlian Marco.
"Sudah kubilang, aku pandai memasak!" Marco memuji diri sendiri. Membuat chi mengangkat tangan dan mencubit pangkal lengan Marco.
Dia suka gemas saat Marco terlalu percaya diri. Dari dulu mereka selalu menghabiskan waktu bersama, dan kebiasaan Chi adalah mencubit pangkal lengan kakak pantinya itu.
Marco pura pura meringis. Tapi Chi merasa lain. Dia tak lagi mendapati lengan lembut seperti dulu, dimana dia dengan mudah mencubit kulit Marco dan membuat kakaknya itu mengomel marah. Kali ini dia malah mendapati senyum menggoda dari wajah Marco karena Chi tak bisa menggamit dalam lengan nya karena sudah berubah menjadi otot.
"Kenapa kakak tidak pakai baju sih!" Ujar Chi mengalihkan topik. Dia sudah gagal membuat Marco meringis karena cubitannya sekarang dia protes Marco bertelanjang dada. Kenapa tidak dari tadi.
"Kalau sedang menghadap kompor kan gerah. Jadi aku sering memasak seperti ini!" Ujar Marco memamerkan tubuhnya.
Chi membuang pandangan dengan pipi bersemu merah muda.
"Ck. Bagaimana bisa kau begitu di depanku. Kitakan bukan bocah yang masih bisa mandi bersama hanya dengan mengenakan celana dalam saja!" Gumam Chi jengkel sendiri.
Mendengar kalimat Chi Marco jadi terkekeh geli.
"Ihh.. kepala ini!" Tunjuk nya pada kepala Chi dengan wajah gemas. Gadis itu berusaha menghindar dan menepis telunjuk Marco.
"Bagaimana kau masih mengingat momen momen mandi bersama kita. Itu vulgar tau!" Goda Marco.
"Apaan sih kak! Itukan waktu kita kecil. Lagian kakak yang rajin memandikan ku. Menyisir rambutku. Menyuapiku. Bagaimana aku bisa lupa. Kakak begitu baik dan perhatian padaku. Ck!" Chi balas kesal. Dia masih mengingat semuanya dengan jelas.
"Yang seperti itu tuh tidak akan pernah aku lupakan!" Ujar Chi dengan wajah percaya diri! Dia membuat senyuman malu malu sendiri. Kenapa dia bisa mengatakan semua itu dengan lancar. Dia sendiri bingung.
"Kenapa kau senyum senyum sendiri. Nanti makananmu keburu dingin!" Ujar Marco menunjuk hidangan untuk Chi. Gadis itu malah menggeleng.
"Bukan apa apa ka. Cuma aku aneh aja."
"Aneh bagaimana?"
"Rasanya aku melihat ka Marco masih sama seperti dulu. Rasanya aku bisa bicara bebas dan manja. Rasanya aku seperti Chi yang dulu, yang selalu bergantung pada kakak tanpa sungkan. Padahal kan.."
"Padahal apa?" Selidik Marco menjeda suapannya. Dia menyisakan satu sendokan saja. Menunggu Chi melanjutkan kalimatnya, pria itu menghabisi spageti di piringnya. Sekarang dia menyambar piring Chi, tanpa gadis itu sadari.
"Padahal kan kita sudah berbeda. Kita terpisah lama. Dan aku masih saja merasa kau itu kakak yang baik dan menyayangiku.." lirih chi menyembunyikan senyum getirnya. Dia merasa sedikit sedih.
"Aku benar benar konyol.." kali ini bola matanya jadi berkaca kaca. "Aku merasa masih saja seperti bocah kecil saat berhadapan denganmu ka. Aku ini kan sudah besar. Kenapa sih aku begini.." Chi menghapus air matanya dengan telapak tangan. Tingkah gugup Chi membuat Marco tersenyum senang.
"Kenapa?" Tanya Marco. Chi menjeda tangisan nya. Dia sedikit memutar tubuh agar bisa menghadap arah Marco duduk.
"Ka. Aku dikenal introvert. Aku ga bisa bergaul sama sembarang orang. Aku ga bisa bicara sama anak cowok dengan tenang. Rasanya aku selalu gugup ka."
Marco mengangguk menyimak.
"Tapi sama kakak, aku merasa lepas. Aku merasa bisa jadi diriku sendiri ka." Lirih Chi. Tangannya terangkat dan meraih lengan Marco, pria itu sedikit terkejut. Dia sedang memegang piring Chi saat ini. Dia segera meletakkan piring perlahan di meja. Dan menyandarkan kepala Chi ke lengannya yang tak beralaskan kain.
"Aku sangat senang bisa bertemu lagi dengan kakak.." bisik Chi. Dia menangis lagi.
"Keluargaku sangat tegas dan disiplin. Aku dituntut menjadi anak yang cerdas. Aku tak pandai bergaul dan tak memiliki banyak teman.. aku merasa begitu senang ada kakak di sini.. aku tidak sendirian lagi rasanya."
Marco tersenyum dan mengelus kepala Chi lembut.
"Chi.. aku juga senang kita bertemu di sini. Kau tahu aku ini cukup tampan dan gagah!" Chi mengangkat kepalanya mendengar ucapan Marco. Dia memukul lengan kakak nya itu.
"His.. kau menyebalkan." Gusar Chi dengan mencibir.
"Hahaha.. meski aku tampan dan gagah. Aku tak pernah berpikir untuk dekat dengan seorang gadis. Apa kau tahu karena apa?"
Chi membuang muka masih dengan mencibir. "Tidak tahu tuh!" Jawabnya menahan jengkel. Kakak pasti bohong kan!
"Lihat aku Chi.." pinta Marco menggamit dagu Chi agar menatap wajahnya.
Mereka saling menatap wajah masing masing.
Dua anak panti yang besar dalam keluarga yang baik secara finansial.
"Dulu kita selalu berbagi makanan dan pekerjaan. Kita hidup sederhana dengan pakaian seadanya. Tapi bagiku itu adalah saat saat yang paling menyenangkan. Aku bisa menemani kau tidur. Memandikan mu. Menyisir mu. Mengajari otakmu yang bebal ini!" Tunjuk Marco mendarat lagi di dahi Chi. Kali ini chi masih mau protes dengan tudingan jari Marco.
"Enak saja. Aku sudah jadi bintang kelas sekarang!" Sungutnya dengan wajah jengkel tapi tetap saja cantik dan menggemaskan.
"Bohong!" Balas Marco. Chi cemberut.
"Kakak yang bohong!"
"Apanya!"
"Kakak bilang tidak tertarik pada gadis. Tapi kakak menggodaku dengan begitu alami!" Protes Chi manja.
"Hah. Siapa yang menggodamu. Kau ge-er deh!" Balas Marco memutar badan dan melipat tangan di dada.
"Ish.. kau menyebalkan. Kau pasti sudah punya kekasih dan menggodaku kan!" Tuduh Chi tanpa alasan. Dia cuma ingin memastikan kalau Marco benar jujur padanya. Karena sikap Marco begitu manis pastilah banyak gadis yang luluh. Termasuk dia kan!
Chi terdiam menatap punggung Marco yang bidang lengkap dengan guratan otot memukau. Tak sadar dia menelan ludah. Hayoo apa yang kau pikirkan Chi! Gadis itu menggeleng cepat dengan bola mata membulat. Dia berusaha membuang pikiran kotornya.
"Aku mana mungkin ber--"
Marco membalikkan tubuh dengan cepat. Dia juga bicara tak kalah cepat, tapi saat tubuhnya berbalik dia mendapati tubuh Chi yang mematung dengan bola mata membulat dan pipi yang merona. Marco mengerutkan dahi.
"Kau kenapa?" Tanya nya pada wajah bengong Chi!
"Apa kau sakit?" Marco memeriksa dahi Chi dengan telapak tangannya. Membuat darah Chi berdesir panas.
"Aish. Kau panas. Apa karena telat makan. Sekarang ayo makan dulu!" Dengan wajah panik Marco meraih garpu dan memutar spageti.
"Jangan bilang kau tak makan selama kerja ya. Kau melewatkan makan siang ya. Ya ampun anak ini masih saja ceroboh dan seenaknya. Sekarang kau harus habiskan semua ini. Aku akan memasak lagi supaya perutmu itu tercukupi. Lihat kau bahkan terlihat lebih mungil daripada kau berusia empat tahun!"
Chi tergelak mendengar ocehan Marco yang tanpa tanda koma itu.
"Sekarang buka mulutmu. Cepat!" Chi tak membalas ucapan tinggi Marco. Gadis itu membuka mulutnya dan menerima suapan Marco.
Rasanya makanan ini seribu kali lebih enak daripada menu restoran mahal sekalipun. Chi mengunyah dengan mata tertutup. Dia menghayati rasanya.
Makan masakan Marco yang sudah lama dia rindukan. Suapan tangan Marco yang begitu sabar dan hangat. Perhatiannya. Ocehannya. Dia merindukan perasaan ini. Perasaan yang begitu langkah dalam hidupnya.
"Terima kasih ka.." lirih nya hampir tanpa suara sambil menggamit sisa makanan yang tersisa di sudut bibirnya.