"Hah? Kamu membeli seluruh sekolah?"
Apakah pria ini gila, hanya untuk membuat kepala sekolahnya meminta maaf pada Sandra, ia sampai membeli sekolah? Apakah di matanya uang terbuat dari daun?
"Kenapa tidak? Tidak ada seorangpun yang boleh menggertak calon istriku." ujar Nico dengan santai.
"Kamu terlalu impulsif! Uang sebanyak itu lebih baik digunakan untuk keperluan lain yang lebih penting. Apalagi alasannya sangat sepele. Kalau misal yang menyinggung perasaanku adalah perusahaan besar atau bahkan negara lalu kamu mau berbuat apa?" Sandra menganggapnya tidak realistis.
"Mudah. Kalau itu perusahaan aku tinggal membelinya. Kalau itu negara aku akan berhenti berhenti berdagang," jawab Nico dengan yakin tidak menunjukkan rasa takut sedikitpun.
Kepercayaan diri Nico bukan tanpa alasan. Perusahaannya beroperasi hampir di semua negara di dunia. Kehilangan satu atau dua negara sebagai tempat berbisnis bukan kerugian besar. Bahkan kemungkinan itu pun hampir mustahil terjadi. Mana mungkin negara yang juga bergantung pada bisnisnya berani menyinggung dia? Mustahil.
Sandra yang belum terlalu paham tentang dunia bisnis tidak bisa berkomentar apapun terkait jawaban Nico.Tapi jika itu semua benar, bukankah orang ini memiliki kekuasaannya yang begitu luar biasa? Sandra bahkan merinding membayangkannya bisa membeli semua perusahaan sesukanya. Dalam pikiran Sandra, mungkin perusahaan milik Nico setara dengan East Group yang berupaya membeli perusahaan ayahnya sebagai ganti hutang.
"Terserah kamu saja." Sandra menyerah.
Nico sedikit membungkukkan punggungnya. "Sejujurnya, bukannya itu keren?"
Mendengar pertanyaan itu, Sandra tercengang sejenak. Sejak awal dia tahu bahwa pacarnya adalah orang yang berkuasa dan mampu melakukan segalanya. Tapi ia masih tidak menyangka dia bahkan melakukan sampai sejauh ini, hanya untuk Sandra. Ia menjadi semakin yakin dengan cinta pria ini kepadanya. Sepertinya ia membuat pilihan hidup yang tepat untuk bersama dengan Nico.
"Keren." Sebuah senyuman menghiasi wajah Sandra. "Dari dulu aku sangat benci kepala sekolah yang suka seenaknya itu. Dia seperti penyihir yang meneror seisi sekolah. Melihatnya berlutut di depanku benar-benar membuatku puas hehe "
Tersenyum puas, Nico mendekatkan bibirnya ke telinga Sandra dan berbisik dengan suara pelan, "Bukankah aku pantas mendapatkan sesuatu?"
Suaranya begitu dalam, merasuk melalui telinga Sandra hingga tenggelam ke dalam jiwanya. Saat itu juga Sandra mengetahui apa maksud pria itu. Gadis itu tersipu malu, tangannya memukul dada Nico dengan manja. Tapi dia tidak bisa menolak, dan dia tidak ingin menolak. Ia telah berhutang ciuman kasih sayang padanya. Berdasarkan pengalaman pribadinya, tentu saja Sandra adalah orang yang paling paham bahwa hutang harus selalu dibayarkan.
"Oke kita lakukan itu nanti."
Itulah jawaban yang paling ditunggu Nico. Pria itu melingkarkan tangannya di pinggang kecil Sandra dan menarik gadis itu ke dadanya. "Bagus."
"Nanti dulu." Sandra mendorong tubuh Nico dengan pelan, mencoba menyembunyikan wajah merahnya.
Apa yang harus dilakukan, apa yang harus dilakukan, pesona pria ini begitu hebat sehingga dia tidak tahan lagi. Belum lagi sifatnya yang tidak sabaran selalu saja berhasil membuat gadis itu salah tingkah.
"Oke aku tunggu ciuman darimu malam ini." Nico menyeringai.
Sandra hanya mengangguk kecil. Entah kenapa dia merasa sepertinya Nico menantikan lebih dari sekedar ciuman. Ah, sungguh menyeramkan. Malam ini dia pasti akan dibuat tidak tenang dan panik karena rasa gugup. Tapi disisi lain, gadis itu juga diam-diam menantikan nanti malam. Hatinya gugup, tetapi tetap bersemangat. Dasar.
Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba mengusir pikiran-pikiran aneh di kepalanya. Ia harus fokus sejenak memikirkan keluarganya.
"Ngomong-ngomong, aku harus kembali ke rumah keluargaku dulu untuk memberikan cek itu kepada ayahku," ujar Sandra tersadar bahwa ada cek bernilai miliaran rupiah di dalam tas ranselnya.
"Baiklah, aku akan menunggumu pulang." Nico menghentikan sepedanya di tepi jalan. Dia turun dari sepedanya dan mencoba menghentikan taksi untuk Sandra.
"Oh iya, kenapa kamu tidak mengantarku saja." Sandra tersenyum, merasa mendapatkan ide yang cemerlang. Saat ini Sandra bahkan sudah siap untuk memperkenalkan Nico secara resmi ke keluarganya, terutama ayahnya.
Nico menggeleng, "Aku masih harus mengerjakan sesuatu. Lain kali saja". Tak lama, sebuah taksi berhenti di depan mereka. Nico membukakan pintu dan meminta Sandra masuk. Pria itu lalu pergi setelah melihat gadisnya masuk ke dalam mobil.
Merasa kecewa, Sandra menyandarkan kepalanya di kursi taksi dengan lesu. Dia tidak mengerti mengapa Nico tidak ingin ikut ke rumahnya. Bukankah selama ini yang selalu berbicara soal hubungan serius dan pernikahan adalah dirinya? Alangkah lebih baik jika dia bisa segera bertemu dengan keluarganya. Apalagi keluarganya masih sangat ragu dengan sosok pacarnya, terutama ayahnya.
Setengah jam kemudian, taksi berhenti di gerbang kediaman Hartono. Secara kebetulan bersamaan dengan kedatangan Diana yang juga pulang dengan mobil mewah. Kedua saudara itu pun bertemu.
"Kakak." Sandra menyapa lebih dulu dengan sopan.
"Siapa yang kau sebut kakak? Dasar munafik." Diana masih marah tentang kejadian terakhir kali di apartemen Sandra. bagaimana dia bisa menunjukkan wajahnya ke adik tirinya setelah kejadian yang begitu membuat harga dirinya terinjak.
Dengan cepat ia masuk mendahului adiknya tanpa mempedulikannya lagi. Sementara Sandra yang sudah terbiasa diperlakukan buruk oleh kakaknya itu hanya berjalan di belakangnya dalam diam.
"Nona Sandra sudah pulang!" sambut seorang pelayan rumah dengan wajah senang. "Mengapa kamu tidak memberitahuku sebelumnya, aku bisa memasak hidangan favoritmu." Melihat kembalinya Sandra, wanita paruh baya itu begitu gembira, ia telah menganggap Sandra seperti anaknya sendiri.
"Tidak perlu repot-repot bibi. Apakah Ayah ada di rumah?" Sandra tersenyum dan memegang tangan bibi itu.
"Tuan dan Nyonya sedang makan malam. Mari silahkan masuk nona."
Sandra mengangguk dan bergegas masuk ke ruang makan.
Segera setelah Diana duduk, dia melihat Sandra juga masuk. Suasana hatinya menjadi begitu buruk. Ia jadi tidak nafsu makan.
"Sandra, kenapa kamu tidak mengabari kami dulu kalau akan pulang? Bibi, cepat siapkan peralatan makan untuk Sandra!" ujar Kalina segera setelah melihat Sandra masuk.
Sandra tersenyum acuh tak acuh, dan berjalan untuk berdiri di samping ayahnya. Dia tidak berencana untuk makan malam di rumah ini. Tidak sudi untuk duduk satu meja dengan ibunya yang bermuka dua dan kakak tiri yang selalu memancing emosi setiap kali membuka mulutnya.
"Aku tidak ingin merepotkan kalian semua. Lagipula aku hanya kesini untuk menyerahkan ini." Gadis itu segera mengeluarkan cek dari tas ranselnya. "Ayah, silahkan terima uang ini. Orang-orang dari East Group tidak akan mengganggumu lagi."
Ayah Sandra mengambil cek dan membetulkan letak kacamata bacanya. Tangannya gemetar ketakutan. "Sandra... dari mana kamu mendapatkan begitu banyak uang?"
Dengan jumlah yang tertera di cek itu, ayahnya dapat membayar secara keseluruhan hutang yang telah melilit perusahaan keluarganya. Bahkan ditambah dengan jumlah uang yang beberapa hari yang lalu diberikan Sandra, sudah cukup untuk menghidupkan kembali Hartono Group. Harris Hartono sangat bersemangat. Namun di sisi lain ia juga merasa cemas dengan Sandra. Apa yang dilakukan anak gadisnya sehingga pria itu mau memberikan uang sebanyak ini untuknya?
Tidak tahan melihat senyuman puas di wajah Sandra, yang merasa menjadi pahlawan keluarga, Diana berteriak.
"Ayah! Uang itu pasti didapatkannya dengan cara yang tidak benar! Laki-laki tua yang memberikannya pasti bukan orang baik-baik!"
Suasana ruangan menjadi tegang. Semuanya melihat ke arah Sandra dengan tatapan curiga.