'Tidak ada hubungannya denganmu'
Kalimat itu terngiang di kedua telinga Resty, tak kunjung pergi dari benaknya. Ia semakin sadar bahwa tidak ada ruang sedikitpun untuknya di hati Leo. Di matanya, hanya ada Sandra seorang, hanya dia!
Tanpa sadar, tangan Resty mengepal dengan eratnya. Wajahnya tidak lagi terlihat tenang dan rileks seperti biasanya. Saat ini amarah dan cemburu secara bersama-sama menyerang perasaan Resty.
"Res... aku... aku minta maaf atas apa yang terjadi tadi malam"
Sungguh di saat yang tidak tepat, Wisnu tiba-tiba muncul dihadapan Resty dengan wajah penuh penyesalan. Ia ternyata dari tadi berjalan agak jauh di belakang, mengawasi Resty dengan Leo. Di sepanjang jalan ia terus memikirkan kata-kata yang tepat untuk diucapkan sebagai permintaan maaf. Tentu saja ia pun menyaksikan kejadian ketika Leo berteriak kepada Resty dan kemudian pergi meninggalkannya.
"Pergi!" Resty meraung parau, air mata mengalir dari matanya.
"Karena Leo?" Wisnu mencibir tanpa daya: "Orang bodoh sekalipun bisa tahu bahwa anak itu terobsesi pada Sandra. Kalau kamu menyukainya, memangnya dia peduli?"
Wisnu berpikir bahwa Resty seharusnya tidak mendapatkan perlakuan seperti itu. Jika saja gadis itu memberinya kesempatan, ia pasti akan mencintai dan memperlakukannya sebaik Leo memperlakukan Sandra. Bahkan mungkin lebih baik. Melihat gadis yang biasanya bersikap tenang kini menangis terisak-isak di hadapannya, membuat Wisnu ingin berlari memeluknya. Terlebih lagi, ia ingin menghantamkan tinjunya kepada orang yang telah membuat gadis dicintainya menangis. Leo benar-benar sudah keterlaluan.
"Pergi, pergi, pergi!" Resty terus meraung-raung. Seluruh tubuhnya diliputi oleh amarah dan kecemburuan. Dia seakan telah kehilangan akal sehatnya. Kehilangan segalanya.
.........
Sandra seperti kucing kecil, duduk di bawah naungan Nico dengan senyum manis di wajahnya. Meskipun dia tidak tahu mengapa apa yang membuatnya merasa begitu bahagia. Tetapi saat ini, dia hanya ingin tertawa, seolah-olah cinta seluruh dunia telah berkumpul padanya.
"Mengapa kamu menjemputku hari ini?" Sandra mendongakkan kepalanya.
Nico yang sedang fokus mengendarai sepeda, hanya tersenyum menanggapi pertanyaan gadis itu. Saat itu merupakan jam sibuk dan ada banyak kendaraan di jalan. Dia menatap jalan dengan saksama. Ketika lampu merah menyala, ia pun membungkuk dan menghentikan sepeda dengan hati-hati.
Mata Nico menatap lurus ke arah depan, memandang kendaraan melintas di hadapan mereka dengan cepatnya. Tanpa disadarinya, Sandra sedikit mengangkat kepalanya dan merapatkan bibirnya ke bibir Nico saat itu juga.
Dalam sekejap, seolah-olah segala sesuatu di dunia telah berhenti. Sandra menatap wajah pria itu, dia sangat tampan, bibirnya lembut seperti permen kapas. Seluruh perhatian Nico terkonsentrasi pada Sandra, dan jantungnya melonjak aktif saat dia melihat gadis itu di pelukannya.
Selang beberapa detik, Sandra bereaksi dan dengan cepat menjauhkan bibirnya. Ia terkekeh, dan hendak memberikan penjelasan. Tapi tiba-tiba, bibir Nico menekan bibir gadis itu dengan penuh semangat. Sebelum Sandra bereaksi, dia melepaskannya, tetapi masih memeluk gadis kecil di pelukannya dengan satu tangan.
Ia pun berbisik di telinga Sandra dengan lembut: "Duduklah yang benar, lampu hijau sudah menyala"
"Oh!" gadis itu mengangguk tanpa sadar.
Mereka tidak berbicara lagi hingga sampai ke gedung apartemen Sandra. Setelah memarkirkan sepeda di tempat parkir, Nico berjalan dengan gagah membawa tas ransel Sandra di satu tangan dan memasukkan tangan lain di saku celananya.
Sandra menatapnya dengan gemas, mengikuti di belakangnya seperti anak itik yang dengan patuh mengikuti induknya. Pikirannya dipenuhi dengan kejadian di lampu merah tadi. Sandra begitu ingin bertanya apa maksud dari ciuman tadi kepada bosnya itu. Dia adalah orang yang tidak bisa menahan hal-hal di dalam hatinya. Jika dia tidak bertanya dengan jelas, dia takut tidak akan bisa tidur malam itu.
Tapi bagaimana caranya menanyakan hal itu? Memikirkannya saja sudah membuat pipinya memerah karena malu. Ini adalah pertama kalinya dia dicium oleh lawan jenis, tentu saja dia malu. Hanya saja kata-kata itu sudah ada di tenggorokannya, bersiap untuk diluncurkan. Tapi Sandra tertegun karena dia seakan lupa cara berbicara. Kedua matanya yang besar berkedip dan menatap Nico. Masih belum bisa berkata apa-apa.
"Apa kamu mau mengatakan sesuatu?" Nico melirik Sandra, seakan bisa menebak isi hati gadis itu melalui ekspresi anehnya.
"Mm..." Sandra terus menggaruk kulit kepalanya dengan tangannya.
"Hah?" Nico mendengarkan dengan sedikit tidak sabar.
Sedetik...dua detik berlalu... Pikiran Sandra kacau. Ia pun memaksakan diri untuk mengatakan sesuatu. Apapun itu!
"Malam ini mau makan apa?"
Kenapa malah pertanyaan itu yang keluar? Dia jadi terdengar seperti gadis rakus yang hanya memikirkan soal makanan, bahkan di saat yang tidak tepat. Ah, sudahlah lupakan, jangan tanya soal ciuman atau apapun itu. Bagaimanapun juga, tidak mungkin bagi seorang bos besar untuk menyukai gadis kecil seperti Sandra. Dia pasti membalas ciumannya karena reflek! Sandra menciumnya duluan, jadi dia balik menciumnya. Cukup adil bukan?
"Makan malam sudah siap," jawab Nico dengan entengnya. "Kamu tenang saja, tidak perlu memasak."
Ketika dia pergi menjemput Sandra dari sekolah, dia telah memerintahkan orang-orang untuk menyiapkan makan malam. Tentunya menu makanan yang jauh lebih baik dari yang beberapa hari ini harus dia makan. Makanan yang dia makan akhir-akhir ini membuat perutnya terasa tidak nyaman.
"Hah? Kamu memasak?" Sandra menatapnya dengan tidak percaya.
Ada apa dengan bos hari ini? Menjemput dirinya dari sekolah dan bahkan membuat makan malam. Itu sama sekali bukan gayanya!
Apakah dia menyesal? Tidak ingin mempekerjakan Sandra sebagai pelayan dan memilih untuk melakukan semuanya sendiri? Memang Sandra telah berbuat beberapa kesalahan. Baiklah, banyak kesalahan. Tapi dia kan sudah berusaha!
"Kok begitu? Apa aku salah lagi? Pasti masakanku kemarin tidak enak ya." Sandra menghentikan langkahnya dan dengan cepat berlutut di hadapan Nico. "Maafkan aku! Tolong jangan pecat aku! Aku akan belajar memasak lebih giat lagi! Tolong berikan aku kesempatan lagi!"
Saat itu juga Nico benar-benar terkejut. Kenapa gadis ini malah salah paham. Dia hanya ingin bersikap baik padanya. Apakah selama ini dia terlalu jahat padanya sampai-sampai sedikit kebaikan saja membuat gadis ini begitu panik.
"Bangun cepat!", pria itu mengerutkan kening.
"Tidak mau! Kecuali kau berjanji, beri aku kesempatan lagi... jangan pecat aku, aku berjanji akan melayanimu dengan sepenuh hati, oke?"
Kedua tangan Sandra melingkari paha Nico dengan eratnya. Ia benar-benar lupa bahwa mereka masih di tempat parkir apartemen. Ini adalah tempat umum! Banyak orang-orang yang melintas dan memperhatikan kelakuan aneh mereka berdua. Sangat memalukan. Terutama bagi Nico yang saat ini terlihat seperti preman ganas yang memeras seorang gadis kecil tak berdaya.
"Hey cepat bangun kubilang!"
Nico merasa tidak nyaman dengan sorotan mata semua orang yang tertuju ke arahnya. Ada semakin banyak orang di sekitar mereka. Beberapa ibu-ibu komplek yang tidak mengerti kebenaran bahkan saling berbisik dan menunjuk terang-terangan kearah Nico.
Melihat pertunjukkan Sandra dan Nico, semua orang seakan membuat skenario sendiri di kepala. Entah kenapa mereka bersimpati kepada Sandra.
"Hei dengar, kalau kamu tidak bangun sekarang, justru aku tidak menginginkanmu lagi", ujar Nico begitu putus asa.
"Baiklah, baiklah aku akan segera bangun, hehe."
Sandra tertawa terbahak-bahak, dan dengan cepat berdiri, memeluk lengan lelaki yang wajahnya merah karena malu itu tanpa melepaskannya.