- 2 bulan sebelum asteroid jatuh -
Semilir angin di sore hari mengibas lantunan furin. Menyejukkan pikiran seseorang yang sedang duduk seraya menyeduh teh di teras. Menurutnya tak ada yang senyaman ini dibandingkan membaca laporan penelitian dibalik layar komputer.
Di saat menikmati pemandangan laut di depannya, seketika ekspresinya berubah secara perlahan saat seseorang mengambil kursi disampingnya. "Jihh.. kau mengganggu ketenanganku saja di sini." Ucapnya seraya memegang cangkir.
Pria itu melihat Helga menyeruput teh saat matanya tertuju pada panorama laut. "Kau jahat sekali." Katanya dengan terkekeh ringan.
"Aku boleh duduk kan?" Lanjutnya lagi.
"Terserah"
Sifatnya yang cuek membuat jantung Dito serasa copot. Perasaan yang mengalir seperti air itu sudah ia rasa sejak pertama kali bertemu dengan Helga. Sejak 4 tahun berlalu dan sampai saat inipun perasaannya tak pernah ia sampaikan.
"Kemarin, bagaimana acara reunianmu?" Sambil menenggak teh Helga menanyakanya.
"Lumayan ramai, banyak teman lamaku yang sukses dan sudah punya keluarga juga."
"Owh, kedengarannya asik"
"Bahkan ada yang mengajakku menikah."
Proootttt!!
Kaget mendengarnya, teh yang barusan dia minum menyembur keluar ke wajah Dito.
hmmmpsh
"Kebiasaanmu. Sudah berapa kali coba kau menyemburku." Hela napasnya dengan nada pasrah.
"Lalu apa jawabanmu?" Dengan rasa tak bersalah dia bertanya.
Mengambil sapu tangan di meja dan mengusapkan ke wajah nya. "Aku langsung menolaknya"
Diselingi dengan hembusan ringan dari mulut, mendengar perkataannya itu membuat Helga merasa lega. Tatapannya menunduk ke bawah seperti memikirkan sesuatu. Dengan perlahan dia menyeringai dan kembali menatap Dito.
"Padahal itu rezeki mu lho, apa mungkin setelah menolak kau akan menemukan jodoh lagi?!"
"Pasti ada lah, lagipula kamu juga masih sendiri. Apa kau tak punya jodoh?"
"B-bicara apa kau ini, a-aku hanya ingin fokus dalam pekerjaan" dikala itu rona merah menjalar hingga ke telinganya dan matanya menatap ke arah lain.
"Heh? maksudku bukan-" dengan nada heran dia berbicara pelan.
Dengan kebingungan Dito memikirkan kembali kalau perkataan yang diucap hanya untuk sindiran tetapi malah membuat dirinya salah pengartian. Dari hal itu Dito menyadarinya sehingga membuat kelopak matanya terbuka dan pipinya memerah.
Keduanya terdiam menciptakan suasana yang cukup canggung.
Tak beberapa lama Dito tiba-tiba langsung mengganti topik bicara sehingga memecah keheningan." Sebenarnya ada beberapa skenario untuk mengatasi asteroid itu."
" Aku sudah tahu itu. Hmmm ya, meluncurkan space plane untuk mengitari asteroid sehingga bisa merubah arahnya. Itu adalah metode gravity tractor" Jelasnya cepat. "Tapi, melakukannya butuh beberapa tahun bahkan satu dekade. Maka itu, takkan bisa dilakukan jika jaraknya sudah terlalu dekat." Lanjutnya lagi.
Pria itu meletakkan tangannya ke dahi lalu perlahan menatap ke depan, " Nuklir ?! Walaupun begitu negara kita tak diperbolehkan membuat nuklir. Tapi dalam kondisi darurat mungkin negara lain akan membantu kita."
" Ya kau benar. NASA juga pasti mengetahui hal ini. Jadi, kita akan mengadakan pertemuan dunia dan mendiskusikannya."
Dalam sekejap matahari sudah mulai terbenam ke ufuk barat. Angin dari laut membawa hawa dingin masuk ke ruang teras. Helga berdiri dari tempat duduknya sembari melipat tangannya ke dada. Melihatnya kedinginan--Dito melepas syalnya dari leher.
"Apa aku perlu memberi syal ini."Tanyanya dengan lembut,
Mereka saling menatap dan terdiam satu sama lain. Tak ada tanggapan dari wanita itu--ia hanya mengerjapkan matanya setelah mendengar ucapannya.
Dari latar tempat, waktu dan suasana sangat mendukung menurutnya. Jadi, apakah ini waktu yang tepat untuk menyampaikan perasaan. Dalam hati--Dito merasa sangat siap untuk mengatakannya. Namun, hal yang mengganggu mengubah tatanan suasana.
Tiba-tiba ponsel dari saku celana bergetar. Helga kedapatan panggilan masuk.
"Ah ini dari seseorang, sepertinya aku harus segera pulang." Ujarnya dengan ekspresi mencurigakan.
"Nanti aku akan mengumumkan spekulasinya ke semua orang." Katanya lagi sambil berjalan menuju keluar.
Langkah kakinya tertahan dan membalikkan badan, " Oh iya, terima kasih untuk syalnya" senyuman tipis terlihat dari wajah manisnya.
Belum diambil dan dipakai tetapi sudah berterima kasih. Syal masih berada dalam genggaman Dito saat itu. Dan dia hanya terdiam setelah melihat senyuman orang yang dia sukai.
Tak berapa lama menatap ke depan, wanita itu sudah beranjak pergi. Wajah menunduk dan memperlihatkan kerutan pasrah.
Namun secara perlahan perasaannya tumbuh lagi. Entah apa yang terjadi dia memberanikan diri untuk mengejarnya. Menggenggam syal dan memakaikan kembali ke lehernya. Dia mulai berlari.
Nafasnya tersengal-sengal saat berlari di jalanan sepi, sembari tersenyum lebar dia membayangkan betapa bahagianya bila wanita yang dicintai itu menerimanya. Menengok ke kanan dan kiri dia masih belum menemukan dimana dia.
Jedeerr!!
Namun--suara tembakan muncul dari arah beberapa meter ke depan. Pikiran buruk meliputi kepalanya, apakah Helga ada di sana. Rasa cemas, wajahnya tak berlangsung lama memucat. Dia berlari ke arah suara itu.
Dan benar saja, darah bercipratan di tengah jalan. Wanita itu terbaring di sana, bersimbah darah di balik tubuhnya. Melihat kondisi seperti itu Dito langsung lari menghampirinya. Satu tembakan tepat berada di titik vitalnya.
Dito dengan gemetar mencoba untuk mendekatkan telinga ke jantung dadanya. Rasa penasaran diselingi rasa takut akan kehilangan seseorang.
Mengalir
Tetesan air matanya mengalir setelah mengetahui tak terdengar detakan jantung di dadanya.
"Siapa yang melakukan hal ini" lirihnya dengan isak tangisan.
Dia mulai menekan-nekan sesekali untuk memompa jantungnya. Sudah tak peduli apakah seseorang akan menembaknya juga dari belakang. Atau mengejar si pelaku. Prioritasnya hanya ingin menyelamatkan wanita yang dicintainya.
"Aku sudah tak peduli perasaanku tersampaikan atau tidak, yang terpenting hiduplah Helga, ." Ucapnya dengan rasa tangis yang sangat dalam.
Apa yang terjadi hanya darah yang berada di balik telapak tangannya. Dia mulai membopong tubuh yang mulai mendingin itu. Berlari menuju rumah sakit. Mencari rumah sakit terdekat
Dia tak bisa berteriak karena terhalangi rasa sesak sedihnya. Air matanya masih mengalir, rasa sempit di dada terasa sangat sakit dibuatnya. Dia bertanya-tanya kenapa semua ini terjadi.
.
.
.
.
Benar benar
.
.
.
.
.
Kisah cinta yang tragis.