~Author POV On~
Olivia meminum teh Earl Grey nya dengan tenang. Ia menatap sosok pria rupawan yang sedang duduk di sampingnya. Karena merasa di pandangi, pria itu balas menatap ke arah wanita itu.
"Ada apa, Olive?" Tanya Pria itu, yang tidak lain tidak bukan adalah Carla Gardner.
Olivia memalingkan wajahnya dari Carla. Ia meletakkan cangkirnya di atas meja secara anggun. "Tidak ada." Ujarnya singkat.
"Benarkah?" Tanya Carla sembari menyunggingkan senyumannya.
"Hm." Olivia mengangguk singkat.
"Tapi sepertinya tidak begitu." Carla menumpukan sebelah kakinya pada kaki yang lain. "Apa yang ingin kau katakan padaku?" Tanyanya lagi sembari menumpukan dagunya pada tangannya.
"Sudah kubilang, tid-"
"Matamu tidak berkata demikian."
"Maksudmu?"
"Kau tau Olive-"
"Tidak."
"Jangan potong ucapanku dulu, Olive." Protes Carla.
Olivia menghela nafasnya sejenak. "Baiklah, maaf. Lanjutkan ucapanmu." Ujarnya sembari menatap datar pria itu.
Carla menatap langit langit di atasnya dengan pandangan menerawang. "Sejak dulu, kau selalu menatapku lama saat kau ingin mengatakan sesuatu padaku." Ia mengalihkan pandangannya pada Olivia. "Sama seperti saat kau memintaku untuk menemanimu tidur pada malam hari karena takut pada hantu yang terus menerus mengganggumu." Ujarnya santai.
"Aku tidak pernah melakukan sesuatu hal yang memalukan seperti itu." Olivia memalingkan wajahnya.
"Hoo… Benarkah?" Carla menatap Olivia datar. "Hey Olive." Panggilnya.
"Hm?" Olivia kembali menatap Carla dengan pandangan datar.
"Dasar tukang bohong." Carla mencubit pipi Olivia gemas.
"Sakit, Carla." Olivia melepas paksa cubitan di pipinya itu. Dan ia melayangkan tatapan tajam pada pria yang di sampingnya itu.
"Anak nakal yang suka berbohong, tidak akan mendapatkan hadiah dari santa loh." Carla membuat wajah sok seramnya.
"Aku tidak peduli." Olivia mengusap pipinya yang memerah karena cubitan Carla. "Lagipula, santa itu tidak ada." Ujarnya.
"Oh ya?" Carla memasang wajah sok terkejutnya. "Kalau begitu, siapa yang setiap natal akan menunggu di perapian sampai larut malam dan sampai ketiduran di sana?" Tanyanya dengan wajah serius.
"Siapa yang sebenarnya kau bahas di sini?" Olivia menatap datar Carla.
"Kenapa kau malah mirip kulkas berjalan seperti ini sih?" Tanya Carla dengan wajah datarnya. "Sebenarnya siapa yang kau tiru?" Tanyanya lagi.
Olivia menghela nafasnya sejenak sebelum bangkit dari posisi duduknya. "Apa kau serius?" Tanyanya tanpa menatap lawan bicaranya.
"Apanya?"
"Memberikan tubuhmu pada hantu bodoh dan bucin itu?"
"Aku ini juga hantu loh."
"Cih."
Mereka terdiam dan sibuk pada pikiran mereka masing masing. Dan akhirnya, Carla lah yang memecahkan keheningan itu. "Aku serius, Olive." Ia menatap Olivia dengan tatapan serius.
Olivia yang melihat keseriusan di mata Carla hanya dapat menghela nafasnya panjang. Ia mengeluarkan kotak rokok dari saku jas lab putih yang ia kenakan. "Hm." Sahutnya singkat sebelum mengeluarkan lintingan tembakau dari wadahnya.
"Sampai kapan kau akan terus menghisap racun itu, Olive?" Carla menatap Olivia dengan sendu.
"Sampai…" Olivia menggantungkan ucapannya. Ia membalikkan tubuhnya dan mulai berjalan keluar dari ruangan itu meninggalkan Carla sendirian di sana.
~Skip~
"Kita mau kemana?" Tanya Andrew pada Olivia yang masih sibuk mengendarai mobilnya.
"Laboratorium." Jawab Olivia singkat sembari mengganti gigi persenelengnya.
Andrew menatap jalanan di depannya dengan bingung. Pasalnya, sepanjang jalan yang mereka lewati hanyalah hamparan hutan pinus. Sama seperti jalan menuju ke kediaman Gardner. "Kenapa tidak di laboratorium pribadimu yang ada di rumah?" Tanyanya lagi.
Olivia melirik ke arah Andrew sejenak. "Kau ini bodoh atau tidak peka sebenarnya." Ujarnya sarkas.
"Maksudmu?"
"Kau sudah pernah bertemu dengan Carla bukan?"
Andrew mengangguk. "Ya. Aku pernah bertemu dengannya sekali." Jawabnya. "Dia pria yang rupawan." Imbuhnya.
"Lalu, apa kau pernah melihatnya di laboratorium bawah tanah? Ah. Benar juga, kau terlalu takut untuk memperhatikannya." Ujar Olivia santai.
"Cih." Andrew berdecih pelan. "Boleh aku bertanya sesuatu?" Tanyanya kemudian.
"Hm."
"Ini tentang Carla."
"Apa yang ingin kau tau dari pria itu?" Tanya Olivia tanpa menatap Andrew sedikitpun.
"Siapa Carla?"
"Kakakku."
"Tapi dia tidak terlihat mirip sedikitpun denganmu."
"Dia diangkat anak oleh keluarga Gardner saat aku belum lahir."
"Serius???" Andrew menatap Olivia tidak percaya.
Olivia memutar kedua bola matanya malas. "Kenapa malah kau yang kaget?" Ia melirik arwah penasaran itu dengan malas. "Gak jelas." Imbuhnya.
"A- aku hanya terkejut." Andrew menggosok tengkuknya yang tidak gatal. "Pan- pantas saja, warna rambut kalian berbeda." Ujarnya.
"Hm."
~Skip~
"Di sini tidak ada orang?" Tanya Andrew sembari memperhatikan laboratorium raksasa itu.
"Aku sengaja mengosongkannya." Jawab Olivia sembari memakai sarung tangan karet dan masker.
Andrew mengangguk mengerti. "Aku baru sadar akan hal ini," Ia menatap wanita di sampingnya. "Keluargamu itu sangat kaya ya." Ujarnya kagum.
"Entahlah." Balas Olivia singkat sembari berjalan mendekati sebuah ruangan besar berpintu putih.
Olivia menghela nafas panjangnya sejenak sebelum memasukkan kode pada pintu otomatis itu. Tak lama, pintu itu pun terbuka dan menampilkan sebuah ruangan lapang dengan lemari pendingin di sisi sisinya.
"Ini freezer raksasa?" Andrew menatap kagum saat memasuki ruangan bersuhu minus derajat itu.
Olivia tidak menjawab pertanyaan Andrew. Ia segera berjalan cepat pada sebuah lemari penyimpanan dengan nama 'Carla Gardner' yang tetulis di depannya. Namun, saat membuka lemari penyimpanan itu-
"Carla?!"
"Ada apa?" Andrew yang mendengar teriakkan Olivia segera mendekati gadis itu. Dan menemukan gadis itu menatap terkejut lemari penyimpanan kosong di depannya.
"Lady." Suara seseorang membuat kedua makhluk beda alam itu langsung menuju ke sumber suara. "Tuan Carla ada di sini." Ujar pria paruh baya yang menjabat sebagai butler keluarga Gardner itu.
"Edward?" Andrew mendekati pria paruh baya itu dengan bingung. "Kenapa kau di sini?" Tanyanya.
"Lady sendiri yang meminta bantuan saya untuk lebih dulu memindahkan tuan Carla dari ruangan pendingin." Jawab Edward santai. Tak lama ia melihat dari balik tubuh Andrew, Olivia yang masih berdiri mematung di tempatnya. Ia tersenyum sejenak sebelum mendekati nyonya muda nya itu. "Semua akan baik baik saja, Lady Olivia." Ujarnya sembari mengelus surai Blonde milik wanita itu.
Andrew yang melihat pemandangan itu, entah mengapa merasa dejavu. Tapi kenapa ia merasa seperti itu, ia juga tidak mengetahuinya.
~Skip~
"Astaga! Aku masih tidak mempercayainya, jika dia ini adalah mayat." Andrew menatap kagum mayat Carla di depannya.
"Krionik." Sahut Edward yang sedang berkutat dengan beberapa kabel dan selang.
"Krionik?" Andrew memiringkan kepalanya bingung.
"Krionik adalah teknik mengawetkan jasad setelah kematian bantuan teknologi canggih dan pengetahuan medis. Prosedurnya dimulai dari manusia yang mati lalu segera menerima serangkaian suntikan untuk mencegah kerusakan otak dan kemudian dikemas dalam es sebelum dibawa ke fasilitas preservasi cryonic. Sesampai di sana, tubuh didinginkan dan darah diganti dengan cairan pengawet. Serangkaian suntikan tambahan dilakukan untuk mencegah kristalisasi es di dalam tubuh, yang kemudian ditempatkan dalam tangki nitrogen murni dan disimpan pada suhu minus 196 derajat Celsius." Jelas Olivia panjang lebar, hingga membuat Andrew melongo.
"Jadi itu alasannya kenapa tubuh Carla masih seperti manusia hidup." Ujar Andrew sembari berdiri di dekat kaki mayat Carla.
"Ya." Jawab Olivia singkat sebelum kembali menghela nafasnya entah sudah ke berapa kalinya dalam sehari ini.
"Lady, semuanya siap." Ujar Edward yang sudah bersiap di posisinya. Ia menghela nafasnya sejenak sebelum tersenyum lembut pada Olivia dan Andrew. "Semuanya sudah siap." Ulangnya lagi.
Olivia menghela menghela nafasnya lagi. "Andy ada kata kata terakhir?" Tanyanya sembari menyentuh bahu Andrew.
Andrew tersenyum hangat. "Terima kasih." Ujarnya.
"Edward?" Olivia bertanya pada Edward namun sama sekali tidak menatap mata pria paruh baya itu.
"Semoga kita bertemu lagi, anakku." Jawab Edward sembari tersenyum lembut.
Andrew menatap Edward terkejut. "A- anak?" Cicitnya.
"Andy." Andrew yang merasa dipanggil Olivia segera menolehkan kepalanya melihat ke arah wanita dingin itu. "Terima kasih." Ujarnya sesaat sebelum mendorong tubuh astral pria itu.
~Author POV Off~
~Andrew POV On~
Setelah Olivia mendorongku dan membuatku terjatuh ke dalam raga Carla, tidak ada lagi yang kuingat. Mengingat? Bukankah dari awal, aku sama sekali tidak mengingat apapun? Ah, aku ini hantu yang payah ya?
Yah, tapi kenapa aku yang payah ini bisa dicintai oleh gadis seperti dia? Ah, aku jadi merindukan Amy. Dia sedang apa ya sekarang? Apa dia sudah lebih baik? Waktu itu dia terluka parah.
Tunggu sebentar. Bukankah yang terluka itu bukan Amy. Eh? Apa ini? Siapa yang terluka? Siapa itu Amy? Apa yang sebenarnya aku bicarakan di sini?
Ah. Semuanya gelap. Nafasku sesak. Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Kenapa rasanya sangat dingin? Di mana aku sebenarnya? Apa aku sudah mati? Bukankah aku sudah mati? Tunggu sebentar. Aku sudah mati? Tapi,
Aku ini siapa?
Tiba tiba, aku melihat cahaya yang sangat banyak ada di depanku. Sangat banyak dan sangat menyilaukan, hingga membuatku kembali memejamkan kedua mataku.
Tak lama, aku melihat banyak foto polaroid berterbangan di sekelilingku. Sangat banyak. Foto yang berisi gambar seorang anak laki laki yang tidak kuketahui siapa.
Kuulurkan tanganku untuk menyentuh salah satu foto polaroid itu. Ah, itu foto seorang anak lelaki yang sedang di gendong oleh seorang pria paruh baya. Sepertinya itu-
"Daddy."
Entah kesadaran dari mana, mulutku mengucapkan kata kata itu. Dan perlahan air mata mulai menetes dari kedua mataku. Eh? Apa yang sebenarnya terjadi?
"Daddy bermain dengan Andy."
Lagi lagi, mulutku bergerak sendiri tanpa bisa kukendalikan. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa aku mengenal pria itu? Siapa Andy itu? Apa itu nama anak laki laki itu?
"Andy sayang sama daddy."
"Kalau Andy sudah besar, Andy bakal buat rumah besar yang dikelilingi kebun seperti yang daddy inginkan."
"Daddy bekerja sangat keras hari ini."
"Ah, daddy sudah pulang? Selamat datang, daddy."
"A- apa yang kau katakan, dad? Di- dia bukan kekasihku."
"Ah, apa kau melakukan percobaan aneh lagi bersama ilmuwan gila itu?"
"Daddy, jangan bersedih okay. Andy hanya tidur sebentar. Ah, daddy maukan pake matanya Andy? Biar Andy juga bisa terus sama, daddy."
"Daddy, mata Andy udah berat banget… Dad… Andy… Ngantuk banget… Andy… Tidur dulu ya…"
"Tangan daddy sangat hangat….."
"Dad… Nyanyikan lagu tidur buat Andy ya…"
"Andy… Sayang banget… Sama… Daddy…"
"Andy… Minta maaf… Kalo selama ini… Buat daddy repot…"
"Buat daddy sedih…"
"Buat… Daddy… Harus… Kerja keras.. Buat Andy…"
"Maaf…"
"Andy… Bahagia… Jadi anaknya daddy…"
"Kalau… Kalau Andy terlahir kembali… Andy pengen jadi… Anaknya daddy lagi…"
"Andy… Udah… Gak bisa… Denger… Suara daddy lagi…"
"Daddy… Di sini dingin… Dingin banget…"
"Daddy… Andy… Udah enggak bisa lihat daddy…"
"Daddy… Di sini gelap banget… Andy takut…"
"Daddy… Genggam tangan Andy ya sampai Andy tidur…"
"Andy… Tidur… Dulu…"
"Andy… Sayang… Daddy…"
Entah kenapa, setelah mengatakan kata kata itu air mataku mulai mengalir deras bercucuran. Dan, semua ingatan yang pernah aku lalui- mulai berdatangan mengisi kekosongan dalam memoryku.
"Daddy…" Ku terisak pelan saat semua ingatan itu kembali ke dalam otakku.
Tak lama, aku merasa kesulitan untuk bernafas. Seperti tercekik dengan keras dan menghalangi udara yang masuk ke dalam paru paruku.
Pandanganku mulai gelap. Dan aku sudah tidak bisa mellihat foto foto polaroid yang sebelumnya berhamburan di hadapanku. Bersamaan dengan itu, aku mendengar suara yang sangat berisik. Suara orang yang yang sedang bersahut sahutan.
Selanjutnya, tubuhku terasa terbelah. Dan sebuah rasa sakit yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya menerpa diriku ini. Rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuhku, sampai aku mati rasa.
Samar samar, aku mendengar suara seseorang yang memanggil namaku. Mereka terus memanggil namaku. Ah. Mereka sangat berisik.
Perlahan aku mulai merasakan cahaya mulai mengenai kedua mataku. Secara pasti, aku mulai membuka kedua mataku dan mengerjap perlahan. Dan pemandangan pertama yang aku lihat adalah wajah seorang pria paruh baya yang sangat familiar untukku.
"Dadd…"
"Andy!" Pria paruh baya yang kuyakini sebagai ayahku itu langusng membawaku ke dalam pelukkannya yang hangat. "Kau kembali! Kau kembali!" Ia terisak sembari memelukku erat.
Di saat yang bersamaan, aku merasakan kehadiran seseoranglagi selain ayahku di sini. Ku alihkan pandanganku ke arah samping dan menemukan seorang wanita bersurai blonde yang sedang tersenyum tipis ke arahku.
"Selamat datang kembali, Andy." Ucapnya tanpa dapat menyembunyikan air mata yang keluar di sudut matanya.
~Andrew POV Off~
~Author POV On~
"Carla why?!" Olivia tidak dapat mengendalikan perasaan kecewanya pada pria rupawan di hadapannya.
"Olivia dengarkan aku." Carla menahan kedua tangan Olivia agar wanita itu mau menatapnya. "Kumohon, dengarkan aku." Pintanya.
"Alasan apa lagi yang ingin kau, huh?!" Olivia menatap Carla dengan tatapan tajam. "Percobaanku telah berhasil. Raga yang kau butuhkan sudah ada. LALU ALASAN APA LAGI YANG INGIN KAU BERIKAN PADAKU, CARLA GARDNER?!" Teriaknya keras tepat di wajah pria itu.
"Aku- aku ini sudah mati, Olive. Dan hukum orang yang sudah mati itu tidak dapat hidup kembali."
"PERSETAN DENGAN SEMUA ITU..!!!" Olivia menarik kasar tangannya hingga cekalan Carla di tangannya pun terlepas. "Semua percobaan yang selama ini aku lakukan demi untuk membangkitkanmu, semuanya sia sia." Ujarnya frustasi.
"Olive aku-"
"Diam Carla!" Teriak Olivia keras. "Kerja kerasku selama bertahun tahun hanya terbayar dengan penolakanmu? Heh. Lelucon yang lucu sekali." Ia menatap Carla dengan tatapan putus asa.
"Sangat lucu sampai membuatku tidak bisa tertawa. Saking lucunya sampai membuatku ingin menusuk tubuhmu dengan pisau bedahku." Ia tertawa miris.
"Olivia, ma-"
"Aku tidak butuh kata maaf darimu, Carla." Potong Olivia cepat. "Aku tidak butuh itu. Aku tidak butuh semua itu." Ia membalikkan tubuhnya cepat dan segera pergi dari ruangan itu.
Bahkan teriakkan keras Carla pun tidak ia gubris. Ia segera menuruni tangga panjang di rumah itu dan menyambar trench coatnya. Ia membuka pintu depan dengan keras dan segera menuju mobilnya. Teriakkan dan panggilan dua pria lain di rumah itu ia abaikan. Dengan kecepatan penuh, ia memacu mobilnya meninggalkan kediaman Gardner.
To Be Continued
Bagaimana? Mau tambah?
Terima kasih atas dukungannya, kami selalu senang menerima dukungan kalian!