*****
From : Amy's King
To : You
Apa kau mencoba untuk menjadi pangeran berkuda putih untuk ratuku? Sayang sekali. Lebih baik kau menyerah saja. Karena dia adalah milikku. Tidak terima? Hahaha… Kau cukup berani ya. Baiklah kalau begitu. Bagaimana kalau kita bertarung satu lawan satu, jagoan?
*****
Olivia melempar kertas itu ke atas meja ruang keluarga. Ia menatap datar ke arah yang baru saja ia baca itu. Selanjutnya, ia menatap kertas itu dan wajah panic Andrew secara bergantian.
"Tenanglah." Ujarnya sembari mengeluarkan sekotak rokok beserta korek api.
"Bagaimana aku bisa tenang?!" Andrew menatap Olivia tidak terima. "Jangan bilang, kau akan merokok." Ia menatap horror ke arah lintingan tembakau yang baru saja wanita itu keluarkan dari wadahnya.
"Ada masalah?" Tanya Olivia santai sembari menyelipkan lintingan tembakau itu di bibirnya.
"Tentu saja masalah." Andrew berjalan mendekati Olivia dan segera merebut korek api yang baru saja akan ia gunakan untuk menyalakan rokoknya. "Kau itu masih sakit. Dan rokok itu tidak baik untuk kesehatan. Kau itu seorang dokter, masa kau tidak tau tentang hal ini sih?" Omelnya.
Olivia yang di berikan omelan seperti itu dan korek apinya yang mendadak di rebut oleh Andrew hanya dapat mendesah lelah. "Aku tidak peduli." Jawabnya singkat.
"Olivia-"
"Lady, mobilnya sudah siap." Kedatangan Edward yang tiba tiba menghentikan omelan Andrew pada Olivia.
"Ayo." Olivia bangkit dari posisi duduknya dan segera menyambar trench coat nya yang tersampir pada gantungan. Ia berjalan lebih dulu setelah sebelumnya menganggukkan kepalanya pada Edward.
"Lagi lagi kau menyelamatan wanita itu." Protes Andrew saat berjalan melewati pria paruh baya itu.
Edward yang mendengar itu hanya dapat tertawa pelan. "Anda tampak kacau, tuan Andrew." Ujarnya sembari mengantar Andrew ke luar rumah.
Andrew mengerucutkan bibirnya. "Bagaimana aku tidak kacau? Dua perempuan itu benar benar membuatku ekstra khawatir." Ia menghela nafasnya. "Amy ku di culik. Olivia yang tidak pernah memperhatikan kesehatannya dan selalu memaksakan dirinya. Bagaimana aku bisa tidak khawatir?" Ia menatap Edward dengan wajah khawatirnya.
"Tampaknya, Anda sangat menyayangi mereka." Balas Edward tanpa melunturkan senyumannya dari wajahnya.
"Kalau Amy, tentu saja aku menyayanginya. Bahkan aku mencintainya." Ujarnya. "Tapi kalau Olivia-" Ia menundukkan kepalanya.
"Kalau Lady Olivia?" Tanya Edward penasaran.
"Aku tidak tau." Andrew mendongakkan kepalanya ke atas. "Dia sudah seperti kakakku. Dia seperti ibuku. Dia juga seperti pelindungku. Aku tidak tau, harus seperti apa padanya." Ia menatap ke arah Olivia yang sedang menyugar surai blondenya sebelum memasuki mobil.
"Apa Lady Olivia berharga untuk Anda?"
"Tentu saja." Andrew menjawab cepat. "Dia teman yang berharga. Bahkan kalau boleh berharap, dia itu seorang keluarga yang berharga." Lanjutnya.
"Kalau begitu, bukankah itu artinya Anda menyayangi Lady Olivia?"
"Aku tidak tau."
~Skip~
"Jadi," Olivia menatap datar ke arah bangku taman yang biasa di tempati oleh Andrew dan Amy.
"9 Am. Avenue Street Number 444?" Andrew membaca tulisan kertas yang ada di atas bangku itu. "Tempat itu?" Ia menatap Olivia penuh tanya.
"Bekas rumah sakit jiwa." Jawab Olivia datar.
"Woy!!" Andrew menatap Olivia cepat.
"Well, tampaknya aku tau siapa yang bermain main denganmu." Olivia kembali menyugar surainya. "Dan aku akan mendapatkan tubuh baru." Bersamaan dengan perkataannya yang terakhir, perubahan aura Olivia pun terjadi. Yang awalnya tenang, menjadi aura yang penuh obsesi akan mayat.
Andrew bergidik ngeri. "O- Olivia, auramu." Ia mencicit ketakutan.
"Kalau begitu, ayo bergegas." Ujar Olivia sembari mulai berjalan pelan meninggalkan bangku itu.
"Kalau urusan mayat mayat sama bunuh bunuh aja semangat. Kalo urusan menyembuhkan diri sendiri aja, adaaaa…. Aja alesannya." Cibir Andrew.
"Olivia!!" Tiba tiba seorang pria berlari mendekat dan menghadang Olivia. "Kau- Kau mau kemana?" Tanya pria itu. Yang tidak lain tidak bukan adalah si dokter bucin, Leon.
"Mengambil bonekaku." Jawab Olivia santai.
"Boneka?" Leon memiringkan kepalanya bingung.
"KC-01." Olivia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku trench coat yang ia kenakan.
"KC-01?" Andrew menatap Olivia bingung. Sedang Leon hanya terdiam dan menatap wanita itu dengan tatapan serius.
"Giliran siapa kali ini?" Tanyanya tanpa menyembunyikan nada serius dari ucapannya.
Olivia menatap ke Andrew yang sedang berdiri tepat di sampingnya. "Gadis kesayangannya." Setelah mengatakannya ia kembali menatap Leon serius. "Mau ikut?" Tawarnya.
Leon mengangguk mantap. "Jelaskan padaku tentang gadis kesayangan hantu di sebelahmu itu." Ujarnya sembari menatap ke arah Andrew, walaupun ia tidak bisa melihatnya.
"He- Hey, apa yang sedang kalian bicarakan?" Tanya Andrew tanpa bisa menyembunyikan tubuhnya yang bergidik ngeri karena tekanan kedua manusia di depannya.
"Tangan kosong?" Leon menyunggingkan seringaiannya pada Olivia.
"Apa kau bercanda?" Olivia menatap Leon santai sembari mengeluarkan scalpel (pisau bedah) dari dalam saku trench coatnya.
"Woy..!!"
~Skip~
Olivia menghisap rokoknya sembari menatap bangunan tidak terpakai di depannya dengan santai. Sedang di sampingnya ada Andrew yang sedang menatap bangunan itu dengan berbagai macam tatapan.
"Olivia." Leon berjalan mendekati Olivia sembari memasukkan ponsel ke dalam saku celana bahannya. "Aku sudah berbicara pada Dewan Tinggi." Ujarnya membuka topic pembicaraan.
"Lalu?" Olivia mematikan rokoknya dengan cara menginjaknya dengan sepatunya, setelah sebelumnya menjatuhkannya begitu saja. Ia menatap datar partner nya saat kuliah dulu.
"Babat habis." Jawab Leon santai sembari mengeluarkan pistol yang sejak tadi ia selipkan di bagian belakang celana bahan yang ia gunakan.
Olivia mengangguk. "Kalian berdua, bebas melakukan apapun yang kalian inginkan." Ia mengambil scalpel yang ada di saku trench coat nya. "KC-01 milikku." Ujarnya memberi perintah.
"O~ Kee~" Balas Leon.
"Amy, tunggu aku." Imbuh Andrew.
~Skip~
*Leon's Side*
Leon mengokang pistol yang ia bawa. "Demi Olivia. Tidak akan kubiarkan satu kutu pun melukainya." Gumamnya.
Ia melirik ke arah belakangnya lewat potongan cermin yang ia bawa. Dan ia melihat, ada beberapa orang bersenjata lengkap sedang berjaga di sana. "Membunuh manusia itu melanggar kode etik seorang dokter, tapi tidak dengan membiuskan?" Ia mengeluarkan pistolnya yang lain.
Setelah mengumpulkan keberaniannya, Leon segera keluar dari tempat persembunyiannya dan mengarahkan kedua mulut pistolnya pada orang orang bersenjata lengkap itu. "Got you." Ujarnya sebelum menarik pelatuknya.
Dor..
Dor..
Dor..
Dor..
Dor..
Baku tembak pun terjadi. Baku tembak dengan personil yang tidak seimbang. Tentu saja, pihak lawan di sini sangat di untungkan. Tapi, itu bukan masalah untuk seorang mantan dokter militer bukan?
"Uhh… Bukankah tadi itu aku sangat keren?" Leon menatap nanar ke arah pasukkan lawan yang telah tumbang karena terkena peluru biusnya. "Hahhh… Kenapa dengan aku yang sekeren ini, masih belum bisa menarik perhatian wanita dingin itu??" Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Hahh….. Kalau gini mau jadi fakboi ajalah." Ia membalikkan tubuhnya dan berjalan santai menyusuri lorong bangunan bekas rumah sakit jiwa itu.
*Andrew's Side*
"Mau dilihat berapa kali pun, bangunan ini tetap mengerikan." Andrew melangkahkan kakinya secara perlahan. "Uhh~ Amy~ Olivia~ Dokter penakut~ Apa kalian sudah selesai…??" Ia memeluk erat tubuhnya sendiri untuk menenangkan dirinya.
Saat berjalan, Andrew terus terusan merasa tidak enak dan merinding. "Aku lebih memilih merasakan tekanan dari Olivia dari pada tekanan tidak mengenakkan ini." Ia mengusap tengkuknya resah.
"Amy~ Kau di mana…??" Ia terus menggumamkan kata kata itu berulang ulang. Seakan akan, dengan menggumamkan kata kata itu gadis yang sedang ia cari akan keluar begitu saja di depannya.
"Amy~"
"Tolong..!!" Teriak seseorang. "Tolong aku..!!" Teriak seseorang itu lagi.
"Amy?!" Andrew menatap ke sekelilingnya dengan bingung dan panic. "Amy! Kamu di mana..??!!!" Teriaknya lagi.
"Tolong..!!! Tolong aku..!! Hiks… Hiks.."
"Amy..!!" Andrew mulai berlari menyusuri setiap lorong di sana.
"Ini sakit… Tolong aku…"
"Amy..!!" Ia kelimpungan mencari sumber suara itu. Berkali kali, ia membuka pintu ruangan yang ada di sana. Namun yang ia temukan hanya kekosongan tanpa Amanda yang sedang di carinya.
"Tolong aku…"
"Amy..!!"
Andrew mengatur nafasnya yang tidak beraturan. Ia menatap sebuah pintu besi yang berkarat tepat di depannya. "Sumber suaranya ada di sini." Ia menarik nafas panjang sebelum mendobrak pintu besi itu.
Brak….
"Lepaskan- Amy?"
Andrew menatap ke dalam ruangan itu bingung. Ia yakin sekali, bahwa sumber suara yang ia dengar berasal dari sini. Tak lama, ia merasa bulu kuduknya merinding hebat.
Dengan gerakkan patah patah, ia membalikkan tubuhnya. Dan menemukan sesosok wanita dengan kepala yang hampir lepas dari tubuhnya dan dengan lidah yang menjulur ke bawah sedang menatapnya.
"Tolong aku…"
"HIIIIII..!!!!!" Andrew berteriak histeris. "OLIVIA....!!!!!!" Ia segera berlari keluar dari ruangan itu dengan panic.
Tapi sepertinya ia tidak menyadari, bahwa teriakkannya itu membangunkan makhluk lain yang ada di sana.
"HUUWWAAAAA.... OLIVIAAAAAA….!!!!!!"
*Olivia's Side*
Olivia berjalan santai menyusuri lorong lorong di situ. Ia terus menatap ke arah depan, seakan tidak terpengaruh dengan suara suara dan sosok sosok astral di kanan dan kirinya. Jangan lupakan, mereka terus menerus memanggil manggil wanita itu. Bahkan ada yang nekat untuk menyentuhnya. Namun, saat mereka berhasil menyentuh wanita itu, balasan yang mereka dapatkan malah membuat mereka menghilangkan diri mereka dari sana.
Ya. Tatapan membunuh milik Olivia, cukup untuk membuat para makhluk astral itu bertekuk lutut di depannya.
Sejenak, Olivia menatap tangga panjang di hadapannya dengan wajah datar. Ia semakin mengeratkan genggamannya pada scalpel yang ada di saku kanan dan kirinya. Ia menghela nafas sejenak sebelum melangkahkan kakinya menaiki tangga itu.
Tangga panjang itu membawanya ke lantai teratas pada bangunan itu. Sebuah gereja dengan kubah kaca berwarna. Tempat itu, terlihat berantakan namun lebih baik dari pada ruangan lainnya.
Olivia menyugar surai nya sejenak sesaat setelah menginjakkan kakinya di lantai atas itu. Ia menatap datar seorang gadis yang sedang tertidur dengan mata tertutup kain berwarna hitam di dalam sebuah peti mati kaca. Di belakangnya, sesosok pria yang sedang meminum wine nya santai sembari mengamati gadis itu.
"Selamat datang di tempatku, Dr. Olivia." Sapa pria itu dengan nada ceria yang membuat siapapun mendengarnya merinding. Namun tidak dengan Olivia.
"Lama tak berjumpa, KC-01." Balas Olivia datar.
"Kejamnya dirimu wahai Dr. Olivia yang terhormat." Pria itu menggedikkan bahunya santai. "Aku ini punya nama loh. Masa kamu tidak mau memanggilku dengan namaku?" Ia mulai menuruni altar tempatnya berdiri tadi dan mulai mendekati Olivia.
"Sayangnya, aku tidak sudi untuk menyebut namamu dengan mulutku ini." Olivia semakin mengeratkan genggamannya pada scalpel yang ada di sakunya.
"Kejamnya." Pria itu menggelengkan kepalanya. "Padahal aku sudah menantikan bibirmu yang sexy ini memanggil namaku berulang ulang." Ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh wajah Olivia.
Plakk…
Tangan pria itu terhempas ke samping. Pria itu menatap siapa yang telah menampik keras tangannya. Begitu mengetahui siapa yang telah berbuat seperti itu padanya, ia segera membalikkan tubuhnya dan tertawa keras.
"Well well, tampaknya pesta kali ini sangat meriah ya." Ia melirik ke arah Olivia dan satu orang lainnya yang telah menampik tangannya keras. "Selamat bergabung, Dr. Leon." Ujarnya sembari kembali tertawa.
"Jangan pernah menyentuh Olivia dengan tanganmu yang kotor itu, Kevin Cliffors." Desis Leon marah.
"Seramnya…" Pria itu, Kevin Cliffors, menatap kedua orang itu dengan tatapan sok takut. Sedetik kemudian ia kembali tertawa nyaring.
"Ah! Suatu kehormatan bagiku saat dua dokter hebat mendatangi pesta kecilku ini." Ujarnya. "Apa yang ingin kalian makan? Ah! Aku tidak yakin makanan yang aku sediakan akan sesuai dengan selera kalian." Ia menatap kedua orang itu dengan pandangan bersalah.
"Hentikan basa basimu itu, psikopat." Leon yang sudah tidak tahan dengan celotehan Kevin, akhirnya mengarahkan pistolnya pada pria itu.
"Ah! Kenapa kau sangat terburu buru, Dr. Leon." Kevin berpura pura terkejut. "Lihat, aku tidak membawa apa apa." Ia mengangkat kedua tangannya.
"Turunkan senjatamu." Ujar Olivia pada Leon. "Tenangkan pikiranmu, Leon." Ia menatap pria di sampingnya itu.
Leon menghela nafasnya sejenak sebelum menurunkan senjata yang ia bawa. "Maaf." Ujarnya lirih.
"Seperti biasa, Dr. Olivia adalah penjaga yang baik." Puji kevin. "Atau lebih cocok disebut, penjinak yang baik." Ia menatap Leon remeh.
Olivia menghela nafasnya sejenak. "Jadi, apa hidangan kali ini?" Tanyanya santai.
"Hidangan kali ini?" Kevin memasang pose berpikir. "Seorang gadis muda yang sangat manis." Jawabnya kemudian.
"Begitukah?" Olivia semakin mengeratkan genggamannya pada scalpel yang ada di dalam sakunya. "Gadis muda bernama Amy?" Tebaknya.
"Bagaimana kau tau?" Kevin menatap Olivia terkejut. "Ah! Apa kau datang bersama si jagoan itu?" Ia menatap wanita itu serius.
"Dimana hantu itu?" Bisik Leon pada Olivia.
"Tidak tau." Balas Olivia dengan berbisik juga.
"Dia tidak di sampingmu?" Leon menatap Olivia serius.
"Tidak." Jawab Olivia singkat, jelas, dan padat.
"Sebenarnya apa yang kalian bicarakan dari tadi?" Kevin melipat kedua tangannya di depan dada. "Sangat tidak adil tau, jika kalian berbicara sendiri dan aku kalian abaikan." Protesnya.
"Bukan sesuatu yang-" Olivia melempar satu scalpelnya hingga menancap tepat di tembok yang ada di belakang Kevin. Scalpel melayang itu, menggores sedikit pipi pria itu sehingga mengeluarkan darah. "-Penting." Lanjutnya sembari melepas trench coatnya.
Terlihat banyak scalpel yang di bawa oleh Olivia, namun tidak terlihat karena tertutup trench coat yang ia kenakkan tadi.
"Hoo~" Kevin bersiul senang. Ia mengeluarkan sebuah pisau, tidak, banyak pisau dari balik punggungnya. "Shall we dance?" Ia mengacungkan pisaunya itu pada Olivia.
Leon yang melihat itu segera beringsut mundur dan bersiap dengan kedua pistolnya. Olivia mengambil dua scalpelnya dan menatap datar ke arah Kevin.
"Yes, we shall." Jawab Kevin dan Olivia bersamaan.
~Skip~
Ruangan yang sudah berantakan itu makin berantakan dan hancur karena ulah ketiga orang di ruangan itu. Peluru yang melayang. Pisau yang menancap di mana mana. Serta scalpel yang menggores apapun yang di lewatinya.
"OLIVI- AAA..!!!" Andrew yang baru saja sampai di lantai itu langsung berteriak nyaring saat ada peluru nyasar yang nyaris mengenainya. Ia menatap ngeri pemandangan di depannya. Bercak darah, pakaian yang robek, bangku hancur, dan tembok yang penuh dengan bekas tembakkan.
"Kau terlambat." Ujar Olivia sembari menghalau lemparan pisau dari Kevin dengan tendangannya.
"Apa si hantu sudah datang?" Tanya Leon sembari menembakkan pelurunya ke arah Kevin.
"Yeah." Jawab Olivia singkat sembari berlari mendekat ke arah Kevin dan menendang kepalanya keras.
Brakkkk…..
Kevin terhempas sehingga menabrak sebuah bangku keras. "Lindungilah putri tidurmu." Perintah Olivia pada Andrew.
Andrew mengangguk kaku. Ia segera berlari menuju ke altar tempat peti kaca itu di letakkan. Ia menatap gadis pujaannya dengan tatapan nanar.
"Putri tidur aman." Olivia kembali bersiap dengan kuda kudanya begitu melihat Kevin mulai bangkit dari posisi jatuhnya.
"Sekarang tinggal menyelesaikan si penyihir." Leon kembali mengokang pistolnya dan menatap Kevin tajam.
"Sebenarnya, sedari tadi kalian bicara dan membicarakan siapa sih?" Kevin bangkit dari posisi jatuhnya dan menyeka darah yang mengalir di pelipisnya.
"Dengan siapa?" Beo Olivia. Ia mengkode Leon untuk menembak Kevin.
Dorr…
"Apa kau pikir trik seperti itu akan berhasil?" Cibir Kevin yang baru saja menghalau tembakkan Leon dengan sebuah kayu. "Pikir dua kali para dokter bodoh." Ia melempar kayu itu ke arah Olivia bersamaan dengan pisau tajam yang mengikutinya di belakang.
"Jangan na-"
"Kau yang naif."
Brakk..
Dorr…
Trangg…
Dengan gerakkan cepat, Olivia menendang kayu itu. Dan Leon yang menyadari pisau itu segera menembaknya, sehingga meleset dan tidak mengenai Olivia.
"Oh ya?" Kevin menyeringai. "Kau yang naif, dokter bodoh." Ia menekan tombol pemicu bom yang entah kapan sudah ada di tangannya. Tak lama, ujung pisau yang sedari tadi di lemparkan olehnya berkedip kedip cepat. Dan-
"Shit!"
"Olive!"
"OLIVIA..!!"
DUARRRR…..
Leon terlempar hingga menabrak keras bangku di belakangnya. Andrew yang menyadari ledakan itu segera memeluk peti kaca itu erat, seakan melindunginya dengan tubuhnya dari pecahan dan runtuhan tembok ruangan itu.
Asap hitam segera memenuhi ruangan yang hancur itu. Karena radius bom yang tidak terlalu besar, sehingga hanya menghancurkan ruangan itu saja tanpa merubuhkkan bangunan rumah sakit itu.
Menyadari sesuatu, Andrew segera sadar. Ia menatap peti kaca yang ia lindungi masih utuh. Selanjutnya, ia menatap ke arah Leon yang tertimpa pecahan kubah kaca. Cepat cepat, ia menyingkirkan kaca kaca itu dari atas tubuh pria itu.
"Leon!" Teriaknya saat menyadari Leon tidak sadarkan diri dengan luka di tubuhnya.
Tak lama, ia tersentak. Ia segera mengalihkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan yang telah hancur ini. "OLIVIA..!!!" Teriaknya nyaring. "Jangan bilang-" Dengan panic ia segera berlari menuju ke tempat terakhir Kevin berada.
"Olivia!!" Dengan sekuat tenaganya, Andrew menyungkirkan sebuah reruntuhan besar yang menimpa tempat itu.
"OLIVIAA..!!!!!" Andrew berteriak histeris begitu menemukan sosok Olivia yang tampak melindungi tubuh Kevin dari reruntuhan itu. "Olivia! Kau dengar aku?! Buka matamu..!!" Ia mengangkat tubuh wanita itu dengan hati hati, karena takut jika ada tulangnya yang patah.
"Olivia..!!"
"Pffttt…"
Perhatian Andrew teralihkan saat mendengar suara tawa khas laki laki. Ia menatap tajam sosok yang di lindungi Olivia tadi mulai bangkit dari posisi jatuhnya.
"Dokter bodoh." Ejek Kevin dan diikuti tawa nista darinya.
"Beraninya kau-" Andrew meletakkan tubuh Olivia dengan hati hati. Ia mengambil sebuah scalpel yang tak jauh dari tempatnya berada. Ia menatap pria itu dengan tatapan tajam.
Kevin yang tidak menyadari ada scalpel melayang di dekatnya, terus tertawa. Hingga scalpel itu menghentikan tawanya dengan memotong urat nadi di lehernya. Pria itu langsung terjatuh dengan darah yang keluar dari lehernya.
Andrew yang menyadari apa yang baru saja ia lakukan langsung menjatuhkan scalpel itu dan jatuh terduduk. "Aku tidak tau siapa yang melakukan itu-" Suara di belakangnya membuat arwah penasaran itu terkejut.
"-Jika itu dirimu, hantu yang di lindungi Olivia, maka itu tidak masalah." Ujar Leon yang entah sudah sejak kapan berada di belakang Andrew dan Olivia.
"Kerja bagus, hantu." Puji Leon lemah sembari menyalakan ponselnya untuk memanggil bala bantuan.
"Sialan juga kau dokter penakut." Balas Andrew yang sayangnya tidak dapat di dengar oleh Leon.
To Be Continued
Eta dukungannya~ Jangan sampe lupa~