Setelah rapih, Kenan berjalan ke luar dan membuka pintu. "Kemana aja, sih! lama banget!" kesal Carla yang masuk ke dalam bersama Chika.
"Habis dari kamar mandi, Ma," ucap Kenan malas.
Carla dan Chika masuk ke dalam, ia pun melihat Raka yang sedang berdiri di dekat kaca jendela besar sambil memegang telponnya. "Ada, Raka?" tanya Carla sambil menatap Raka.
"Iya, Ma,"
"Pantas saja lama!" ucapnya sinis sambil melihat ke arah Raka.
"Mama mau apa ke sini?"
"Mama mau minta kamu temani Mama dan Chika belanja."
"Kenan, sibuk!" jawab Kenan singkat.
"Sibuk? sibuk apa?" tanya Carla dengan tatapan sinisnya kemudian ia kembali melihat ke arah Raka yang kini menatapnya.
"Apa masalah Raka, sampai kamu tidak bisa menemani Mama?" tanya Carla yang menatap Raka dedgan tatapan sinis.
"Ma, apaan, sih! Kenan memang sibuk. Tuh, lihat, tumpukan dokument di meja!" tunjuk Kenan ke meja kerjanya.
"Chika aja ngeluangin waktu buat pergi sama Mama. Kamu yang anak Mama kenapa susah banget sih, giliran pergi sama Raka aja, kamu selalu bisa!"
"Ma, apaan, sih! Kenapa bawa-bawa Raka!" kesal Kenan. "Aku memangenggak bisa karena pekerjaanku sedang banyak," ucap Kenan karena dia memang sedang banyak pekerjaan.
"Sudahlah, Mama lebih baik pergi saja berdua dengan Chika!" usir Kenan yang memilih kembali duduk ke kursinya.
"Katanya mau nikah, masa nemenin calon istri aja gak mau!" kesal Carla.
"Bukankah Kenan enggak suka wanita seperti Mama?" tanya Kenan dengan sorot mata tajamnya.
"Chika itu wanita baik, jadi ... "
"Keluar!" teriak Kenan memotong ucapan Mamanya.
"Lebih baik Mama keluar sekarang, sebelum Kenan suruh satpam untuk seret Mama keluar!" tegas Kenan.
"Bener-bener kamu, ya!" kesal Carla.
"Keluar, Ma!" marahnya yang kini sudah berdiri dari duduknya.
"Lo juga Raka, balik ke kantor lo! Gua enggak mau kalian semua ganggu gua!" marahnya menatap ke semua orang. Chika hanya menundukkan kepalanya takut melihat Kenan yang sedang marah. Kenannya sudah berubah dari terakhir ia bertemu.
Carla dengan kesal berjalan ke luar sambil menghentak-hentakkan kakinya. Chika pun mengikuti dari belakang. Raka pun ikut ke luar bersama dengan Carla dan Chika. Kini mereka bertiga ada di dalam lift yang sama. "Apa yang sudah kamu lakukan pada anak saya?" tanya Carla begitu dingin dengan tatapan yang lurus ke depan tanpa menoleh ke arah Raka.
"Tidak ada," jawab Raka singkat.
"Jangan bohong kamu!" marah Carla yang kini menghadapkan tubuhnya untuk melihat Raka.
Raka menolehkan kepalanya untuk menatap Carla. "Dalam kehidupan Kenan, pekerjaan ada prioritas pertamanya. Anda pasti tahu, segila apa Kenan jika sudah menyangkut pekerjaan," ucap Raka begitu santainya.
"Dan saya juga tahu, bagaimana Kenan dan kamu. Dia selalu ada di samping kamu, bukan malah mengusirmu!" ucap Carla penuh penekanan.
Raka tesenyum miring dan pintu pun terbuka. Raka segera keluar tanpa mengatakan apa-apa lagi pada Carla.
"Bajingan brengsek!" umpat Carla menatap kesal punggung Raka yang menjauh sambil keluar dari lift.
"Tante, sabar," ucap Chika sambil menyentuh satu pundak Carla.
Carla menghembuskan napasnya berulang kali untuk menetralkan rasa kesalnya. Ia pun menoleh ke arah Carla dan tersenyum hangat. "Maaf ya, kata-kata Kenan kasar sama kamu. Dia memang kalau sudah bekerja dan pekerjaannya ada yang enggak sesuai sering enggak bisa kontrol sama ucapannya kalau ada orang yang menganggunya bekerja. Jadi, jangan di masukkan ke hati ucapan Kenan. Lebih baik, kita ke mall ya, untuk ngehilangin suntuk," ucap Carla begitu lembut.
"Iya, tante," jawab Chika sedikit kikuk. Carla tersenyum kemudian ia pun meraih lengan Chika untuk di gandeng, mereka pun keluar dari perusahaan Kenan.
Sore ini Kenan pulang lebih awal, entah kenapa perkataan Raka membuatnya selalu memikirkan Qia yang terakhir ia bertemu Qia seperti tidak dalam kondisi baik. Wajah pucatnya dan matanya yang terlihat cemas terbanyang di ingatan Kenan.
Ia segera melajukan mobilnya dan menghentikan mobilnya di gang masuk ke kosan Qia. Dengan langkah tergesa ia pun segera menuju kosan Qia. Kini ia sudah ada di depan pintu kamar kosan Qia. Tangannya sudah terayun ke atas, tapi, ia hanya diam tanpa mengetuk pintu. "Untuk apa aku ke sini?" tanya Kenan entah pada siapa.
Kenan menurunkan tangannya kemudian menatap pintu kamar yang ada di hadapannya. Lama dia terdiam, ia pun memilih untuk membalikkan tubuhnya dan pergi dari sana. "Mas, cari wanita yang tinggal di kamar ini?" tanya seorang pria berkaos hitam celana kolor merah.
"Ah, iya," jawab Kenan sedikit terkejut.
"Mas keluarganya, ya?" Kenan hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Syukurlah, akhirnya ada keluarganya yang datang," ucap si pria itu.
"Memangnya ada apa dengan wanita yang tinggal di sini?" tanya Kenan yang dahinya mengernyit.
"Dua hari lalu wanita yang tinggal di kamar ini di larikan ke rumah sakit dengan pergelangan tangannya yang terluka. Sepertinya mbak yang ada di kamar ini mencoba bunuh diri," jawab pria itu.
"Terus keadaannya bagaimana?" tanya Kenana yang entah kenapa ia menjadi khawatir.
"Dia masih di rumah sakit," jawab pria itu.
"Rumak sakit mana?" tanya Kenan cepat.
"Rumah sakitnya ada di depan sana, mas ke luar gang dan tidak jauh ada rumah sakit."
"Oh, baik. Terima kasih informasinya." Setelah mengucapkan terima kasih Kenan segera berlari untuk menuju mobilnya dan pergi ke rumah sakit yang di katakan pria itu.
Sampai di mobil ia pun segera menghidupkan mobilnya dan melajukannya. Tidak butuh waktu lama, hanya sepuluh menit Kenan sudah sampai di parkiran rumah sakit. Ia segera turun dari mobil dan berlari menuju bagian informasi di mana Qia di rawat.
"Permisi, mbak," ucap Kenan dengan suara terputus-putus.
"Iya, Pak. Ada yang bisa di bantu?" tanyanya tersenyum ramah.
"Pasien bernama Qia, di rawat di mana?"
"Sebentar ya, Pak. Saya cek dahulu."
Suster itu pun mengeceknya, "Maaf, Pak pasien bernama Qia tidak ada."
"Coba cek ulang, saya dapat info jika dia di bawa ke rumah sakit ini dua hari lalu,"
Suter itu pun kembali mengecek dan tidak ada pasien bernama Qia. "Mungkin bukan di rumah sakit ini, Pak."
"Enggak mungkin, dia pasien yang dua hari lalu masuk rumah sakit karena menyayat pergelangangan tangannya," ucap Kenan.
"Oh pasien wanita yang berusia 25 tahun itu. Kalau itu, ada, Pak. Dia di rawat di ruang xxx kamar xxx."
"Terima kasih, Mbak," ucap Kenan dan ia segera berlari menuju kamar rawat Qia.
Langkahnya memelan ketika ia sudah sampai di area ruang rawat Qia. "Apa yang sebenarnya gua lakuin?" tanyanya sambil melangakahkan kakinya. Tiba-tiba ia mendengar suara histeris dari salah satu ruangan. Entah kenapa suara itu membuatnya malah mempercepat langkahnya.
Ia pun melihat pasien yang sedang di tangani dokter. Seorang pasien wanita yang terus meronta dan berteriak histeris. Dari kaca jendela yang terdapat di pintu ia bisa melihat wajah pasien wanita itu yang tidak lain adalah Qia. Ia membulatkan matanya terkejut melihat Qia yang histeris seperti itu.