Keesokan harinya, Lisa bersama dengan Dani pergi ke apartemen barunya. Gina si wanita dari pihak pemasaran sudah menunggu Lisa di depan lobby. Senyuman ramah menghiasi bibir wanita itu seraya menjabat tangan Lisa.
"Selamat datang di apartemen South City! Mari ikut saya." Wanita itu menuntun Lisa dan Dani menuju lift. Ia menggesek kartu serta menekan tombol nomor 4 dan pintu lift tertutup secara otomatis.
"Sistem keamanan kami menggunakan kartu dan sidik jari. Setelah ini nona Lisa akan diambil sidik jarinya sebagai kunci untuk menggunakan lift dan membuka pintu apartemen. Jumlah kartu yang disediakan ada dua, namun nona bisa menambah kartu lagi dengan biaya tambahan," jelas Gina.
"Kalau ada tamu yang mau berkunjung bagaimana?"
"Di lantai dasar dekat lobby sudah disediakan ruang tunggu tamu, jadi nona Lisa tidak perlu khawatir lagi dengan orang asing yang hendak menyusup."
Sesampainya di lantai 4, Lisa dan Dani dibimbing oleh Gina melewati koridor – koridor menuju ruang apartemennya. Tepat di pintu nomor 404, Gina menggesekkan kartunya dan membuka pintu itu.
"Wah bagus banget!" ucap Lisa takjub melihat keindahan apartemen barunya. Ibu dan adiknya pasti bakal betah tinggal di apartemen baru itu!
"Jika nona Lisa ada pertanyaan atau butuh bantuan, anda bisa menghubungi saya di nomor ini," jelas Gina sembari menyodorkan kartu namanya. "Saya berharap nona Lisa sudah puas dengan apartemen baru ini, kalau begitu saya permisi dulu."
Wanita itu kemudian keluar dari apartemen baru Lisa. Dani masih bersiaga di dekat pintu masuk. Lisa berkeliling dari ruang ke ruang, memeriksa semua yang ada di dalam apartemen barunya.
Apartemen yang ia beli memiliki pemandangan indah langsung ke kolam renang. Setiap pagi, ia dapat bersantai – santai di balkon sembari menyesap teh dan menikmati pemandangan kolam renang yang biru jernih serta merasakan sepoi – sepoi angin sore.
Indah, begitu indah. Belum pernah Lisa merasakan kemewahan seperti yang ia lihat saat ini. Lisa masih tidak mempercayai bahwa apartemen ini adalah miliknya, seratus persen!
***
Setelah memeriksa apartemen barunya, Lisa meminta Dani untuk mengantarnya kembali pulang ke rumah Ibunya. Lisa sudah tidak sabar memberitahu Ibunya untuk segera mengemas semua pakaian dan mengangkut barang – barang lain ke apartemen barunya!
"Loh Lisa kok sudah pulang?" tanya Kumala bingung.
"Ibu! Kabar baik! Kita pindah rumah hari ini juga!" seru Lisa kegirangan. Ia memeluk ibunya yang masih berdiri di ambang pintu.
"Puji syukur nak! Akhirnya rumah ini bisa kita jual!" Air mata mengalir dari salah satu mata Kumala, terharu.
"Ayo bu! Lisa juga bantu mengemas barang – barang Bella!"
Kedua wanita itu kemudian mengemasi semua barang – barang mereka. Lisa memanggil jasa pindah rumah dibantu oleh beberapa laki – laki yang akan membawanya pindah ke apartemen baru. Mungkin dibutuhkan sekitar dua sampai tiga hari untuk benar – benar dapat memindahkan seluruh barang – barang dari rumah lamanya itu.
Sebelum berangkat, Kumala berdiri di depan pintu pagar dan bergumam, "Terima kasih Tuhan, terima kasih rumahku, terima kasih atas 25 tahun hidup bersama denganku dan Lisa dan juga Bella. Selamat tinggal rumahku. Semoga kamu menemukan penghuni yang lebih layak tinggal daripada aku..."
Sesampainya di apartemen baru, Kumala terdiam melihat kemewahan apartemen yang akan menjadi tempat tinggal barunya itu. Matanya berbinar – binar takjub, seakan ini adalah mimpi yang menjadi kenyataan. Kumala tidak mampu berkata – kata. Ia benar – benar dibuat terdiam membisu oleh keindahan dan kemewahan yang ada di hadapannya!
"Bagaimana, ibu suka dengan tempat baru kita?" tanya Lisa, tangannya merangkul Kumala.
Kumala hanya mengangguk, anatara senang dan terharu. Bagaimana mungkin orang dengan penghasilan pas – pasan mampu tinggal di apartemen semewah yang ia tempati sekarang ini?
"Tapi nak, dari mana kamu mendapatkan apartemen semewah ini!? Kau tidak korupsi kan?"
Mendengar pertanyaan Kumala, Lisa seperti disambar petir. Tidak ia sangka, hari ini bakal terjadi. Cepat atau lambat Ibunya pasti curiga.
"Soal itu bu..." Lisa menundukkan kepalanya. Lidahnya kelu untuk mengatakan yang sesungguhnya, namun ketika saatnya tiba ia tetap harus jujur kepada ibunya. "Aku hamil bu."
"Apa maksudmu kamu hamil nak!?" Kumala terkejut, kedua matanya terbelalak mendengar kalimat terakhir putri sulungnya itu. Kemarin – kemarin Lisa memang bertingkah tidak seperti biasanya, utamanya ketika makan. Setahunya, Lisa tidak terlalu suka acar, namun belakangan ini Lisa sangat suka makan acar. Ternyata benar, putri sulungnya itu mengidam karena tengah hamil!
"Apartemen ini bosku yang belikan bu. Iya, aku hamil anak bosku di kantor."
Kaki Kumala mulai lemas, ia kemudian duduk di salah satu kursi yang masih dilapisi plastik. Terdiam membisu. Ia hanya menggelengkan kepalanya, tidak percaya akan kenyataan yang menimpanya.
"Ibu tenang saja, ia bahkan melamar Lisa bulan lalu! Tetapi Lisa masih bingung untuk menerima lamarannya atau tidak..."
"Apa maksudmu bingung? Kamu harus menikah dengannya Lisa! Ini benar – benar tidak bisa diterima! Bagaimana nasib anakmu itu nanti jika kau tidak menikah dengan bosmu itu? Kamu tahu kan negara kita tidak akan mengakui anak di luar nikah!"
Lisa menundukkan kepalanya malu. Ia tahu perbuatannya itu benar – benar perbuatan tidak terpuji, namun yang telah terjadi sudahlah terjadi. Ia masih ingat Oscar memberinya dua pilihan, antara menerima lamaran nikahnya atau menggugurkan janin yang dikandungnya. Lisa benar – benar terpecah antara aborsi atau menikah.
Lisa yakin Ibunya tidak setuju bila ia menikah dengan seorang pria yang belum pernah ia kenalkan kepada ibunya, terlebih pria itu bukan pria lokal! Bagaimana citra Lisa di mata ibunya jika Ia menikah dengan bule!?
"Sebenarnya Lisa ingin menggugurkan anak ini bu..."
"Tidak! Jangan!" Kumala menatap tajam kedua mata anaknya itu. Intonasi suaranya mulai agak meninggi. "Segeralah kamu menikah nak! Tunggu apa lagi? Ibu sebenarnya juga tidak suka dengan perbuatanmu ini tetapi menikah jauh lebih baik daripada kamu menggugurkan anak itu, karma buruk pasti akan datang!"
Lisa duduk di samping Ibunya yang teracak – acak hatinya. Ada sedikit malu dan rasa bersalah mendalam karena Lisa sudah mengecewakan Ibunya setelah ia kehilangan uang tabungannya yang berakibat sering membuatnya mabuk – mabukan. Jika bukan karena Ibu dan adiknya, Lisa tidak akan mau lagi bekerja di Petersson Communication. Keputusannya untuk tetap bekerja di perusahaan yang kini menjadi milik Oscar itu benar – benar mengorbankan harga dirinya sebagai wanita terhormat. Pasalnya Lisa harus memenuhi hasrat akan seks Oscar demi tetap bisa bekerja di tempat itu.
Lisa merasa sangat bodoh, mau – mau saja ia diperalat oleh seorang bule kaya raya hanya demi uang? Rasanya seperti wanita sewaan saja!
"Baiklah bu, Lisa akan terima lamaran nikahnya. Tetapi ibu istirahat dahulu saja ya? Biar Lisa saja yang mengurus soal pernikahan ini. Lisa masih harus mengurus urusan rumah kita yang belum selsai!"
Kumala menangguk dengan acuh. Ia masih kecewa dengan putri sulungnya itu. Lisa beranjak dari tempat duduknya namun tangannya diraih oleh Kumala.
"Nak, sebenarnya ada yang ingin Ibu minta tolong..." ucap Kumala, suaranya terdengar sedikit terisak. "Ibu ingin menyelesaikan surat perceraian yang masih digantung ayah, tetapi ibu tidak punya uang untuk menyewa pengacara."
Kumala menatap mata Lisa yang berlutut di hadapannya, air mata mengalir deras dari kedua matanya. "Bisakah kau meminta tolong kepada bosmu untuk mencarikan pengacara nak? Ibu minta tolong... Ibu sudah tidak tahan diganggu oleh ayahmu itu..."