Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan… atau mimpi Hailee akan kejadian yang telah terjadi selang beberapa jam saja.
Hailee mengusap wajahnya dan menggosok kedua matanya yang lelah, dia tidak sadar telah tertidur di sofa ini.
"Hailee? Buka pintunya."
Itu adalah suara Ian.
"Ya, sebentar," sahut Hailee dengan suara yang serak, dia melihat jam yang telah lewat tengah malam, sepertinya memang dia telah ketiduran saat menunggu Ian.
Dengan langkah gontai dan kepala yang pusing karena kurang tidur dan ketegangan yang harus dia alami sepanjang harian ini, Hailee berjalan menuju pintu dan membukanya.
Tubuh Ian menjulang di hadapan Hailee dengan seringainya yang seperti biasa. Hailee dapat melihat beberapa memar di wajahnya dan luka sobek di bagian dahi dan bibirnya, tapi selain itu Ian baik- baik saja.
Dan berdasarkan binar di matanya, tidak perlu ditanya untuk memastikan karena Hailee bersedia bertaruh kalau Ian telah memenangkan pertarungan ini lagi.
"Tidur?" tanya Ian sambil memeriksa wajahnya di cermin.
"Ya, dan mimpi buruk," gerutu Hailee, kembali meringkuk di sofa.
"Seburuk apa?" tanya Ian, dia meletakkan sebuah amlop cokelat di pangkuan Hailee. "Bertemu hantu?"
"Hantu akan terlihat sangat manis kalau dibandingkan dua orang yang aku mimpikan," ucap Hailee sambil bersungut- sungut, tapi senyum samar muncul di bibirnya saat dia melihat sejumlah uang di dalam amplop yang tadi Ian berikan. Ternyata ketiga benda milik Roland itu cukup mahal juga…
Di sisi lain, Roland tertawa kecil ketika dia mendengar jawaban Hailee. "Kau tidak perlu melihat uang sebanyak itu dengan tatapan takjub, uang peninggalan orang tuamu pasti jauh lebih banyak daripada itu."
Mendengar kalimat Ian, mood Hailee seketika itu juga turun drastis, dia meletakkan kembali uang tersebut ke dalam amplop dan menaruhnya di kantong jaket dengan aman.
"Harta?" Hailee mendengus, tapi kesedihan sangat terasa dalam sorot matanya. "Bahkan pembacaan surat wasiat pun baru akan di lakukan satu minggu dari sekarang, dan kalaupun aku menerima hak warisku, apa yang bisa aku lakukan dengan keadaanku yang seperti ini?"
Walaupun Hailee mendapat hak waris, tentu saja dia tidak bisa melenggang datang ke rumahnya dan menuntuk haknya. Itu sama saja bunuh diri dan mengekspos dirinya sendiri pada bahaya yang jauh lebih besar. Biar bagaimanapun juga, Hailee telah membunuh seseorang…
Ini merupakan salah satu penyesalan dirinya. Bukan karena harta yang tidak bisa Hailee nikmati, tapi karena dirinya tidak rela semua asset tersebut harus jatuh pada Aileen.
Biar bagaimana pun juga, Hailee tidak akan pernah sudi untuk memberikan sepeserpun harta milik orang tuanya pada Aileen, tapi keadaan berkata lain dan Hailee sedang dalam kondisi sulit dimana dia harus berjuang menyelamatkan dirinya lebih dulu.
"Kita akan memikirkan cara bagaimana membalas Aileen," ucap Ian dengan geram.
Tapi, Hailee menggelengkan kepalanya. "Kita bisa memikirkan hal itu nanti, yang ada di dalam pikiranku sekarang adalah mandi, pakaian bersih dan tempat tidur yang nyaman," ucap Hailee dengan letih.
Melihat Hailee yang pucat, Ian segera berkata. "Aku akan mandi dulu sebentar, setelah itu kita akan pergi ke rumahku."
Hailee mengangguk dan kembali meringkuk di atas sofa, memeluk amplop uang di dalam saku jaketnya.
***
Hailee tinggal selama dua hari di rumah Ian yang tidak terlalu besar. Karena hanya ada satu kamar tidur, maka dari itu Ian menyuruh Hailee yang menggunakanya sementara dirinya tidur di sofa di depan televisi.
Sebenarnya hal tersebut tidak masalah bagi Ian, karena pada malam hari dia akan sibuk di Arena dan baru kembali saat hari menjelang siang dan menghabiskan waktunya di rumah itu hanya untuk tidur sebelum dia harus pergi lagi.
Terkadang malah Ian tidak pulang dan menginap di rumah temannya hanya karena begitu membosankan berada di rumah sendirian.
Tapi, kali ini, Ian pulang lebih awal dengan membawa Hailee.
Pada saat mereka akan memasuki wilayah rumah Ian, pria itu dengan tegas memberitahunya untuk menutupi wajahnya.
Biar bagaimanapun juga, Hailee adalah wanita muda dan kalau dia harus tinggal di rumah Ian, maka akan menimbulkan rumor yang tidak ramah di telinga.
Tidak masalah bagi Ian, karena dia adalah laki- laki, tapi Hailee berbeda, apalagi keluarganya cukup di kenal sebagai pengusaha berlian di kota R ini.
Hailee menurut dengan patuh dan menutupi wajahnya dengan hoodie dan topi baseball seraya mereka berdua berjalan memasuki rumah Ian.
Selama dua hari ini, Hailee sama sekali tidak keluar rumah dan menghabiskan waktunya dengan membersihkan rumah Ian yang… hmm… cukup berantakan.
Untuk makanan, Ian tidak akan lupa untuk berbelanja, kegiatan yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya, sebelum dia pulang ke rumah dan mengisi kulkas, yang hampir selalu kosong, dengan bahan- bahan makanan yang nantinya akan Hailee sulap menjadi masakan terlezat yang pernah Ian makan.
Pada awalnya Ian sangat skeptis dengan kemampuan Hailee dalam memasak. Seorang anak paling muda dari pengusaha berlian yang dimanja habis- habisan, hampir tidak mungkin Hailee bisa memasak lebih mewah dari sebuah telor dadar.
Namun, kenyataan berkata lain; Hailee sangat pandai dalam bidang ini.
Seperti hari sebelumnya, Ian akan pulang saat waktu menunjukkan pukul sepuluh, pada saat itu, Hailee sudah selesai menyiapkan tiga menu hidangan sederhana yang terdiri dari udang goreng tepung, sup tofu dan semangkuk mie panas.
Bahkan saat Ian baru membuka pintu saja, dia dapat mencium aroma masakan yang menggugah selera ini.
"Ah! Menyenangkan sekali kalau bisa seperti ini setiap hari," Ian mendesah sambil mengunyah udang goreng tepungnya dan mengambil satu porsi nasi lagi.
Hailee hanya memutar bola matanya saat dia mendengar komentar dari sahabatnya ini, "Makanya, cari pacar yang bisa merawatmu," tegur Hailee.
"Saran dari orang yang bahkan tidak punya pacar juga," balas Ian menyeringai sambil berdiri untuk mengambil botol air dingin dari dalam kulkas.
Hailee mencibir, "kau tidak bisa menyamakannya denganku."
"Oh, ya! Aku hampir lupa!" Ian berseru sambil menepuk jidatnya dengan cukup keras, dia kemudian meletakkan botol air minum itu di meja dan merogoh sesuatu dari kantong jaket, yang tadi dia sampirkan di sandaran kursi. "Ini."
Ian kemudian meletakkan satu buah amplop berwarna cokelat di depan Hailee.
Secara naluri, Hailee langsung membukanya dan mendapatkan beberapa dokumen di dalamnya dan satu buah identitas.
Ini adalah dokumen- dokumen yang Ian janjikan dua hari lalu dan ternyata selesai lebih cepat dari yang diperkirakan.
Hailee kemudian membaca nama yang tertera di sana. "Hailee Wolfe?"
Ian mengangguk dan menyeringai, "Kenapa? Bagus, kan?" dia berkata sambil tertawa kecil.