Acara makan malam yang telah Sarah rencanakan terpaksa gagal. Devian yang membatalkan acara tersebut, karena tidak mungkin dirinya enak-enakan makan sementara istrinya sakit. Meski awalnya Sarah tidak setuju, tetapi jika sudah menjadi keinginan Devian, siapapun tidak dapat menolak. Kecewa itu yang Sarah dan Amara rasakan.
Namun tidak dengan Devian, bagi dia kondisi Nadine lebih penting dibandingkan dengan acara itu. Meski terkadang egonya menguasai diri Devian, tetapi sebagai seorang suami pasti tetap merasa khawatir dengan kondisi sang istri. Setelah dokter selesai memeriksa kondisi Nadine, Devian memilih untuk duduk di samping istrinya yang belum sadarkan diri, wajahnya juga masih terlihat pucat.
"Nadine, maafin aku." Devian memegang tangan istrinya itu.
Selang beberapa menit, pintu kamar terbuka, terlihat bi Mirna datang dengan membawa nampan berisi air minum dan juga makanan. Bi Mirna meletakkan nampan tersebut di atas meja yang terletak di dekat ranjang. Sementara itu, Devian mesin duduk di tepi ranjang seraya memegangi tangan Nadine.
"Jadi makanan itu Nadine yang memasak semuanya, Bi?" tanya Devian. Matanya terus menatap wajah pucat istrinya.
"Benar, Tuan. Nyonya besar melarang bibi untuk membantu, Nyonya," jawab bi Mirna.
Devian menghembuskan napasnya. "Ok, Bibi bisa keluar."
"Baik, Tuan. Permisi." Bi Mirna bergegas keluar dari kamar majikannya itu.
Setelah bi Mirna pergi, perlahan mata Nadine terbuka. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya untuk menyesuaikan dengan cahaya dalam kamar. Setelah kelopak mata Nadine terbuka sempurna, wanita berjilbab itu nampak terkejut. Terlebih saat melihat jika dirinya masih berada di kamar suaminya. Nadine menatap heran ke arah Devian yang wajahnya terlihat berbeda.
"Nadine kamu baik-baik saja 'kan?" tanya Devian, dan dibalas dengan anggukan oleh Nadine.
"Aku nggak apa-apa kok, Mas." Nadine berusaha bangkit, tetapi Devian mencegahnya.
"Kamu istirahat saja, lagi pula ini sudah malam. Apa kamu mau makan," tawarnya. Devian menatap wajah istrinya yang terlihat bingung.
Nadine melirik meja di samping ranjang, terlihat ada sepiring nasi beserta lauknya dan segelas air putih. Namun selera untuk makan sama sekali tidak ada, Nadine masih teringat dengan apa yang suaminya itu lakukan. Sementara itu, Devian masih memandangi istrinya yang tengah melamun itu, entah apa yang ada dalam benak Nadine saat ini.
"Nadine, kamu makan dulu ya. Kata bi Mirna seharian ini kamu belum makan," ungkap Devian. Ia hendak mengambil piring yang berisi makanan.
"Aku tidak lapar, Mas." Nadine menghembuskan napasnya.
"Kamu yakin." Devian menatap netra teduh milik istrinya itu. Sementara Nadine hanya menganggukkan kepalanya.
"Aku mau istirahat saja." Nadine hendak turun dari ranjang, tetapi Devian mencegahnya.
"Kamu tidur saja ... aku nggak akan macam-macam kok," ujar Devian. Setelah itu ia bangkit dan berjalan menuju sofa.
Nadine menghembuskan napasnya, setelah itu ia merebahkan tubuhnya kembali. Nadine memiringkan tubuhnya menghadap ke arah jendela, entah apa yang kini ia rasakan. Bahagia, atau sebaliknya. Sementara itu, Devian terlihat sibuk dengan ponselnya, sesekali ia melirik ke arah istrinya yang berbaring di atas ranjang.
Selang lima menit, Devian melihat jika punggung Nadine bergetar. Sudah dapat dipastikan jika istrinya itu tengah menangis, entah apa penyebabnya Devian tidak tahu. Merasa penasaran, pria bermata elang itu bangkit dan berjalan menghampiri sang istri. Devian duduk di tepi ranjang, ia terus memperhatikan Nadine, bahkan sekarang terdengar isakan tangis istrinya itu.
"Nadine." Devian memegang bahu Nadine, tetapi dengan cepat wanita itu menepisnya.
"Untuk apa kita hidup satu atap, tetapi kita seperti orang asing. Kalau memang, Mas tidak bisa menerimaku sebagai seorang istri. Tolong lepaskan aku, kembalikan aku pada orang tuaku." Nadine menyeka air matanya yang sudah membasahi kedua pipinya.
Devian terdiam mendengar ucapan Nadine, rasanya seperti tersambar oleh petir di siang hari. Pria beralis tebal itu mencoba mencerna setiap ucapan Nadine, ia tidak menyangka jika istrinya bisa berkata seperti itu. Sementara Nadine memaksa untuk bangun, ia menatap wajah suaminya dengan bulir bening yang terus mengalir. Baru kali ini Nadine bisa menatap wajah suaminya sedekat itu.
"Kenapa kamu bicara seperti itu." Devian menatap wajah Nadine yang tampak masih pucat.
"Seharusnya, Mas tahu kenapa aku bicara seperti ini. Aku sadar di mana letak kesalahanku, tapi apa salah jika aku aku mengharapkan maaf dari, Mas. Aku seorang istri, tapi bagimu aku seperti orang asing." Nadine menghembuskan napasnya.
"Aku ikhlas jika, Mas mau kembali bersama dengan dia (Alexa). Aku bahagia jika, Mas juga bahagia, aku rela jika kita harus berpisah. Mungkin, Mas Devian bukan jodohku, meskipun ini sakit. Tapi aku akan mencoba untuk tegar, aku benar-benar ikhlas." Setelah mengatakan itu, Nadine bangkit dan memilih keluar dari kamar Devian.
Nadine berharap jika suaminya itu akan mencegahnya. Namun kenyataannya tidak, pria beralis tebal itu sama sekali tidak mencegahnya, Devian hanya diam mematung setelah mendengar ungkapan dari sang istri. Nadine memilih kembali ke kamarnya, di dalam kamar wanita bermata teduh itu meluapkan tangisan dan rasa sedih ia rasakan.
***
Keesokan harinya, pukul tujuh pagi Devian sudah siap untuk berangkat ke kantor. Pria berjas itu keluar dari kamarnya dan bergegas turun ke lantai bawah. Setibanya di bawah, Devian nampak heran, biasanya saat ia turun Nadine sudah berada di ruang makan untuk menyiapkan sarapan pagi. Namun pagi ini, Devian sama sekali belum melihat istrinya itu.
"Bi, apa Nadine belum turun?" tanya Devian.
"Belum, Tuan. Sejak tadi pagi, Nyonya belum keluar dari kamar," jawab bi Mirna.
Devian terdiam sejenak. "Ya sudah."
Setelah itu, Devian memilih naik kembali ke lantai atas, tujuannya adalah kamar Nadine. Setibanya di depan pintu kamar, Devian terlihat ragu saat hendak mengetuk pintu tersebut. Pria berjas itu mengangkat tangannya, tetapi ia turunkan kembali. Saat Devian yakin untuk mengetuknya, tiba-tiba ponselnya berdering. Takut ada yang penting, ia segera mengangkat telepon tersebut.
[ Halo, Alexa ada apa ]
[ Mas, tolong jemput aku ya. Mobil aku mohon ]
[ Apa, tapi ... sekarang kamu ada di mana ]
[ Aku ada di depan butik Azahra. Cepet ya, Mas nanti aku bisa telat ]
[ Ok, sebentar lagi aku ke sana ]
Setelah itu Devian menutup sambungan teleponnya, ia kembali menaruh ponselnya di saku jas. Devian yang hendak menemui Nadine terpaksa ia tunda. Pria berjas itu lebih memilih untuk pergi menjemput Alexa, dibandingkan untuk menemui istrinya terlebih dahulu. Setelah itu Devian bergegas pergi, ia tidak sadar jika sedari tadi Nadine berada di balik pintu tersebut.
Air mata Nadine kembali menetes saat mendengar percakapan antara suami dengan wanita lain. Ia tidak menyangka jika Devian lebih mementingkan mantan kekasihnya dibandingkan istrinya.
Nadine yang awalnya hendak keluar, ia urungkan kembali niatnya. Wanita berjilbab itu kembali mengurung diri di kamar, hatinya benar-benar hancur mendengar kenyataan itu.
"Kamu benar-benar tega, Mas. Kamu tega melakukan semua ini, jika kamu memang tidak menginginkanku, kenapa masih mempertahankan pernikahan ini." Nadine menangis sembari memandangi foto pernikahan mereka.
"Untuk apa pernikahan ini, jika kita saja hidup bersama tetapi seperti orang asing. Mungkin aku yang harus pergi, aku benar-benar sudah tidak sanggup lagi." Nadine menyeka air matanya, ia berjalan ke arah almari.
Nadine berniat untuk pergi ke rumah orang tuanya, mungkin di sana ia bisa merasa lebih tenang. Namun saat Nadine hendak membuka almari, kepalanya tiba-tiba terasa sangat pusing. Wanita berjilbab itu berjalan menuju meja rias dengan memegangi kepalanya. Nadine melihat jika hidungnya kembali mengeluarkan darah, dengan cepat ia mengambil tisu untuk membersihkannya.
"Ya Allah, kenapa kepalaku pusing banget." Nadine duduk di kursi, dengan terus memegangi kepalanya.
Setelah rasa pusing di kepalanya sedikit reda, Nadine paksakan untuk bangkit. Sebelum ia ke rumah orang tuanya, ia akan pergi ke RS terlebih dahulu. Akhir-akhir ini Nadine memang sering merasakan pusing dan mimisan, ia takut jika ada penyakit yang serius. Setelah siap, wanita berjilbab biru dengan gamis polos berwarna senada itu keluar dari kamarnya.
***
Mobil BMW i8 berwarna putih berhenti di salah satu gedung bertingkat. Selang beberapa menit, seorang wanita dengan balutan dress berwarna merah turun, dan diikuti oleh pria berjas. Mereka adalah Alexa dan Devian. Atas permintaan dari mantan kekasihnya itu Devian memilih untuk pergi menjemputnya, dari pada mementingkan istrinya sendiri.
"Terima kasih ya, Mas udah mau nganterin aku," ucap Alexa dengan tersenyum.
"Sama-sama, ya sudah aku ke kantor dulu ya." Devian membalas senyuman Alexa. Setelah itu ia beranjak pergi.
Setelah mobil Devian melesat pergi, Alexa bergegas masuk ke dalam gedung tersebut. Wanita berambut pirang itu berjalan menuju ruangan tempat di mana pemotretan itu akan berlangsung. Namun sebelum ia masuk ke ruangan tersebut, ia akan masuk ke dalam ruangan di mana seseorang telah menunggunya. Alexa membuka pintu tersebut, ia tersenyum saat melihat seorang pria tengah duduk di sofa.
"Sudah lama." Alexa berjalan menghampiri pria berjas biru yang tengah duduk di sofa.
"Lumayan, bagaimana. Apa kamu sudah siap untuk pemotretan hari ini." Pria berjas itu menarik pergelangan tangan Alexa dan menuntunnya untuk duduk di sebelahnya.
"Siap dong. Yang terpenting bayarannya," ucap Alexa.
"Untuk bayarannya kamu tidak perlu khawatir, aku sudah menyiapkannya." Pria berjas itu mengeluarkan amplop berwarna coklat dan menyerahkannya pada Alexa.
Alexa menerima amplop tersebut dengan tersenyum. "Thanks, kalau begitu aku ganti baju dulu ya."
"Ok, Sayang." Pria berjas itu mencolek hidung mancung Alexa.
Alexa beranjak dari sofa dan bergegas masuk ke dalam ruang ganti. Alexa mengambil baju yang akan dia pakai, sebuah gaun seksi tanpa lengan berwarna merah. Bagian dadanya yang terbuka membuat kulit putih dan mulusnya itu terlihat begitu jelas. Setelah selesai mengganti baju, Alexa segera memoles wajahnya dengan make-up.
***
Hampir satu jam lebih Nadine masih berada di RS. Saat ini ia tengah menunggu hasil dari pemeriksaan kesehatannya. Nadine berharap semoga tidak ada penyakit serius yang bersarang di tubuhnya. Namun, kenyataan tak sesuai dengan harapannya. Hari ini adalah hari terburuk bagi Nadine, rasanya seperti tersambar petir di siang hari.
"Apa masih bisa di sembuhkan, Dok?" tanya Nadine. Matanya sudah berkaca-kaca.
"Salah satu jalannya adalah melakukan kemo terapi, atau operasi. Itupun harus ada donor sumsum tulang belakang," jelas dokter tersebut.
"Berapa lama saya bisa bertahan, Dok?" tanya Nadine lagi.
"Maaf, Bu. Masalah umur sudah ada yang mengatur, tetapi untuk prediksi seorang dokter. Ibu hanya bisa bertahan sekitar lima atau enam bulan. Paling lama satu tahun, itupun jika ibu mau melakukan kemo terapi," terangnya kembali.
Nadine menyeka air matanya. "Baik, Dok. Kalau begitu saya permisi dulu."
Setelah itu, Nadine beranjak keluar dari ruangan tersebut. Langkah kakinya terasa gontai, mengingat jika dirinya tidak punya waktu banyak untuk bertahan lagi. Nadine berjalan menyusuri koridor RS, pikirannya tertuju pada nasib pernikahannya dengan Devian. Jika memang itu yang terbaik, Nadine ikhlas. Dan saat ini yang harus ia lakukan adalah, mengabdi dan menjalankan tugasnya sebagai seorang istri.
"Sebelum aku benar-benar pergi, aku akan mengabdikan diri ini, dan menjalankan tugasku sebagai seorang istri. Walaupun kamu tidak menginginkannya, tetapi aku ingin menjadi istri yang berguna untukmu." Nadine memejamkan matanya sejenak. Setelah itu ia kembali melanjutkan langkahnya.
Tujuannya untuk ke rumah kedua orang tuanya, terpaksa Nadine batalkan. Tubuhnya benar-benar terasa sangat lemas, mungkin itu efek dari sakit yang ia derita. Saat ini Nadine ingin beristirahat, ia pun memilih untuk pulang ke rumah. Lalu untuk penyakit yang Nadine derita, ia akan merahasiakan dari siapa pun, terutama Devian. Ia tidak ingin jika orang-orang tahu dengan penyakitnya itu.
Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat, sinar mentari yang terang kini telah digantikan oleh sinar rembulan. Malam ini Devian pulang sedikit lebih awal, ia merasa khawatir dengan keadaan istrinya itu. Tadi pagi Devian tidak sempat untuk melihat kondisi Nadine lantaran ia lebih memilih untuk menemui Alexa. Devian memang egois, ia lebih mementingkan orang lain ketimbang istrinya sendiri.
Saat ini Devian sudah berada di rumah, pria berkemeja putih itu berjalan menuju ruang tengah di mana istrinya berada. Terlihat jika Nadine tengah duduk di sofa sembari menonton televisi. Merasa akan kehadiran suaminya, Nadine bangkit dan berjalan menghampiri sang suami. Wanita berjilbab itu tersenyum, lalu mengambil alih jas milik Devian, dan tak lupa mencium punggung tangan suaminya itu.
"Mas tumben pulang cepet. Oya, Mas mau aku buatkan kopi dulu atau .... "
"Nanti saja, kamu sudah sehat?" tanya Devian. Ia menatap wajah istrinya yang terlihat masih pucat.
"Alhamdulillah sudah, Mas. Aku baik-baik saja kok." Nadine tersenyum, ia mencoba menyembunyikan sakitnya.
"Syukurlah, untuk yang semalam. Apa kamu .... "
"Lupakan saja, Mas. Semalam aku hanya kesal saja, maaf." Nadine memotong ucapan Devian.
Devian tersenyum canggung, jujur ia merasa lega karena istrinya tidak benar-benar ingin berpisah. Tidak bisa dipungkiri jika Devian sama sekali tidak ingin berpisah, tetapi entah kenapa sampai saat ini ia belum bisa sepenuhnya memaafkan kesalahan Nadine. Sebelum Devian tahu siapa orang yang sudah merencanakan perbuatan keji itu terhadap istrinya itu.
"Oya, Mas mau makan pakai apa. Nanti biar aku siapin," tawar Nadine.
"Aku tadi sudah makan, kalau kamu belum makan, lebih baik kamu makan dulu. Jangan seperti kemarin," balas Devian. Ia melihat raut wajah Nadine yang tiba-tiba berubah.
"Iya, Mas." Nadine menganggukkan kepalanya.
"Ya sudah, aku ke kamar dulu." Devian berjalan menaiki anak tangga, sementara Nadine masih berdiri dengan memandangi punggung suaminya yang perlahan menghilang.
Setelah Devian masuk ke dalam kamar, Nadine pun memilih untuk ke kamar juga. Nafsu makannya sudah hilang, padahal ia berharap bisa makan malam bersama dengan Devian. Namun itu hanya harapan saja, toh setiap kali suaminya pulang pasti sudah makan di luar. Setibanya di kamar, Nadine merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Pikirannya menerawang jauh, entah apa yang saat ini ada di benak Nadine.
Malam semakin larut, saat ini waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Namun sampai detik ini Nadine belum bisa memejamkan matanya, netranya masih setia terjaga. Hingga akhirnya, Nadine terkejut saat melihat kilatan petir yang menyambar, serta bunyi petir yang terdengar sangat dekat di telinganya. Hal itu membuat Nadine menjerit ketakutan, dan menutup telinga dengan kedua telapak tangannya.
Devian yang baru saja menyelesaikan tugas kantornya, samar-samar mendengar jeritan Nadine. Takut terjadi apa-apa, Devian berlari menuju kamar sang istri, tanpa mengetuk pintu tersebut terlebih dahulu, pria dengan balutan kaos berwarna putih itu membuat pintu kamar Nadine. Matanya tertuju pada istrinya yang tengah meringkuk ketakutan di atas ranjang. Kedua telapak tangannya menutupi telinganya.
"Bunda, Nadine takut. Nadine takut sama petir. Bunga tolongin Nadine." Nadine berucap dengan isakan tangisnya. Memang Nadine sangat takut dengan suara petir.
Devian yang melihat itu segera berlari menghampiri sang istri. Tanpa ragu-ragu Devian memeluk tubuh mungil Nadine, dan mencoba untuk menenangkannya. Pria beralis tebal itu memeluk erat tubuh istrinya, memberikan rasa nyaman. Devian juga mengusap kepala Nadine yang tidak terbalut dengan hijab. Nyaman, itu yang Nadine rasakan, ia dapat merasakan sentuhan hangat dari suaminya itu.