Setelah melawan Ratu Sarah, kami pergi meninggalkan istananya yang sudah penuh dengan bercak darah. Bau segar darah yang baru saja keluar dari kulit dan tubuh manusia. Bau amis yang tajam menusuk hidung kami. Untuk pertama kalinya kami melakukan pembunuhan, setidaknya itu dilakukan untuk kehidupan manusia lain yang lebih banyak. Karena tindakannya yang serakah, Ratu Sarah dihukum oleh dewa sementara dewa memberikan kami petunjuk baru untuk mendapatkan permata itu. Permata segi enam indah dan berkilauan, memancarkan warna kuning, melambangkan permata kepunyaan Nirograph (Dimensi Merkurius) yang agung.
Oleh karena itu, kami bergegas untuk pergi ke arah barat daya, arah dimana permata itu terletak. Sejauh apapun tempat itu, tak akan memudarkan semangat kami yang terus membara. Kami meninggalkan istana tersebut, pergi ke arah barat daya dengan bantuan Jovan dalam membuat kompas.
"Kita buat sifat magnetik antara kutub dan jarum yang memiliki sifat magnet. Ada yang punya jarum dan magnet?" ucap Jovan.
"Aku ada bawa banyak perlengkapan. Aku juga bawa magnet dan alat tajam. Jadi aku bawa jarum," ucap Lucky.
"Bagus kalau begitu. Berikan padaku!" ucap Jovan mengambil magnet dan jarum yang diberi Lucky.
"Gabusnya aku ambil sekalian, ya" ucap Jovan.
"Ambil saja yang kau perlu," ucap Lucky.
"Untuk apa bawa magnet dan jarum?" tanya Leonna.
"Kalau magnet memang sudah ada di dalam tas. Kalau jarum untuk ditusukkan ke mata orang. Sekalian untuk berjaga - jaga. Kenapa? Mau coba ditusuk?" ucap Lucky bergurau.
"Gak, makasih. Aku masih mau melihat," ucap Leonna.
"Jadi cara buat kompas, tinggal gosok jarum ke magnet searah untuk menghasilkan sifat kemagnetan di jarum. Lalu, jarum yang sudah punya sifat itu kita tusuk di sebuah gabus kecil dan letakkan di atas permukaan air. Lalu jarum akan menunjukkan arah utara dan selatan kutub. Aku tidak tahu jika ini bisa berhasil di dimensi. Tapi, dimensi ini dibuat sedemikian rupa dengan hukum alam di Bumi," jelas Jovan.
Jovan meletakkan gabus itu di atas permukaan air dan hasilnya jarum menunjuk ke arah kami yang berada di utara. Artinya hukum kemagnetan Bumi juga diterapkan di dimensi seperti yang diucapkan oleh Jovan. Berarti kita hanya perlu mengarah ke arah timur laut jika dilihat dari posisi kami sekarang (mereka menghadap ke arah selatan, oleh karena itu pandangan arah mata angin berbeda. Sedangkan yang dijelaskan di isi surat ke arah barat daya dari pandangan ke arah utara).
Perjalanan menuju ke tempat permata tampaknya akan menghabiskan banyak waktu. Kami lelah berjalan sedangkan langit sudah semakin gelap menunjukkan hari yang semakin malam.
"Apa tak ada kendaraan? Aku capek tahu," ucap Lucky mengeluh.
"Aku juga capek. Tapi, akan lebih baik jika kita sampai duluan ke tempat tujuan daripada istirahat di hutan ini, kan?" ucapku.
"Iya juga sih. Kalau gitu gendong aku," ucap Lucky kepadaku.
"Aku gak sanggup gendong. Kalau mau sini, biar kugendong ke atas pohon," ucapku mengancam Lucky.
"Oh iya, Lucky. Kamu kan bisa berubah jadi hewan. Kamu berubah saja jadi burung elang yang besar," ucapku.
"Ehh, iya ya. Tapi, masa aku yang dikorbankan. Tega sekali," ucap Lucky.
"Berubah saja. Kami lelah nih!" ucap Leonna.
"Ya sudah. Aku berubah dulu. Langsung naik ya," ucap Lucky.
Ia kemudian berubah menjadi seekor burung elang raksasa. Memenuhi hutan yang sepi dan tak ada populasi sama sekali. Kami pun naik ke tubuhnya yang merentang dengan sayapnya yang lebar. Kami memegang erat tubuhnya supaya tak lepas pada saat terbang nanti.
Lucky mulai menghempaskan sayap dan tubuhnya. Perlahan ia mulai terbang ke langit dan menuju ke tempat tujuan. Tak lama kemudian, kami perlahan melihat bangunan seperti sebuah piramida. Di atasnya terdapat sesuatu yang berkilauan. Memancarkan warna kuning cerah yang indah.
"Aku melihatnya! Permata Nirograph (Dimensi Merkurius)!" teriakku.
"Kita hampir sampai. Hanya beberapa meter..." belum lagi Jovan mengucapkan lengkap kalimatnya.
Tiba - tiba sebuah tombak besi panjang menusuk sayap kiri Lucky. Lucky pun terjatuh dan menghantam tanah begitu keras. Kami pun terjatuh dari tubuhnya dan tergeletak tepat di depan bangunan piramida itu. Sierra bangkit mencoba melihat keadaan Lucky yang sudah berubah menjadi manusia. Tangan kiri Lucky ditusuk oleh tombak dan ia harus mengalami pendarahan. Seketika Sierra menggunakan sihir untuk menyembuhkan luka di tangan Lucky.
"Apa kalian baik - baik saja?" tanyaku.
"Apa yang baik - baik saja! Sakit sekali!" ucap Lucky sambil menangis.
"Maafkan aku. Tapi Sierra akan segera menyembuhkanmu. Lalu apa ada lagi yang terluka?" ucapku.
"Sepertinya kita kekurangan orang. Kemana Leonna?" ucap Jovan.
"Leonna!" teriakku sementara Lucky masih menangis, menahan rasa sakit dari tombak yang menusuknya entah dari mana.
Tiba - tiba dari depan, muncul bayangan seseorang yang sangat tinggi dan tampak familiar (tidak asing).
"Lihatlah kalian. Aku-lah yang membawa kalian ke dunia dimensi. Tapi hanya ditinggal sebentar, kalian sudah memihak para peri. Pengkhianat seperti kalian harus diberi pelajaran," ucapnya sambil mengarahkan telapak tangannya ke arah kami.
Seketika, tangannya menghempaskan kami ke belakang sebelum Sierra sempat mengeluarkan perisai untuk melindungi kami.
"Siapa kau!" teriakku.
Makhluk itu tampak tak asing. Dengan porsi tubuh tinggi dan kurus serta warna tubuhnya yang suram, hanya hitam dan abu - abu. Matanya kemerahan dan ia menggunakan jubah di punggungnya.
"Muris. Apakah peri itu tak menjelaskan tentang diriku? Menyedihkan sekali," ucapnya dengan nada mengejek.
"Apa yang kau inginkan?" tanyaku padanya.
"Cukup diam di tempat dan biarkan aku mengambil permata di atas bangunan itu. Lebih baik kalian turuti perintahku sebelum menerima akibatnya," ucapnya sambil berjalan ke arah bangunan piramida itu.
"Kami tidak akan memberikannya kepada makhluk jahat sepertimu," ucapku sambil perlahan bangkit perlahan dari tanah.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia menggunakan kekuatannya lagi sehingga kami terhempas masuk ke dalam hutan. Lalu ia kembali melanjutkan langkahnya menuju ke atas piramida itu.
"Kita harus mengambil permata itu sebelum ia mengambilnya," ucapku kesakitan.
"Sshhh, Aslan!" bisik seseorang ke telingaku.
"Siapa itu?" ucapku kaget.
"Ini Leonna. Aku sudah mengambil permatanya dalam keadaan menghilang. Kita harus pergi ke Balagraph (Pusat Portal) dan berpindah ke dimensi lain sebelum ia mengetahuinya," ucap Leonna.
Aku pun memberi kode untuk berkumpul. Tampaknya luka Lucky sudah sembuh karena sihir Sierra.
"Dimana peta Nirograph (Dimensi Merkurius)?" tanyaku.
"Ada di tasku. Aku akan ambil," ucap Jovan sambil mengambil gulungan kertas yang merupakan peta.
"Sepertinya lokasi piramida tidak ditunjukkan di peta ini. Tetapi aku meyakini jika letak Balagraph (Pusat Portal) ada di belakang piramida ini. Karena lokasi Balagraph (Pusat Portal) sangat dekat dengan lokasi kita sekarang," jelas Jovan sambil menggunakan perhitungan skala.
"Kalau begitu kita cepat lari ke arah belakang piramida ini sebelum Muris tahu bahwa permata itu sudah diambil," jelas Leonna.
Kami pun mengendap - endap menuju ke arah belakang piramida itu. Tak lama kemudian, bangunan Balagraph (Pusat Portal) itu terlihat jelas di mata kami. Seperti perhitungan yang sudah diperkirakan Jovan, Balagraph (Pusat Portal) tepat berada di belakang piramida.
"Kali ini kita akan masuk ke portal berwarna apa?" tanya Lucky yang sudah kembali sembuh.
"Kita sebaiknya pergi ke dimensi yang lebih jauh. Kita masuk ke portal abu - abu!" ucapku.
"Itu mengarah kemana?" tanya Lucky balik.
"Kita akan pergi ke Dwarfograph (Dimensi Pluto)," ucapku.
"Ya sudah. Ayo masuk ke portal abu - abu," ucap Lucky.
Baru lagi berjalan beberapa langkah, tiba - tiba terdengar teriakan Muris dari atas piramida.
"Kemana permata itu! Dasar bocah!" ucapnya dari atas.
Kami pun buru - buru masuk ke portal abu - abu sebelum Muris melihat keberadaan kami. Permatanya masih terkumpul 1 dari 10 permata yang harus dikumpulkan. Sedangkan satu permata, permata Sonargraph (Dimensi Matahari) sudah diambil oleh Muris. Kami tidak akan diam, kami akan pastikan 10 permata itu berada di tangan kami. Termasuk permata yang sedang dipegang oleh Muris sebelum semuanya terlambat.
~ End Chapter 7 ~
Setelah melewati makhluk menyeramkan yang bernama Muris, kami masuk ke portal hitam yang membawa kami menuju Dwarfograph (Dimensi Pluto). Tak jauh dari warna portalnya, tanah bahkan sekeliling dimensi ini berwarna hitam pekat. Biasanya warna dimensi dapat dilihat melalui warna portalnya.
Sekeliling kami gelap dan kami hanya dibekali oleh 4 pasang obor yang menyala di depan kami. Sambil melihat keadaan sekitar, kami sambil melanjutkan perjalanan mencari orang di dimensi ini. Walau mereka tak dapat sepenuhnya dipercaya, setidaknya kami mendapat pertolongan.
"Teman - teman, kita harus hati - hati!" ucap Leonna yang berada di belakang.
"Ada apa?" tanyaku.
"Tepat di sebelah kita ada jurang. Sepertinya dalam," jelas Leonna.
Benar! Rupanya ada jurang tepat di sebelah kanan kami dan sebelah kiri kami adalah tebing, sehingga jalur yang kami lalui itu sempit dan kecil. Jika lengah sedikit saja, kami bisa jatuh ke dalam jurang. Untung saja tidak mereka tidak mengidap akrofobia (phobia ketinggian). Tetap saja mereka tidak dapat dipercaya, entah mengapa aku merasa hal buruk akan terjadi sebentar lagi.
"Lucky, maju dong!" ucap Leonna.
"Iya, aku tahu! Tapi tasku terlalu berat," ucap Lucky kelelahan.
"Kemarikan beberapa barangmu. Titip saja di tasku," ucapku.
"Kalau begitu, dengan senang hati," ucap Lucky sambil membongkar isi tasnya.
Perlahan - lahan ia mengoper barang - barangnya kepadaku.
"Ini. Lalu yang ini. Hmm? Ini alat apa?" ucap Lucky kebingungan.
"Sepertinya senter, coba dihidupkan," ucap Leonna.
"Tidak terjadi apa apa. Yaudah, simpan dulu deh," ucapnya sambil mengarahkan alat itu kepadaku.
Aku memegang ujung alat itu dan alhasil aku tersetrum listrik. Rupanya alat itu adalah sebuah taser gun dan Lucky lupa mematikan tombol hidup alat itu. Saat itu, Lucky yang masih belum sadar apa - apa, baru menarik taser gun itu 5 detik setelah aku tersengat aliran listriknya. Aku kehilangan setengah kesadaranku, badanku menjadi kaku, dan aku terjatuh dari tebing. Aku melihat mereka sedang meneriakkan namaku dan panik.
Dengan setengah kesadaranku, aku berusaha mengeluarkan sebuah pedang atau pisau yang kuat agar bisa kutancapkan pada dinding jurang yang curam ini. Tetapi, pedang itu tidak kunjung keluar, begitu pula pisaunya. Apa mungkin aku terlalu panik sehingga pedang maupun pisau itu tak keluar? Sudahlah, aku hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Brak! Suara aku terjatuh dan aku pun kehilangan kesadaranku.
Yang kulihat selama aku kehilangan kesadaran adalah kegelapan yang tak berarti, tak ada apapun disini. Lalu muncul seberkas cahaya putih yang semakin lama semakin membesar, cahayanya terang dan membuat mataku silau. Di saat cahaya itu membesar, aku tersadar dan bangun dari pingsanku. Yang pertama kali kulihat adalah atap - atap kamar yang terbuat dari kayu. Di sekelilingnya dipenuhi oleh cahaya - cahaya dari lilin sebagai penerangannya.
Aku tidak bisa bangkit dari ranjang itu karena tubuhku terasa sakit dan kaku. Aku melihat sekeliling dan mencoba memanggil seseorang. Tidak ada jawaban, namun aku mendengar langkah kaki seseorang. Aku mulai panik dan waswas dengan langkah kaki itu. Lalu, pintu mulai terbuka perlahan. Setelah itu, tampak seorang kakek tua membawa nampan yang di atasnya terdapat cangkir dan toples yang isinya sesuatu yang cair nampun mengeluarkan cahaya.
"Sudah sadar? Aku bawakan ekstrak jamur Ocelot (Jamur yang bercorak macan). Silahkan diminum terlebih dahulu," ucapnya sambil meletakkan nampan itu di kasurku.
"Anda siapa?" tanyaku.
"Oh, maaf. Pertama, perkenalkan nama saya adalah Xaro. Saya menemukanmu tak sadarkan diri di dekat kumpulan jamur Umber (Jamur yang ukurannya besar seperti payung). Luka anda tidak terlalu parah karena anda jatuh tepat di atas jamur itu lalu terguling ke tanah," jelas Xaro.
Kakek tua ini tidak terlihat mencurigakan ketika ia berbicara. Untuk sementara ini, aku akan mempercayai orang ini sampai tubuhku pulih kembali.
"Silahkan minum ekstrak jamur Ocelot ini agar luka - luka anda lekas sembuh," ucap Xaro sambil memberikan secangkir minuman.
Aku meminum minuman itu. Rasanya manis dan agak sedikit pahit. Tak lama kemudian, luka gores dan memar di tubuhku mengecil lalu menghilang secara tiba - tiba. Tubuhku juga tidak kaku lagi. Aku tercengang dan takjub melihat keajaiban ini.
"Apakah ini efek dari ekstrak jamurnya?" tanyaku.
"Jamur ini terkenal karena khasiatnya yang luar biasa. Jamur - jamur ini hanya tumbuh di sebelah selatan Dwarfograph (Dimensi Pluto) dan jumlahnya terbatas," jelas Xaro.
"Terima kasih sudah menyelamatkanku," ucapku.
"Tidak apa - apa. Untuk saat ini, anda harus istirahat sebentar, agar tubuh anda pulih maksimal," jelas Xaro.
Xaro membawa nampannya dan menuju keluar ruangan. Ia menutup pintunya dan membiarkanku istirahat. Aku mulai memejamkan mataku hingga akhirnya aku tertidur pulas.
2 jam kemudian, aku terbangun dan tubuhku susah pulih sepenuhnya sehingga aku bebas bergerak. Aku beranjak dari ranjangku, menuju ke luar pintu. Aku mencoba mencari Xaro di ruangan - ruangan yang ada. Rumahnya tak begitu besar dan aku hanya dapat melihat 3 kamar. Aku mencoba masuk ke kamar paling ujung dan menemukan Xaro sedang mmebuat sesuatu, sepertinya jamur - jamuran.
"Sudah pulih?" tanyanya.
"Sudah. Terima kasih!" ucapku.
"Ngomong - ngomong kamu datang dari mana?" tanyanya.
"Aku dari Bumi," jelasku.
"Bumi? Tempat itu jauh sekali. Bagaimana kamu bisa tersesat di dimensi ini?" ucapnya kaget.
"Aku datang bersama 4 temanku lainnya, tapi aku terjatuh dari tebing dan berakhir di sini," jelasku.
"Untuk apa datang ke tempat yang hancur seperti ini? Apakah kamu ingin mencari jamur - jamuran?" tanyanya balik.
"Tidak, kami ada urusan tertentu di sini," ucapku.
"Oh, begitu rupanya. Setelah urusan tersebut selesai, saya sarankan supaya kamu cepat - cepat kembali ke planet asalmu, karena tempat ini lebih berbahaya daripada yang kamu lihat," jelasnya.
"Ada apa? Mengapa tempat ini berbahaya?" tanyaku.
"Jadi, tempat ini sebenarnya tidak hitam pekat seperti ini. Warna tanahnya memang hitam, akan tetapi tidak seperti suasana dan lingkungan sekitarnya. Pada suatu saat, terjadi perbedaan pendapat antara peri yang satu dan peri yang lain, sehingga terdapat 3 kubu peri di dimensi ini, yaitu kubu A, kubu B, dan kubu netral. Ketika kubu A dan kubu B melancarkan serangannya, kubu netral yang tidak tahu apa - apa terlibat menjadi korban. Mereka yang berhasil memusnahkan musuhnya akan bertahan dan peperangan iru dimenangkan oleh kubu A yang menganut ajaran sesat. Sementara kubu B tidak bersisa dan kubu netral hanya tersisa 1 orang di dimensi ini, yaitu aku seorang," jelas Xaro.
"Jadi, anda sendirian di sini? Benar - benar tak ada bantuan dari orang lain?" tanyaku.
"Iya, aku benar - benar sendirian di luar pusat kota Dwarfograph (Dimensi Pluto). Aku memanfaatkan jamur - jamuran menjadi berbagai macam kegunaan, misalnya dijadikan makanan atau diambil ekstraknya," jelas Xaro.
"Mengapa harus jamur? Apakah tidak ada tanaman lainnya?" tanyaku lagi.
"Tidak, semenjak perang tersebut berlangsung. Tanaman - tanaman yang lainnya mengalami kepunahan massal dan tak bersisa. Sedangkan jamur - jamuran berbagai jenis tumbuh subur dan liar di Dwarfograph (Dimensi Pluto)," jelasnya.
"Ngomong - ngomong, anda sedang membuat apa?" tanyaku sambil melirik pot berisi cairan kuning bercahaya di atas api yang menyala.
"Ini adalah olahan makanan dari jamur Yelo, jamur kuning yang rasanya kenyal ketika dimasak. Aku membuat sup dari jamur ini supaya lebih mudah dicerna," jelasnya.
"Aku mengerti sekarang. Terima kasih telah membantuku sampai saat ini," ucapku.
"Tidak apa - apa," ucapnya lembut.
"Tapi, bolehkah saya meminta pertolongan anda sekali lagi? Saya ingin mencari keempat teman - teman saya yang terpisah. Tapi saya tidak mengetahui rute maupun wilayah - wilayah di Dwarfograph (Dimensi Pluto)," ucapku sambil memohon.
"Kalau begitu, persiapkan dirimu. Kita akan berangkat dan bertualang esok hari," ucapnya.
~ End Chapter 8 ~
— 次の章はもうすぐ掲載する — レビューを書く
あなたも好きかも