"Sepatu apa yang kamu cari?" tanya Lin.
"Sepatu sepak bola. Minggu ini akan ada pertandingan, jadi aku ingin membeli sepatu baru," jawab Wat, yang sedang memilih sepatu, sembari memegang stroller Pin.
"Melawan jurusan apa?" tanya Lin.
"Jurusan kamu. Kamu datang?"
"Hm? Sepertinya … tidak. Karena pertandingannya usai perkuliahan dan aku harus segera pulang menjemput twins," papar Lin.
"Aku akan bicara dengan ibumu. Datanglah … dan aku akan senang. Asal jangan jadi pemandu sorak dan meneriaki namaku," tutur Wat.
"K—kena—pa?"
"Karena aku tidak ingin orang-orang mengira kalau kamu menyukaiku. Kamu itu istriku, tidak perlu berlaku seperti mereka."
"Tapi aku hanya ingin mendukung kamu saja, Wat."
"Jadi istri di rumah saja, sudah cukup bagiku," ucap Wat sembari mengusap pipi Lin.
Lin diam, belum menunjukkan reaksi apapun.
Namun saat Wat beralih dan berlalu bersama Pin, ia segera menunduk, memegangi dadanya yang berdebar hebat dan juga pipi yang memerah melebihi warna blush on nya.
'Wat … kamu cukup jadi suamiku dan papa untuk anak-anak di rumah. Di kampus, kamu tetap idola para wanita,' batin Lin, selalu bersyukur atas apapun itu.
"Lin!" seru Wat, memanggil sang istri.
Lin tersenyum dan mendorong stroller Nas, menghampiri Wat.
"Ada apa?"
"Ini bagus, tidak?" tanya Wat, menunjukkan sepatu sepak bola berwarna putih dengan garis berwarna biru laut.
"Putih … apa tidak cepat kotor?"
"Aku tidak akan memintamu mencucinya juga, Lin … kalau kotor, aku cuci sendiri kok," kekeh Wat.
"B—bukan begitu … aku tidak masalah kok, kalau kamu memintaku untuk mencucikannya. Aku ini istri kamu, Wat …."
"Jadi … apa boleh yang ini?" tanya Wat sekali lagi.
"Aku lebih suka yang di sana," ujar Lin, menunjuk sebuah sepatu sepak bola berwarna hitam dengan garis putih.
"Aku beli juga yang di sana ya," sahutnya.
Mata Lin membesar, berpikir kalau Wat terlalu boros.
"Wat! Tidak perlu," ucapnya menahan Wat yang hendak mengambil sepatu yang disukai oleh Lin.
"Kenapa?"
"Jangan terlalu boros. Kita sudah memiliki anak dan juga … kamu belum bekerja sepenuhnya di perusahaan ayah, bukan?"
"Tapi aku anak tunggal, untuk siapa lagi uang ayah, kalau bukan untukku," ujar Wat.
"Beli yang warna putih saja ya … lagipula … sepatu itu, kamu yang memakainya, bukan aku."
"Lin—"
"Aku tunggu di depan toko ya," ujar Lin tersenyum, berlalu bersama Nas.
***
Makan malam Lin dan Wat sedikit lebih larut, karena usai membeli sepatu, Wat masih ingin membeli yang lainnya lagi, yaitu mainan untuk kedua anaknya. Dan karena itu, mereka pulang benar-benar larut dan membuat Lin segera tidur saat tiba di rumah. Bahkan Wat yang menggantikan pakaian si kembar.
"Lin … sudah hapus make up?"
"…"
"Lin …," panggil Wat membangunkan sang istri, yang benar-benar hanya menidurkan Pin dan Nas, kemudian ia bergegas ke kamarnya dan segera tidur, masih dengan pakaian perginya.
"Lin … setidaknya cuci muka dan ganti pakaianmu," pinta Wat.
Dengan lunglai dan mata yang masih terpejam, Lin beranjak duduk. Ia diam, menunduk.
Tangan Wat meraih pergelangan tangan kanan Lin. Itu membuat wanita beranak dua itu mendadak membuka matanya lebar, melihat tangan Wat yang kini menggenggam pergelangannya. Lin menengadahkan kepalanya, menoleh pada Wat.
"Maaf ya … karena aku, kita jadi pulang larut," ujar Wat.
Lin hanya tersenyum, memasang wajah mengantuknya.
"Ke kamar mandi, segera. Cuci muka dan ganti pakaianmu," perintah sang suami dan Lin mengangguk, segera menurutinya.
***
Langit seakan tak biru lagi, awan mengabu namun belum berarti menandakan akan turun hujan. Angin membawanya berlalu dan membuat langit kembali cerah.
Siang ini, Lin bersama Ran, berada di lapangan untuk melihat tim Wat latihan. Tidak sedikit mahasiswa yang berada di sana untuk memberikan semangat untuk Wat, begitupun Lin, yang datang untuk melihat Wat, sang suami.
"Lin, Wat itu tampan sekali ya … apa benar, dia sudah punya pasangan?"
Lin tersenyum, menggelengkan kepalanya.
"Lin, kalau Wat jatuh cinta padamu, apa kamu akan menerimanya?" tanya Ran, lagi.
"Pertanyaan macam apa itu, Ran …," balas Lin, tidak ingin membahas perihal itu.
"Semua bertanya-tanya, apakah benar Wat itu memiliki pasangan. Karena ia memprivatkan media sosialnya," papar Ran.
"Oh ya? A—aku tidak tahu," ujar Lin, berpura-pura.
"Tidak tahu bagaimana? Aku melihat, kamu dan Wat sudah saling follow."
Deg!
'Aku lupa … aku dan Wat sudah lama berteman di media sosial … sejak sekolah dan sampai sekarang … ya jelas masih berteman, karena sejak menikah dengan Wat, aku hampir tidak mempedulikan media sosialku,' batinnya merasa tertangkap basah.
"Lin! Kamu sejak kapan berteman dengan Wat di media sosial? Aku mau lihat, dong … ada apa saja, sih isinya," pinta Ran.
"Ran … aku juga tidak tahu. Media sosial itu mencakup sangat luas. Mungkin hanya kebetulan saja aku dan Wat berteman. Lagipula … sudah satu tahun ini aku tidak pernah memainkan media sosialku. Hanya sesekali saja, untuk membalas pesan," tutur Lin.
"Oh … benar juga, bisa jadi kebetulan."
Lin menghela napasnya, merasa lega, Ran akhirnya percaya juga dengannya.
Baru saja, belum dalam hitungan menit Lin terbebas dari rentetan pertanyaan yang diajukan oleh Ran, kini ia dihampiri oleh seorang wanita, yang sudah tidak asing lagi, namun ia sama sekali tidak mengenalnya.
"Lin, ya?"
Lin menoleh, menatap wanita itu sendu. Ia mengangguk dengan tatapan yang tidak lepas dari mata lawan bicaranya.
"Apa kamu teman sekolah Wat?"
Lin diam, memasang raut datarnya.
"Oh, aku June. Teman satu kelas Wat, yang paling dekat dengannya."
Diam.
Lin hanya diam dan kini ia memalingkan pandangannya, jelas kecewa dan tidak ingin melihat wanita yang memiliki nama lengkap June Lovarique.
"Hai … kamu yang tempo hari di kantin, bukan?" sapa Ran dengan hangat.
June hanya melirik, tanpa memberikan senyum ataupun balasan sapa kepada Ran.
"Lin … aku melihat kamu dan Wat sudah saling follow di media sosial. Ini bukan lagi rahasia, tapi satu kampus sedang membicarakannya. Kamu teman satu sekolah Wat?" tanya June, lagi.
"Eu … a—aku—"
"June!"
Deg!
Suara itu … jelas membuat Lin semakin bingung.
'Untuk apa Wat memanggil wanita ini … dan juga menghampiri kami?'
"June, kamu sudah diperintahkan untuk menyiapkan air minum, untuk teman-teman yang berlatih, bukan? Jangan mengganggu orang, sembarangan seperti itu," ujar Wat.
"Aku hanya ingin tahu ka—"
"Teman-teman haus … dan mereka semua menunggumu," sahut Wat, seolah tidak mengizinkan June untuk banyak bicara.
June memilih berlalu bersama Wat, menuju ke sekumpulan mahasiswa yang baru saja selesai latihan sepak bola.
'Untung saja ….'
"Lin … aku melihat kamu dan Wat sudah saling follow di media sosial. Ini bukan lagi rahasia, tapi satu kampus sedang membicarakannya. Kamu teman satu sekolah Wat?" tanya June, lagi.
"Eu … a—aku—"
"June!"
Deg!
Suara itu … jelas membuat Lin semakin bingung.
'Untuk apa Wat memanggil wanita ini … dan juga menghampiri kami?'
"June, kamu sudah diperintahkan untuk menyiapkan air minum, untuk teman-teman yang berlatih, bukan? Jangan mengganggu orang, sembarangan seperti itu," ujar Wat.
"Aku hanya ingin tahu ka—"
"Teman-temah haus … dan mereka semua menunggumu," sahut Wat, seolah tidak mengizinkan June untuk banyak bicara.
June memilih berlalu bersama Wat, menuju ke sekumpulan mahasiswa yang baru saja selesai latihan sepak bola.
'Untung saja ….'
***
Lin melangkah menghampiri Wat yang sedang menonton televisi bersama Pin. Lin datang bersama Nas yang sedang memeluk boneka, pemberian Wat saat jalan-jalan akhir pekan lalu.
"Ummm, Wat … a—ada yang ingin kutanyakan, boleh?"
"Bertanya saja," balas Wat, tanpa menoleh ke arah Lin.
"J—june itu … sia—pa?" tanya Lin, ragu.
"Teman kelas," jawab Wat singkat.
"Paling dekat?"
Wat menoleh pada Lin, matanya menatap tajam pada kedua bola mata milik sang istri.
"Ada apa?" Wat balik bertanya.
"T—tadi—"
"Apa yang June katakan padamu?" tanya Wat memotong omongan Lin.
"Ouh … i—itu hanya mengatakan … kalau dia … teman yang paling de—kat dengan—mu, di kelas," jawab Lin, mengatakan yang sejujurnya.
"Tidak," balas Wat singkat, kemudian pandangannya kembali pada siaran televisi yang sedang di tontonnya bersama Pin.
"T—tidak?"
"Aku tidak memiliki teman dekat, apalagi teman yang paling dekat. Dari dulu, hanya kamu seorang, kamu satu-satunya, menjadi yang terdekat dalam hidupku," tutur Wat.
Ucapan tak sengaja yang kerap dituturkan oleh Wat, selalu saja membuat Lin melayang dan lagi-lagi terbuai dalam asmaranya.
'Wat … jangan seperti ini lagi, please … lama-lama aku semakin cinta, padamu,' batin Lin, membenci pikirannya yang terus saja berharap kalau dibalik sikap dingin pria yang telah menikahnya dua tahun ini, begitu hangat dan sangat mencintainya.
"Lin?"
"…"
"Lin? Kamu mau makan malam apa?" tanya Wat mengulang memanggilnya.
"O—uh … a—apa saja. Maaf ya … aku tidak sempat masak sore ini. Karena ada tugas kuliah yang sedikit lebih banyak dari hari sebelumnya."
"Tidak masalah. Maka dari itu … aku bertanya, kamu mau makan malam apa, Lin?" tanya Wat, lagi.
"Apapun yang kamu pesan," jawab Lin.
"Malam ini … aku ingin makan mie instan dengan telur setengah masak," ujar Wat.
"Kalau begitu, aku akan buatkan. Titip Nas ya."
"Hey, tunggu!" tahan Wat menarik pergelangan tangan istrinya.
"A—da apa?"
"Lalu kamu makan apa, Lin?" tanya Wat lagi.
"Sama. Aku akan makan, apapun yang kamu makan. Dan aku akan membuat mie rebus instan," jawab Lin.
"Hmmm … oke. Jangan lupa beri irisan cabai ya, saat merebusnya," pesan Wat.
"Siap bos! Titip Nas ya," ujar Lin, memberikan Nas kepada Wat.
"Siap bu bos!" balas Wat, menerima Nas yang sedang memainkan liurnya di boneka yang sejak tadi ia pegang.
Lin berlalu menuju ke dapur dan memasakkan mie rebus instan untuknya dan juga untuk sang suami.
Sementara itu, Wat menjaga kedua anaknya sembari memainkan ponsel dan mengabaikan televisi yang semula sedang ditonton olehnya.
Wat mendapatkan media sosial milik pria, yang selama ini di incar dan selalu membuatnya penasaran itu.
Bukan hanya sekedar foto profilnya saja yang dipandangi olehnya, ia juga melihat seseorang berteman dengannya di media sosial.
Matanya membesar, kemudian menoleh ke arah dapur, dimana sang istri sedang masak.
Nama Lin tertera jelas di media sosial milik pria itu.
'Lin berteman dengannya? Sejak kapan?' batinnya bertanya-tanya.
Bugh!
Suara tangisan anak pecah saat itu juga, terdengar jelas kalau kepalanya terpaduk oleh benda keras.
"Pin!" seru Wat.
Ia segera mengangkat tubuh anaknya yang jatuh dari sofa, dengan kepala yang mengenai lantai.
"Wat? Ada apa?!" tanya Lin menghampiri mereka, karena mendengar suara tangisan Pin.
"Jatuh," jawabnya dengan memasang raut cemas, sembari menenangkan sang anak dengan menggendongnya dan terus mengusap kepala botak Pin.
"Ini … Nas juga kamu biarkan seperti ini? Lama-lama juga bisa jatuh, Wat!" gerutu Lin, mengangakat Nas dan memeluk anak perempuannya.
Mata Lin tertuju pada ponsel Wat, dimana suaminya sedang membuka media sosial dan melihat akun media sosial milik seorang pria, yang tidak bisa ia lihat dengan jelas, siapa gerangan.
"Lin maaf … aku juga tidak sadar kalau Pin bergerak kesana kemari," tutur Wat, membela dirinya.
Lin hanya menggelengkan kepalanya, berlalu menuju ke kamar anak dan membaringkan Nas di box baby. Ia kembali keluar dan mengambil Pin dari pelukan Wat.
"Lin—"
"Masak mie kamu, aku akan menina bobokan mereka," ujar Lin ketus.
"Aku tidak tahu selera kamu, Lin," balas Wat.
"Masak saja mie kamu. Aku tidak makan malam ini."
Lin berlalu, pastinya dengan perasaan yang sangat kesal.
Sementara itu, Wat memilih mendiamkan sang istri dan menuju ke dapur, untuk melanjutkan masak mie instan miliknya, yang sebelumnya sedang dimasakkan oleh Lin.
"Wanita kalau sudah marah, langsung diam seperti itu. Beruntung aku tidak mencintai wanita," gumam Wat menggerutu, ikut kesal kepada Lin, meski sangat jelas, kejadian jatuhnya Pin adalah kesalahannya, karena lalai.
***
Esok hari, suasana pagi sangat sepi dengan diamnya Lin, yang sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia juga tidak berceloteh dengan kedua anaknya, seperti hari-hari biasa.
Wat juga diam, merasa kalau sang istri masih marah kepadanya. Ia tidak ingin dan juga malas jika harus berdebat lagi dengan Lin.
"Aku sudah selesai," ujar Lin, memakan rotinya dengan cepat.
Wat meliriknya. roti tawar dengan selai nanas itu, sudah habis tak bersisa.
"Lapar ya? Makanya … kalau marah ingat waktu, ingat tempat, i—"
"Kalau kamu tidak mau diminta untuk menjaga twins, bilang saja. Tidak perlu memutar balikkan keadaan seperti ini," ujar Lin, langsung bernada tinggi.
"Kamu kenapa, Lin?! Apa aku ada salah lagi, selain kejadian tadi malam?" tanya Wat, ikut berbicara dengan nada tinggi.
"Kemarin Pin jatuh karena kamu lalai. Asyik stalking media sosial orang dan lupa … kalau kamu sedang menjaga dua anak kembar!"
"Kamu membentakku?" tanya Wat membesarkan matanya.
Mata Lin membesar. Terlihat jelas di rautnya, ia sedang berusaha menahan amarah serta emosinya yang semakin membara.
Lin beranjak dari tempat duduknya, kemudian mengangkat tubuh Nas dan menaruhnya di gendongan, yang sudah menggantung di tubuhnya.
"Mau keman?" tanya Wat.
"Rumah ibu," jawab Lin, ketus.
"Aku antar."
"Aku naik taksi saja."
"Lin …."
"Ti—"
"Kamu bisa menurut, tidak?!"