Angkasa memperhatikan Lily yang sedang fokus menatap pemandangan yang ada dilangit. Lily yang bermandikan sinar rembulan terlihat sangat cantik di matanya. Matanya bagai bintang yang memancarkan sinar gemerlap yang unik, hidung tirusnya yang menjadi kegemaran Angkasa untuk Angkasa cubit, tak lupa sasaran kedua adalah pipinya yang sedikit berisi.
Juga bibirnya, yang dari awal pertemuan mereka membuat Angkasa sangat tertarik pada Lily. Bahkan saat itu, disebuah apotek dua puluh empat jam, di malam yang sunyi itu, Angkasa tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Lily. Yang pada akhirnya dihadiahi pukulan oleh Lily.
"Sa, di angkasa itu banyak benda-benda kan. Kayak bulan, bintang, matahari, komet, eeehmm, apalagi ya? Banyak deh." Angkasa mengangguk, sedikit memutar otaknya untuk memahami perkataan Lily.
"Terus kamu tahu gak? Di angkasa itu ada kehidupan gak ya?" Angkasa kembali berfikir.
"Maksud kamu alien?"
"Ih bukan itu, kehidupan yang aku maksud itu kayak tumbuhan. Bunga Lily misalnya?"
"Mungkin." Jawab Angkasa ragu, jujur saja, Angkasa belum pernah pergi kesana.
"Kalau Angkasa punya banyak fikiran yang berat coba deh berbagi sama aku, siapa tahu jadi ringan." Angkasa tersenyum lembut sembari menganggukkan kepalanya.
"Kalau di hati Angkasa ada Lily yang ini gak?" Tanya Lily menunjuk dirinya sendiri.
"Mungkin?" Jawaban Angkasa yang berhasil membuat Lily kesal.
Lily menyeruput coklat panasnya yang sudah tidak sepanas tadi dengan cepat. Banyak yang berkata bahwa sesuatu yang manis bisa mengurangi rasa marah atau kesedihan.
"Aku mau tanya Ly."
"Tanya aja." Jawab Lily ketus, Angkasa mengambil paksa gelas Lily dan menaruhnya bersama dengan gelas kopinya di kursi yang ada disana.
"Kamu pernah ada fikiran gak? Kalau kita itu deket tapi gak jadian?"
"Sering." Banget malah, hingga Lily fikir hubungan mereka itu istimewa walau tanpa status. Banyak juga yang mengira mereka sudah berpacaran.
"Menurut kamu gimana?"
"Gimana lagi. Ya gitu." Angkasa mencubit pipi Lily hingga memerah, membuat Lily menatap tajam Angkasa.
"Aku ada niatan bolak-balik buat ajak kamu pacaran loh Ly. Tapi banyak juga alasan yang buat aku mundur." Lily meremas kuat besi balkon, detak jantungnya berdetak lebih kencang dari sebelumnya.
"Apa karena papa kamu minta kamu menjauh dari aku?" Angkasa membulatkan matanya.
"Perjalanan kesini kamu ketemu papaku?" Angkasa bertanya balik.
"Papamu habis kesini?" Angkasa terdiam. Jadi inilah sebabnya Angkasa terlihat uring-uringan, karena ayahnya baru saja menemuinya. Sebenarnya separah apa hubungan ayah dan anak ini. Lily harap papa Angkasa tidak melakukan hal anarkis seperti yang dilakukan papanya padanya dan Aster.
"Papa kamu undang aku ke acara keluarga besok malam, aku diminta buat nyeret kamu kesana."
"Terus kamu mau dateng Ly?"
"Gimana ya? Enaknya?" Ujar Lily berpura-pura berfikir, namun Lily tidak bisa membiarkan Angkasa terus membuat orang tuanya khawatir karena hidup terpisah.
"Jangan." Raut wajah Angkasa terlihat serius, sungguh Angkasa sangat tampan seperti itu terlebih dengan garis-garis wajahnya yang tegas. Lily hampir melupakan tujuan awalnya.
"Kalau gitu aku dateng." Lagi-lagi Angkasa mencubit pipi Lily. Angkasa kembali terdiam disaat Lily sibuk mengelus-elus pipinya yang kesakitan karena cubitan Angkasa.
"Aku mau jujur sama kamu, tentang semua hal." Lily mengangguk kaku.
"Kamu inget cewek yang aku ceritain beberapa hari lalu pas kita debat?"
"Cewek yang ada didompet kamu itu?" Angkasa mengangguk, meminta Lily menunggunya sejenak untuk mengambil dompet yang ada di dalam kamarnya dan mengeluarkan foto itu dari sana.
Angkasa menyerahkan foto itu pada Lily.
"Aku merasa bersalah sama dia."
"Emangnya ada apa?"
"Aku udah bilangkan kalau dia udah meninggal?" Lily mengangguk.
"Namanya Keila, temen aku dari kelas lima sd. Saat itu kita baru masuk SMP, aku tahu sejak awal papaku gak suka sama dia entah karena keluarganya yang miskin atau karena waktu belajarku berkurang karena bermain sama dia. Yang jelas aku tahu papaku sangat tidak menyukainya."
"Aku fikir, papaku hanya sekedar tidak menyukainya. Namun suatu hari aku menemukan dia sudah dalam keadaan tidak bernyawa ketika aku berniat mengajaknya belajar bersama. Aku masih kecil saat itu, tapi aku tidak bodoh untuk memahami situasi karena papaku ada disana."
"Maksud kamu papa kamu yang lakuin itu semua?" Lily membulatkan matanya sempurna.
"Kalau memang bukan, aku gak akan pernah semenyesal ini Ly. Seandainya aku menuruti ayahku saat itu untuk berhenti bermain bersama Keila. Mungkin dia masih disini sekarang. Ini semua salahku, itu sebabnya aku masih menyimpan fotonya."
"Bukan kamu yang menyebabkan Keila meninggal, kenapa kamu merasa bersalah? Kamu gak salah." Angkasa menunduk dalam.
"Oke, emang kamu yakin papa kamu yang lakuin itu semua?
"Aku rasa begitu, papa ada disana terlebih saat kutanya, papaku tidak mengelak."
"Terus kenapa?"
"Aku takut kamu akan mengalami hal yang sama seperti Keila. Itulah mengapa aku menjauh darimu dan pindah secara mendadak." Angkasa mulai tidak fokus, mengusap wajahnya berusaha membuat dirinya sendiri sadar.
"Sa, lihat aku." Lily menangkup pipi Angkasa, memaksa Angkasa menatap matanya agar tidak kehilangan fokus.
"Aku berbeda, aku pastikan aku gak akan berakhir seperti Keila." Angkasa mengangguk, percaya pada ucapan Lily.
"Ingat perkataan aku ini Sa. Hanya orang tua bodoh yang melukai anaknya sendiri. Sama seperti ayahku, tapi aku yakin bahwa setiap orang tua pasti memiliki setitik kasih sayang kepada anaknya. Jangan selalu ambil kesimpulan sepihak, karena kamu gak tahu apa yang ayahmu fikirkan tentang kamu bukan."
"Iya Ly, aku tahu banget papaku keras sama aku juga karena perhatian ke aku. Tapi sekeras apapun ayahku minta aku menjauh dari kamu, aku gak akan mau."
"Kalau gitu tetap disampingku. Oke?" Angkasa mengangguk patuh.
"Ini semua terjadi karena aku Ly."
"Gak ada yang nyalahin kamu Sa. Kalaupun aku terluka sekalipun, aku sendiri yang salah karena tidak bisa melindungi diriku sendiri. Aku yakin Keila juga begitu, Keila pasti ingin kamu menemukan kebenarannya dan kebahagiaanmu tanpa harus merasa bersalah."
Lily membawa Angkasa kedalam pelukannya. Sesekali mengelus punggung lebar itu, menyalurkan kekuatan.
"Besok dateng ke acara keluarga ya? Aku temenin, temuin papa sama mama. Mereka pasti khawatir banget karena kamu belum pulang." Angkasa mengangguk, membalas pelukan Lily erat, ia harap malam ini menjadi malam yang sangat panjang dibanding malam pertemuan pertama mereka. Ingin terus seperti ini walaupun waktu akan terus berputar.
"Ly, satu hal yang harus kamu tahu. Hubungan kita itu istimewa walau tanpa status, karena aku sayang kamu melebihi siapapun."
"Siapapun?" Tanya Lily curiga, mencari setitik kebohongan di mata Angkasa. Angkasa menatap Lily tanpa melepas pelukannya.
"Bahkan Keila?" Angkasa tersenyum lembut, berfikir sejenak kemudian mengangguk.
"Kalau Sindi?"
"Kok Sindi? Sindi bukan siapa-siapa aku, buat apa disayang."
"Ah masa?"
"Iya Ly, suer." Sial, rasanya Lily merusak suasana yang tercipta.
"Aku juga sayang kamu." Ucap Lily membuat Angkasa berdebar mendengarnya. Jika Angkasa menarik kepala Lily mendekat ke dadanya mungkin Lily bisa mendengarnya.
"Oh iya beberapa hari lalu, pas kita barusan baikan kayaknya. Yuli ngomongin soal ciuman coba, dia pasti habis dicipok sama orang makanya nanya gitu. Kamu tahu gak siapa ya kira-kira?"
"Kak Sean?" Lily menggerakkan jari telunjuknya kekanan dan kekiri sembari mendecakkan lidahnya.
"Siapapun tahu Yuli ke Kak Sean itu bertepuk sebelah tangan. Terus dia tanya aku udah pernah apa belum. Ngaco aja, orang yang pernah mau perkosa aku aja gak sempet ngelakuin itu." Angkasa merapikan anak rambut Lily.
"Mau coba?" Lily segera menutup bibirnya dengan kedua tangannya cepat-cepat sembari menajuhkan tubuhnya dari tubuh Angkasa yang mendekatinya. Sialnya Lily pinggang Lily masih dipeluk Angkasa sehingga membuatnya tidak bisa lari, sedangkan Angkasa menahan Lily agar tidak terjatuh kebelakang, mengerjai Lily dengan sengaja terus memajukan tubuhnya.
"Gak mau." Ucap Lily masih berusaha menghindar. Suara malam yang hening kini tergantikan oleh suara tawa Angkasa dan Lily.