Setibanya di rumah, Arini langsung dipaksa keluar dari dalam mobil oleh Panji. Arini merintih kesakitan karena Panji mencengkram tangannya dengan kasar sekali ditambah lagi dia diseret masuk ke dalam rumah. Bi Sumi tidak sengaja melihat kejadian itu hingga membuat hatinya tidak tega melihat Arini diperlakukan seperti itu.
"Awww sakit. Tolong lepaskan aku. Sakit."Arini terus merintih kesakitan karena Panji menyeret tangannya dengan kasar sekali menuju kamarnya. Tapi Panji tidak mengindahkannya.
"Ada apa lagi dengan mereka?"batin Bi Sumi dalam hati sambil memandangi Arini yang terus merintih kesakitan.
Jederrrr
Suara pintu kamar ditutup Panji dengan begitu kerasnya hingga membuat dinding rumah dan perabotan rumahnya bergetar. Sampai-sampai Bi Sumi yang berdiri sampai terkaget. Kemudian Arini dihempas ke kasur begitu saja. Arini langsung jatuh ke kasur. Panji seperti kalap dan tidak punya perasaan lagi pada Arini.
"Aduhhh."Arini menahan rasa sakit pada perutnya. Saat tubuhnya mengenai kasur tadi membuat perutnya seperti terguncang. Tangannya kini memegang perutnya.
"Aku tadi sudah bilang jangan lepas kacamatanya dan jangan jauh-jauh dariku."Panji menarik dagu Arini sehingga Arini kini menatap Panji.
"Maafin aku."Arini kesusahan berbicara karena tangan Panji menekan mulutnya sehingga mulutnya kini menciut.
"Siapa dia tadi dan kamu bilang apa sama dia?"Panji masih terbakar emosi. Arini dipaksa berdiri oleh Panji. Tangan Arini berusaha melepaskan tangan Panji dari mulutnya tapi tenaga Panji jauh lebih besar darinya.
"Aku nggak bilang apa-apa. Itu cuma teman."jawab Arini dengan mata yang sudah tergenang dengan air matanya. Perlakuan Panji kepadanya telah membuatnya takut .
"Cepat bilang! Apa yang telah kamu katakan!"bentak Panji sekali lagi tepat di depan mata Arini hingga membuat rambut Arini terhempas. Panji tidak percaya kalau Arini tidak bilang apa-apa pada laki-laki tadi di taman.
"Emang salah kalau aku bicara sama teman aku. Aku juga tidak cerita apa-apa sama dia."kata Arini dengan sesenggukan.
"Bohong! Pasti kamu telah memberitahunya kan?"Panji melepaskan cengkramannya pada dagu Arini. Arini merasakan rasa sakit pada dagunya.
"Terserah kalau tidak percaya."Arini menunduk dengan pasrah. Percuma dijelaskan sebanyak apapun tetap saja tidak akan percaya.
"Jangan macam-macam sama aku. Jika kamu berani membocorkan kehamilanmu itu ke orang lain. Aku akan…"Panji tiba-tiba terhenti dan tidak melanjutkan ucapannya. Arini mendongak menatap Panji.
"Kamu mau apakan aku. Membunuhku. Hah…"bentak Arini karena sudah merasa sakit hati karena Panji tidak percaya dengannya.
"Aku sudah begitu sabarnya menghadapimu. Kamu mengurungku disini aku diam saja. Kamu menyuruhku ini itu aku turuti. Dan gara-gara itu saja kamu semarah ini. Aku udah jelasin tapi kamu tidak percaya. Jika kamu masih malu dengan aku dan anak ini lebih baik lepaskan kita. Aku juga bisa hidup sendiri membesarkan anak ini sendirian tanpa kamu. ���Arini sudah berani bicara. Tatapan Arini tidak bisa lepas dari tatapan Panji. Arini berbicara sambil meneteskan air matanya. Dia sudah tidak tahan berada disamping Panji.
"Nggak segampang itu. Jangan berharap kamu bisa lepas dariku."jawab Panji dengan sinis dan berbalik badan dari Arini.
"Apa kamu mau menyiksa aku dulu baru kamu lepaskan aku."Arini berjalan mengahadap Panji.
"Sudah diam. Kamu harus disini dan jangan keluar membocorkan masalah ini."kata Panji terlihat tidak ingin berdebat terus sama Arini.
"Aku nggak kuat disini terus kalau kamu seperti ini."Arini cepat-cepat pergi dari hadapan Panji. Adanya Arini menuruti permintaan Panji untuk tetap tinggal di rumahnya semata-mata hanyalah ingat kalau Panji adalah ayah dari anak yang dikandungnya saat ini. Tapi melihat perlakuan kasar Panji barusan telah membuat Arini tidak betah.
Dengan cekatan Panji langsung meraih tangan Arini. Arini terkejut ketika tangannya ditarik Panji dengan sekali tarikan hingga membuatnya mundur kebelakang dan dihempas lagi ke keranjang kasurnya.
"Kamu berani lari dariku lagi. Tamat kamu."ancam Panji dengan membentaknya lagi. Arini melihatnya ketakutan sendiri.
Bentakan Panji itu semakin membuat Arini ketakutan. Air matanya kembali berjatuhan ke keningnya. Tidak disangkanya kalau hari ini Panji akan memarahinya sampai segitunya. Laki-laki yang dulunya pernah mengambil mahkotanya dengan paksa hingga membuat dirinya hamil. Sekarang malah memarahinya habis-habisan tanpa ampun.
"Astaga."Panji tersadar telah membuat Arini menangis karena telah berlaku kasar.
Semarah-marahnya dengan cewek, Panji tidak akan pernah membuat cewek itu menangis. Sekalipun cewek tadi telah menyakiti hatinya. Tapi kenapa hari ini dia bisa keblablasan memarahi Arini hingga menangis tersedu-sedu. Tidak hanya memarahi saja tapi telah menyakiti Arini juga. Terlihat tangan Arini kemerahan karena cengkraman tangannya tadi.
"Hiks…hikss.."Arini menangis di kasur setelah Panji memarahinya dan menyakitinya tadi.
"Hahhhh."Panji meluapkan emosinya dengan berteriak. Arini kaget tapi dia tidak peduli.
Panji menyesali perbuatannya tadi. Dia telah lepas control menahan amarahnya hingga menyakiti Arini.
Arini melihat Panji pergi meninggalkannya begitu saja tanpa meminta maaf kepadanya. Tidak ada rasa bersalah sedikitpun dari Panji setelah tadi memarahinya dan menyakiti tangannya. Arini melihatnya semakin membuatnya benci pada Panji.
"Aku benci sama kamu."batin Arini dengan kesal sambil memandangi punggung Panji yang mulai menghilang.
Setelah Panji benar-benar pergi, Arini langsung meringkuk di lantai. Kepalanya disembunyikan di atas lututnya dan kedua kakinya ditekuk. Arini sendirian di kamar dan menangisi keadaannya sekarang tanpa henti.
Tidak berasa kini angin malam mulai masuk ke dalam kamarnya. Tapi Arini tidak peduli kalau ini sudah malam. Baginya sekarang hanya ingin menangis dan menangis saja untuk meluapkan rasa sedihnya harus menanggung penderitaan ini sendirian.
"Hikss���Hiksss."Arini masih menangis sambil meringkuk di lantai.
Ceklek
Panji membuka pintu kamarnya. Dilihatnya Arini masih menangis di kamar. Seharusnya ini waktunya dia pulang ke rumah. Tapi entah kenapa perasaannya tiba-tiba teringat Arini dan membuatnya tidak bisa pergi meninggalkan Arini begitu saja. Apalagi sebelumnya dia telah berlaku kasar pada perempuan yang sekarang sedang mengandung anaknya itu.
Dia ingin mengecek keadaan Arini sebelum pulang. Tapi malah saat dicek ke kamar, Arini malah sedang meringkuk di bawah. Panji tidak tega melihatnya.
"Astaga aku telah begitu kasar dengannya."melihat Arini seperti itu membuatnya merasa bersalah.
Panji berjalan mendekati Arini. Saat berada tepat disamping Arini, Tiba-tiba hati Panji terasa sakit. Dia malah teringat dengan perlakuannya tadi saat menyakiti dan memarahi Arini dengan begitu kasarnya. Wajar saja Arini masih terlihat sedih seperti itu karena mungkin dia masih syok.
"Panji apa yang telah kamu lakukan padanya."batin Panji melihat Arini tepat dibawahnya.
"Arin."Panji memanggil Arini dengan pelan.
"Arin."pangilnya sekali lagi karena Arini tidak meresponnya.
Karena sudah berkali-kali Panji memanggil Arini tapi tetap saja tidak mendapatkan respon akhirnya Panji memegang bahu Arini.
"Arin."Panji reflek menangkap dan menahan bahu Arini yang sepertinya sudah lemas dan tidak berdaya hingga hampir jatuh.
Panji cepat-cepat membantu Arini menjaga keseimbangan tubuhnya agar tidak jatuh. Dilihatnya kedua mata Arini terpejam. Panji terlihat panik.
Panji menggendong Arini menuju kasurnya. Kemudian Arini digeletakkan di kasur.
"Astaga. Ada apa sama dia."Panji terlihat frustasi setelah tahu Arini tidak sadarkan diri. Terlihat wajah Arini sembab karena habis menangis tadi.
"Arini bangun. Kamu kenapa."Panji menggoyang-goyangkan tubuh Arini dengan pelan. Dia berharap Arini segera sadarkan diri.
"Dingin."mulut Arini tiba-tiba membuka tapi mata Arini masih terpejam.
Panji melihatnya sedikit lega. Itu berarti Arini sudah sadarkan diri walaupun belum sepenuhnya.
Dengan cepat Panji menarik selimut dan menutupi tubuh Arini yang mulai kedinginan itu. Setelah menutupi sebagian tubuh Arini, Arini terlihat sudah sedikit membaik.
"Maaf kan aku."Panji menggenggam tangan Arini dan menciumnya dengan pelan. Panji merasa bersalah atas kejadian sebelumnya itu.
"Astaga sampai begini."Panji semakin merasa bersalah sekali pada Arini saat tahu ada tanda lebam kemerahan pada tangan Arini bekas cengkraman tadi siang.