Dilan dan Yanuar sekarang masih sibuk mencari Arini yang telah hilang beberapa hari lalu. Sebenarnya mereka Dilan ingin melaporkan kehilangan Arini. tapi Yanuar telah melarangnya karena tidak ada bukti adanya tindakan criminal di rumah Arini. Rumah Arini masih nampak rapi dan semua barang-barang Arini masih terlihat utuh.
"Kita cari kemana lagi ini?"tanya Dilan sambil duduk pasrah di ruang tamu ruamah Arini.
"Aku juga nggak tahu. Udah aku cari keliling jalanan kemarin juga masih tidak menemukannya."kata Yanuar ikut duduk di dekat tempat duduk Dilan.
"Terus kita harus cari kemana lagi?"Bu Siti nampak cemas sekali. Sedari tadi dia mondar mandir saja.
Bu Siti sudah menganggap Arini layaknya seperti anaknya sendiri. Jadi saat Arini hilang dirinya sungguh merasa cemas sekali. Dia hanya bisa menunggu kabar dari anaknya dan Dilan saja. Karena Yanuar tidak memperbolehkannya keluar sendiri mencari Arini.
"Apa kita lapor ke polisi ya?"Dilan memberikan ide kepada Yanuar yang sedang menggigit jari.
"Kayaknya jangan dulu deh. Pasti urusannya nanti akan panjang."jawab Yanuar sambil duduk di depan Dilan.
"Apa dia pulang menemui bibinya di kampung ya. Soalnya dia dulu pernah cerita sama tante kalau sejak kecil dia tinggal bersama tantenya di kampung. Siapa tahu dia diam-diam kesana tanpa memberitahu kita karena ada urusan mendadak. Soalnya dulu dia pernah cerita kalau suami dari bibinya itu sedang sakit. "Bu Siti kepikiran dengan cerita Arini dulu saat masih tinggal di rumahnya.
"Emang dia dari dulu tinggal sama bibinya? Lalu orangtuanya kemana?"Yanuar dan Dilan baru tahu setelah diberitahu Bu Siti kehidupan mengenai Arini. Bu Siti langsung menggelang saat ditanya mengenai keberadaan orangtua Arini. Karena Arini tidak pernah mau bercerita tentang orangtuanya.
"Mungkin juga sih."Dilan sependapat dan mempertimbangkan penjelasan mamahnya Yanuar.
"Tapi kenapa dia tidak memberitahu ke kita lewat telephone?"tanya Dilan sambil bersedekap tangan di dada.
"Emang dia punya handpone?"tanya Yanuar.
"Punya lah."jawab Dilan dengan tegas. Yanuar dan mamahnya saling adu pandang. Mereka justru tidak tahu kalau Arini punya handpone soalnya setahu mereka tidak pernah melihat Arini memainkan ponsel.
"Sudah kita harus tetap positive thingking pada Arini. Kekuatan cara pikir kita akan mampu membuat Arini aman-aman saja disana."kata Yanuar sambil menatap mamahnya dan Dilan bergantian.
"Tapi kalau memang dia punya handpone seharusnya dia kan memberitahu kabarnya nak?"Bu Siti mengajak debat Yanuar.
"Ya sih mah. Tapi aku yakin kalau sekarang dia tidak apa-apa karena rumahnya juga kelihatan baik-baik saja dan tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan missal kerampokan apa gimana."
"Kita juga buntu sekarang. Aku kemarin sudah tanya sama tetangga sebelah mereka juga tidak tahu dan belum kenal sama Arini karena memang Arini baru disini. "kata Yanuar sambil menyandarkan tengkuknya ke sofa.
"Ya sudah mending kita tunggu saja sampai arini pulang."imbuh Yanuar.
Dilan dan Bu Siti setuju dengan ucapan Yanuar. Karena memang hanya itu yang bisa mereka lakukan yaitu menunggu Arini pulang.
Tidak tahu kalau sekarang dirinya tengah ditunggu dan dicemaskan beberapa orang, Arini sekarang sedang menikmati pemandangan taman cantik yang tidak diketahuinya dimana lokasinya itu. Meskipun dia harus menikmati keindahan taman dari balik kacamata hitam milik Panji, dia tetap merasa senang.
Sejak turun dari mobil, tatapan matanya tidak bisa berhenti melihat aneka bunga cantik yang bermekaran di taman. Ada bunga mawar, melati, anggrek, kamboja dan lain-lain. Terlihat warna warni kala mata memandanginya.
"Indah banget. Aku suka sekali."batin Arini sambil meluruskan kedua tangannya ke samping dan menarik nafas. Udara segar taman dihirupnya dengan pelan.
Arini berjalan menyusuri taman itu. Kakinya terus menjelajahi jalan setaapak yang ada di taman itu. Tidak peduli ada beberapa pasang mata terus melihatnya karena hanya dirinya saja yang menggunakan kacamata hitam di taman. Sedangkan orang lain tidak ada yang memakai kacamata seperti dia.
"Mungkin dia sedang sakit matanya."kata salah satu orang yang duduk di kursi taman dekat Arini. Arini mendengarnya tidak peduli.
"Biarin aja."batin Arini tidak peduli.
"Kasihan juga dia harus dilihatin banyak orang karena pakai kacamataku."batin Panji sambil memandangi Arini dari dalam mobil.
Mata panji tidak sedikitpun lengah untuk mengawasi Arini. Rasa-rasanya dia ingin terus melihat Arini dari kejauhn. Sepertinya ada perasaan was-was kalau terjadi apa-apa sama Arini.
Dret dret
Ponsel Panji berbunyi. Ternyata ada panggilan masuk dari Alena. Sekarang jam menunjukkan pukul 12. Kemungkinan Alena sedang istrihata kerja.
"Halo sayang. Sedang apa?"tanya Alena yang sedang istirahat.
"Halo sayang aku sedang istirahat nih. Ini tadi baru selesai meeting sama klien aku di luar kota."Panji menjawab sambil sesekali melihat Arini di taman.
"Meeting ya. Pasti capek. Nanti jemput aku ya."
"Jemput sayang. Kayaknya nggak bisa deh. Soalnya aku juga nggak tahu nanti aku pulangnya jam berapa?"jawab Panji mengalihkan pandangan dari Arini dan mencari alasan agar tidak menjemput Alena.
"Kok gitu. emangnya kamu ini sedang meeting dimana sih?"Alena sudah mulai merasa kesal.
"Aku ini ada meeting di Bandung sayang. Kebetulan ini proyeku cukup banyak. Jadi agak lama ini. Kemungkinan nanti ada makan bersama juga."Panji mencari alasan sambil menatap setirnya.
"Oh gitu ya. Sebenarny aku sih kesal karena kamu akhir-alhir ini sering menghilang. Tapi nggak papa lah kan kamu kerja buat masa depan kita nanti."kata Alena dengan pedenya. Padahal dia tidak tahu kalau Panji sekarang sedang bersama Arini.
"Ya lah sayang. Nanti kamu pulang sendiri. Hati-hati di jalan."pesan Panji sebelum pecakapannya selesai.
"Ok sayang. Bye bye. Mmmuahh."Alena menyempatkan untuk memberikan kiss lewat telepon kepada Panji.
"Mmmuahhhh."Panji membalasnya dengan manis. Tanpa sadari Panji telah keasyikan mengobrol dengan Alena lewat telepon hingga melupakan Arini.
Kaki Arini terus melangkah menyusuri setiap jalan setapak di taman. Kanan kiri jalan setapak itu terdapat aneka tanaman bunga yang bermekaran dengan indahnya. Kebetulan tidak ada yang lewat disana. Itu kesempatannya untuk melepaskan kacamata hitam yang sedari tadi mengganggu matanya.
Awalnya dia berusaha biasa saja ketika menggunakan kacamta itu. Tapi lama-lama dia merasa tidak nyaman sendiri. Akhirnya dia membuka kacamtanya. Kebetulan mobil Panji jaraknya lumayan jauh darinya. Jadi kemungkinan Panji tidak akan bakal mengetahuinya kalau dirinya melepaskan kacamatanya.
"Aku lepas aja deh."batin Arini dalam hati sambil curi-curi pandang kearah sekelilingnya. Diihatnya nampak sepi sekali.
Lepaslah kacamata hitam milik Panji. Kini matanya leluasa memandangi dan menikmati pemandangan taman itu. Dan orang-orang bisa melihat Arini dengan jelas.
"Gini ya leluasa."Arini menghirup aroma bunga yang sedang bermekaran di depan matanya.
"Arini."tiba-tiba ada yang memanggil namanya. Dia sempat berpikir itu Panji.
Kepalanya reflek menoleh ke kanan , kiri dan belakangnya. Alangkah terkejut ketika dia menoleh kebelakang. berdiri seorang laki-laki yang tidak asing baginya. Sepertinya dia mengenali paras wajah laki-laki itu.
"Arin."laki-laki datang menghampiri Arini.
"Faris."Arini bersorak kesenangan setelah tahu kalau yang memanggilnya tadi adalah Faris temannya saat SMP.
"Kamu ngapa…in?"setelah berada tepat di depan Arini, Mata Faris tiba-tiba terfokuskan kearah perut Arini yang sedang terlihat buncit.
"Aku harus cepat-cepat pergi sebelum dia tanya-tanya tentang aku."Arini siap-siap lari dari hadapan Faris.
"Tunggu. Kamu mau kemana?"Faris segera menahan tangan Arini yang sedang ingin lari dari hadapannya.
"Aku sedang jalan-jalan."Arini menjawabnya sambil terbata-bata. Dia mulai panic kalau Faris akan menanyakn tentang keadaannya yang sedang hamil itu.
"Ka…kamu ?"tiba-tiba tangan Faris dipegang Arini sedangkan tangan yang satunya digunakan Arini untuk mengkode diam saja. Faris langsung diam dan tidak melanjutkan ucapannya.
Di taman itu tinggallah hanya Arini dan Faris saja. Faris sangat penasaran sekali dengan Arini. Kemudian Faaris menuntun Arini untuk duduk di kursi panjang yang ada di taman itu. Mereka duduk berdampingan.
"Kemana dia." lama Panji berteleponan dengan Alena membuatnya kehilangan jejak Arini.
Panji berusaha mencari Arini dari dalam mobil. Dia terlihat cinglak cingluk di dalam mobil. Kalau dia hanya mencari dari dalam mobil tentu dia tidak akan menemukan Arini. Dia takut kalau Arini melarikan diri darinya.
"Tadi aku sudah bilang untuk tidak jauh-jauh. Awas saja kalau ketemu."Panji memendam rasa emosi pada Arini.
Akhirnya Panji keluar dari mobil dengan menggunakan kacamata warna hitamnya yang satunya lagi. Kebetulan di dalam mobil dia memiliki kacamata banyak. Memang dia orang yang suka mengoleksi kacamata.
"Faris kamu pasti kaget."ucap Arini yang melihat ekspresi Faris begitu termenung melihatnya.
"Kamu hamil?"Faris menatap Arini. Arini diam saja.
"Kamu sudah menikah? Bukankah baru kemarin-kemarin kita ketemu. Apa kamu sekarang sudah menikah?"tanya Faris sambil naik turun menatap Arini dengan tatapan tidak percaya.
"Gimana ini? Aku harus gimana? Apa aku harus cerita yang sebenarnya dengan dia?"batin Arini dalam hati. Dia bingung.
Arini tidak menyangka kalau hari ini bisa bertemu dengan Faris. Kalau saja dia tahu Faris ada di taman sama dengannya pasti dia tidak akan kesana.
"Arin kenapa kamu diam saja? Apa kamu sudah menikah?"Faris memegang kedua bahu Arini. Dia sangat ingin tahu kebenarannya. Jujur dari dalam dirinya tidak yakin kalau Arini sudah menikah. Malahan kini dia punya firasat yang tidak baik pada Arini.
"Hmm."Arini ingat dengan perintah Panji untuk tidak memberitahukan keadaannya pada orang lain. Dia hanya menggelang dan matanya berkaca-kaca.
"Arin ada apa denganmu?"Faris merasa Arini mulai ketakutan dan sedang menutupi sesuatu.
"Arin!"teriak seseorang memanggil nama Arini. Seketika Arini dan Faris langsung menoleh kearah sumber suara.
Faris tidak mengenali laki-laki yang sedang berdiri di belakangnya dengan kacamata hitam. Sekilas Faris melihat paras dan bentuk tubuh laki-kaki itu sangat tampan dan ideal. Laki-laki itu terlihat tampan meskipun ada kacamata yang mengahalangi wajahnya. Sepertinya laki-laki itu rajin berolahraga sehingga bentuk dadanya terlihat bidang sekali.
Faris tidak yakin kalau laki-laki yang berdiri diampingnya itu memanggil Arini. Sedangkan Arini terlihat ketakutan sendiri saat melihat kehadiran Panji di dekatnya.
"Ayo."tanpa permisi dan izin Panji langsung manarik tangan Arini yang sedang digenggam Faris.
"Tunggu kamu siapa."Faris masih kaget dengan kedatangan laki-laki yang tidak dikenalnya itu.
"Ayo."Arini terpaksa bangun dari kursinya karena Panji menariknya dengan kasar.
��Aduh."Arini merasa kesakitan ada tangannya.
"Jangan kasar ya."Faris mendorong tubuh Panji menjauh dari Arini.
"Jangan ikut campur."Panji malah giliran membalas mendorong Faris. Arini takut melihatnya.
"Kamu cowok jangan main kasar sama cewek."Faris merasa emosi ketika melihat Arini kesakitan karena ulah Panji. Refleks Faris melayangkan tinju kearah muka Panji. Tapi Panji berhasil menghindar.
Dengan cepat Arini langsung melerai pertikaian antara Faris dan Panji. Beberapa orang melihat kearah mereka. Panji terlihat ingin membalas pukulan Faris. Tapi sayang Arini sudah mengahalanginya akibatnya pukulan Panji mendarat ke tangan Arini.
"Jangan."Arini mengahadang pukulan Panji yang akan mendarat tepat di muka Faris. Tanpa disangka pukulan itu malah mengenai tangan Arini.
"Awww."Arini merasa kesakitan.
"Arin."Faris memegang tangan Arini yang kena pukulan Panji..
"Sudah jangan sentuh dia."Panji langsung meghempas tangan Faris kemudian menarik tangan Arini yang masih sakit itu. Arini dituntun Panji menuju ke mobilnya. Selama perjalanan Arini merintih kesakitan tapi tidak dihiraukan Panji.
"Hei berhenti. Lepaskan dia."Faris meneriaki Panji.
"Faris sudah aku nggak papa."kata Arini sambil menoleh kearah Faris yang ada dibelakangnya yang sedang berusaha mengikutinya.
Faris mendengarnya langsung berhenti. Dia heran kenapa Arini sepertinya kenal dan malah nurut dengan laki-laki itu.
Panji terus menyeret tangan Arini menuju ke dalam mobil. Banyak orang terus fokus melihat Panji dan Arini. Tapi Panji tidak menghiraukan mereka semua.
"Ganteng-ganteng kok ya jahat gitu."salah satu celoteh orang yang melihat Panji.
"Nggak kasihan apa."celoteh orang yang lain lagi. Banyak orang yang berpendapat kalau Panji jahat dan kejam. Tapi mereka semua memilih diam dan melihat saja karena sepertinya perempuannya juga nurut saja.
Arini dimasukkan ke dalam mobil dengan kasar. Arini merasa sakit pada perutnya. sedangkan Panji terlihat begitu wmosi sekali saat naik mobil. Arini melihatnya menjadi takut sendiri.