"Mas..Mas bangun. Ini sudah pagi. Apa mas nggak berangkat kerja?"Bi Sumi membangunkan Panji yang sedang tertidur di sofa ruang tamu.
Bi Sumi tahu kalau Panji habis mabuk tadi malam. Buktinya ada beberapa minuman alkohol di atas meja dekat sofa. Panji terlihat kacau sekali panampilanya sekarang.
Setelah banyak meneguk alkohol tadi malam, Panji kini ketiduran hingga hampir jam 7. Kalau tidak dibangunkan pasti dia masih tertidur. Panji merasasakit di kepalanya setelah mabuk tadi malam.
"Bi…Ini jam berapa."mata Panji mulai membuka dan silau karena terkena pantulan cahaya sinar matahari yang masuk ke dalam rumah Panji.
"Ini jam 7 mas."jawab Bi Sumi sambil menunduk.
"Astaga."Panji menepuk jidatnya dengan kasar. Dia menyadari kebodohannya sendiri karena telah minum alkohol banyak tadi malam hingga dia mabuk dan ketiduran hingga jam 7. Padahal hari ini dia ada meeting.
"Apa perempuan yang di kamar itu keluar bi?"Bi Sumi langsung menggeleng. Panji bernafas lega mendengarnya. Sebenarnya tadi malam, Panji telah mengunci kamar itu agar Arini tidak bisa keluar jadi wajar saja Arini tidak keluar.
"Aku mau berangkat kerja. Titip perempuan itu bi. Ini kuncinya."Panji menyerahkan kunci kepada Bi Sumi.
"Hanya mbaknya tadi malam masih menangis."Bi Sumi keceplosan. Panji tidak tahu kalau tadi malam Arini masih menangis, Soalnya tadi malam dia keasyikan minum dan lupa mengecek keadaan Arini.
Panji bergegas dan mengambil kuncinya lagi yang telah diserahkannya kepada Bi Sumi karena hendak mengecek keadaan Arini. Kemudian Panji membuka pintu kamarnya. Dia merasa aneh ketika pintunya terasa berat ketika dibuka.
"Arin."Panji terkejut setelah tahu Arini berada di balik pintu dengan keadaan mengenaskan.
"Arin bangun."Arini tidak sadarkan diri. Panji terlihat panik.
Panji segera menggendong tubuh Arini ke kasur. Arini masih tidak sadarkan diri.
"Bi..bibi."Panji berteriak memanggil bi Sumi.
"Ya mas. Ada apa? Lho mbaknya kenapa ini?"Bi Sumi datang dan langsung mengalihkan pandangannya ke Arini yang sedang tergeletak di atas kasur. Wajah Arini terlihat pucat dan kedua matanya sembab.
"Jaga dia dulu bi. Saya suruh dokter kesini."perintah Panji sambil berjalan keluar dan menelepon dokter pribadinya.
Akhirnya dokter Clara datang. Panji sengaja mencari dokter kandungan atas rekomendasi dari dokter Robby, dokter pribadinya. Panji dan Bi Sumi menunggu dokter Clara diluar kamar.
"Gimana dok keadaan dia?'Panji langsung menghampiri dokter Clara yang baru saja keluar dari kamar. Entah kenapa Panji begitu khawatir sekarang pada keadaan Arini.
"Ada apa sih sama mas Panji sama wanita itu."Bi Sumi merasa aneh dengan sikap Panji yang terlihat peduli sekali dengan Arini.
"Ibunya di dalam baik-baik saja. Hanya saja dia kecapekan dan butuh istirahat. Apa sebelumnya dia tengah tertekan? Soalnya dia terlihat stress. Saya berpesan tolong ibu di dalam dijaga kesehatannya. Jangan sampai kecapekan dan banyak pikiran karena itu tidak baik untuk kandungannya dan kesehatannya."dokter Clara berbicara panjang lebar dan Panji mendengarkan dengan seksama.
"Oh gitu ya dok."Panji mengalihkan pembicaraan dan terkesan menutupi kalau memang Arini sebelumnya sedih karena perlakuannya kemarin.
Dokter Clara keluar dihantarkan Bi Sumi. Sedangkan Panji masuk ke dalam kamarnya dan mendatangi Arini yang sedang tiduran di kasurnya. Arini merasa tubuhnya begitu lemas sekali.
"Dia lagi."Arini kesal melihat wajah Panji lagi. Setelah semalaman menangis karena Panji.
"Gimana keadaanmu?"Panji berdiri disamping kasur Arini.
"Biasa aja."Arini tidak berselera bicara panjang lebar dengan Panji. Bahkan dia menjawabnya tidak menatap wajah Panji yang sedang menatapnya sambil berdiri. Dia masih merasa kecewa dengan sikap Panji.
"Dokter tadi bilang kamu jangan sampai kecapekan sama nggak usah banyak pikiran."kata Panji sambil menatap langit-langit. Dia tidak ingin terlihat peduli dihadapan Arini supaya Arini tidak kepedean.
��Aku sudah biasa kecapekan. Tapi syukurnya anak ini selalu mengerti aku."kata Arini sambil mengelus perutnya yang sudah nampak buncit itu. Panji refleks menilhat tangan Arini.
"Aku ada meeting hari ini. Kalau ada apa-apa minta sama bi Sumi."Panji langsung meninggalkan Arini yang masih tiduran itu. Arini senang melihat kepergian Panji dari hadapannya.
"Awas kalau kamu sampai lari. Aku tidak segan-segan berbuat kasar sama kamu. Camkan itu."ancam Panji sambil menutup pintu kamar. Arini mendengarnya hanya nyengir saja.
Arini langsung bangkit dari kasurnya setelah Panji keluar. Dia mengintip dari balik jendela melihat Panji yang sudah pergi dengan mobil mewahnya itu.
Arini punya ide untuk bisa kabur dari rumah itu. Dia punya firasat kalau Panji suatu saat nanti akan menyakitinya dan anaknya. Jadi sebelum itu terjadi dia ingin melarikan diri sebelum Panji melancarkan aksi jahatnya itu.
Arini lega saat tahu pintu kamarnya tidak terkunci. Diluar kamarnya juga nampak sepi, itu berarti dia mempunyai kesempatan untuk lari. Dia cepat-cepat keluar. Betapa terkejutya dia saat mau membuka pintu terlihat dua bodyguard yang sedang menjaga di sekitar pagar rumahnya.
"Pak saya mau keluar."Arini menghampiri dua orang yang sedang berjaga-jaga di sekitar pagar rumah Panji. Bodyguarg itu memandang Arini dengan tatapan sinis karena Arini terlihat polos sekali.
"Maaf mbak, mbaknya tidak boleh keluar. Karena tuan Panji sudah melarangnya."kata salah satu bodyguard dengan tatapan tajam.
"Tolonglah pak."Arini memohon sambil mengatungkan kedua tangannya.
Percuma saja meminta izin bodyguard itu karena mereka telah dibayar Panji untuk menahannya. Tanpa butuh aba-aba, Arini langsung lari dan membuka pintu pagarnya.
Dengan cepat kedua bodyguard itu menghalangi langkah Arini yang hendak meloloskan diri itu. Tenaganya kalah kuat dengan mereka. Kini dia digelandang masuk kedalam rumah. Arini terus meronta-ronta untuk dilepaskan. Tapi bodyguard itu tidak mengindahkannya. Mereka lebih tunduk pada perintah Panji.
Arini kesal sendiri. Pintu rumah langsung ditutup kedua bodyguard tadi dan mereka langsung berjaga tepat didepan pintu. Arini kembali ke kamarnya.
"Permisi."Arini terkejut ketika pintunya terbuka, dia melihat ada ibu parubaya kemarin yang sempat dia lihat saat dirinya digelandang masuk oleh Panji.
"Mbaknya habis darimana?"tanya Bi Sumi kepada Arini yang sedang manatapnya dengan tatapan asing.
"Saya habis dari luar bu. Ibu siapa ya?"Arini menghampiri Bi Sumi yang sedang mengganti sprei kasurnya.
"Saya pembantu di rumah ini mbak. Saya biasa dipanggil Bi Sumi."jawab Bi Sumi setelah mengganti spreinya.
"Oh Bi Sumi. Saya Arini."Arini mengulurkan tangannya untuk berjabatan tangan dengan Bi Sumi.
"Maaf mbak, tangan saya kotor."Bi Sumi menolak jabat tangan dari Arini sambil menunduk.
"Kok gitu sih bi. Memangnya kenapa. Ya sudah kalau Bi Sumi nggak mau. Bibi bisa panggil aku Arini."Arini memegang tangan Bi Sumi.
"Ya mbak Arini."Bi Sumi sedikit takut melihat Arini. Sesekali pandangan Bi Sumi tertuju pada perut buncit Arini.
"Maaf mbak, saya mau tanya?"tiba-tiba pandangan Bi Sumi berhenti kearah perut buncit Arini. Arini sudah menduganya.
"Mbak Arini apanya mas Panji ?"Bi Sumi ragu saat bertanya tentang hubungan majikannya dengan Arini yang sedang hamil itu. Sempat terpikirkan hal yang tidak-tidak pada Bi Sumi. Setahu Bi Sumi Panji belum menikah dan baru akan menikah dengan seorang cewek bernama Alena. Kebetulan Bi Sumi pernah melihat wajah Alena dari ponsel Panji dulu.
"Sa…saya bukan apa-apanya dia bi."jawab Arini. Dia tidak ingin berbagi masalahnya dengan orang yang baru dikenalnya itu.
"Tapi kenapa mbaknya dibawa kesini? Terus apa mbak sekarang hamil anak mas Panji?"Bi Sumi sangat kepo sekali hingga berani melontarkan pertanyaan itu.
Arini mendengarnya langsung merasa sedih. Buliran air matanya tidak bisa dibendungnya lagi. Begitu sakit hatinya kala mengingat pernyataan Panji yang terkesan tidak mengakui anaknya. Lantas kalau begitu apakah dia harus menceritakan keadannya kalau Panji telah menodainya hingga membuatnya menjadi hamil sekarang.
"Maaf mbak kalau pertanyaan saya tadi terlalu lancang."Bi Sumi merasa bersalah karena telah membuat Arini menjadi sedih sekarang.
Bi Sumi melanjutkan pekerjaanya dan meninggalkan Arini sendirian di kamar. Arini kesepian di dalam kamar. Terlihat di atas meja ada semangkuk soup. Tapi dia tidak berselera untuk menyantapnya.
"Gimana aku bisa keluar dari rumah ini."batin Arini dengan tatapan sendu sambil memandangi kamar.
"Jangan khawatir ya nak, mamah pasti akan melindungimu."Arini mengelus perutnya sambil menatap keluar jendela.
Berlama-lama di dalam kamar malah membuatnya jenuh sendiri. Akhirnya dia keluar dari kamarnya. Kini dia hanya pasrah saja. Percuma kalau mau kabur karena sudah ada beberapa orang yang menjaganya untuk tidak bisa keluar. Kini dia ingin berkeliling mengelilingi rumah Panji saja.
Tiba-tiba ada salah satu spot dari belakang rumah Panji yang menarik perhatiannya. Yaitu taman cantik nan hijau yang ada di belakang rumah. Arini berjalan dengan pelan kesana.
"Wow bagus banget."Arini terkejut melihat ada taman indah di belakang rumah Panji. Bahkan ada kolam renang dan beberapa pohon kelapa sawit disana. Sejauh mata memandang hatinya merasa sejuk sekali melihatnya.
Arini berjalan disekitar kolam renang. Dia ingin menghibur dirinya sambil mengelilingi taman itu. Yang bisa dia lakukan sekarang adalah jalan-jalan sambil menghibur perasaannya yang masih gundah itu.
Mata Arini membelalak bulat ketika melihat ada sebuah tangga bersandar di tembok. Terlintas dipikirannya untuk melarikan diri melalui tangga itu. Tanpa pikir panjang Arini langsung mendekati dan menaiki anak tangga itu.
"Aku takut. Tapi ini jalan satu-satunya."tanpa pikir panjang Arini sudah menaiki beberapa anak tangga. Nyalinya tiba-tiba menciut ketika dirinya sudah berada diketinggian 1meter. Tembok rumah Panji sangat tinggi kira-kira 3 meteran.
"Arin."Arini berhenti dan menoleh kebelakang.
Ternyata Panji sudah ada dibelakangnya dan menatapnya dengan tatapan marah sekali. Arini melihat tembok didekatnya lagi. Kurang sedikit lagi dia akan sampai diatas dan bisa lolos.
"Berhenti tidak."bentak Panji sambil berlari kearah Arini. Arini tetap tidak mengindahkannya. Malahan kini Arini dengan cepat sekali menaiki anak tangga itu agar bisa sampai diatas.
Arini malah semakin cepat menaiki anak tangganya agar cepat sampai diatas. Bukannya sampai diatas, malah tiba-tiba tangannya keburu goyang akibatnya keseimbangan tangga tersebut tidak stabil. Arini panik karena dirinya sepertinya akan jatuh.
"Ahhhh."Arini berteriak. Tubuh Arini melayang jatuh kebawah. Tangganya juga ikut jatuh.
Arini hanya bisa memajamkan matanya saat dirinya jatuh. Tanpa diketahui Arini, Panji telah berlari kearah Arini yang sudah jatuh itu. Dengan cekatan Panji langsung siap-siap menangkap tubuh Arini dari bawah.
"Awww."Panji merintih kesakitan. Suaranya tidak terlalu keras. Maklum saja laki-laki jadi bisa menahan rasa sakitnya.
"Kamu."Arini terkejut melihat Panji sudah berada dibawah tubuhnya sedangkan kedua tangan Panji memegang kepalanya. Berharap Arini tidak terkena tangga yang jatuh.
Arini bangkit dengan pelan-pelan dari tubuh Panji. Dia tidak ingin menindih dan menambah rasa sakit yang dialami Panji.
"Kamu nggak papa?"tanya Arini sambil memegang bahu Panji.
"Awww."Panji tidak menjawab pertanyaan Arini. Panji masih tiduran di tanah dan masih menahan rasa sakit punggungnya.
Arini merasa bersalah dan kasihan kepada Panji. Dia tidak tahu kalau kejadian seperti ini terjadi. Arini hanya bisa memandangi Panji saja dengan tatapan kasihan.
"Ayo ikut."tiba-tiba Panji sudah berdiri dan menarik tangan Arini yang masih duduk dibawah.
Akhirnya Arini hanya nurut saja. Panji menariknya dengan pelan karena Arini sedang hamil.
Lagi lagi, Panji membawa Arini masuk kedalam kamar. Arini hanya bisa menunduk. Tentu dia tahu kalau Panji akan memarahinya karena terciduk hendak kabur. Bahkan akibat ulahnya itu kini Panji harus menahan rasa sakit di badannya.
"Apa kamu tuli? Apa kamu lupa? Aku sudah bilang, jangan berusaha lari dari sini."suara Panji memecahkan keheningan dalam kamar. Arini sampai memejamkan matanya karena saking kerasnya suara Panji.
"Kalau kamu jatuh tadi dan tidak ada aku disana apa yang terjadi sama kamu? Hahhh!"bentak Panji lagi.
"Tuh kan. Pasti dia marah."Arini menunduk dan membatin. Tangannya mengelus perutnya agar anaknya tidak kaget dengan suara ayahnya.
"Aku lupa."Panji menepuk jidat setelah melihat Arini sedang mengelus perut. Panji teringat dengan pesan dokter Clara. Arini tidak boleh tertekan dan banyak pikiran.
Arini mendongakkan kepalanya karena tiba-tiba Panji diam dan tidak marah-marah lagi. Panji berusaha meredam emosinya. Arini tidak tahu apa yang sedang terjadi pada Panji.
"Tanganmu."Arini melihat ada luka di siku tangan Panji. Panji tidak sadar akan lukanya itu.
Panji kemudian melihat kearah tangannya. Ternyata ada luka disana. Kemungkinan besar luka itu karena terbentur saat menolong Arini.
Panji segera mengambil tissue di atas meja dekat kasur. Dia segera menghilangkan darah segar yang masih mengalir di tangannya dengan tissue. Arini melihatnya langsung tersentuh. Dengan cepat tangan Arini merebut tisu dan menggantinya dengan obat yang ada di kotak P3K. kebetulan di dekat kasurnya ada kotak P3K.
Arini langsung membantu mengobati luka Panji. Panji sempat menolaknya tapi Arini tetap mengobatinya.
"Sudah biar aku saja. Ini semua juga karena kamu."bentak Panji lagi. Arini kaget dan refleks menjatuhkan kotak P3Knya.
"Maaf."mata Arini berkaca-kaca.
"Hahhh."Panji menghembuskan nafas pasrahnya karena keblablasan memarahi Arini lagi.
"Biar aku aja."kata Panji dengan pelan-pelan. Arini mengangguk saja.
"Kenapa aku jadi tidak tegaan sama dia."Panji bingung sendiri menatap Arini yang sedang menunduk dan duduk di kasur.
Panji akhirnya mengobati lukanya sendiri. Sesekali dia melirik kearah kasur yang disana terlihat ada Arini masih menunduk. Benar saja Arini tidak bisa berhenti menyalahkan dirinya sendiri karena telah membuat Panji terluka.
"Cepatlah makan soup itu dan jangan perlihatkan wajah sedihmu itu dihadapanku."Panji melihat soup di kamarnya yang belum di makan Arini.
Arini langsung menuruit perintah Panji. Sebagai ungkapan maafnya kini dia dengan cepat langsung makan soup itu. Kebetulan sedari tadi perutnya belum kemasukan makanan sedikitpun.Perasaan Panji begitu lega sekaligus senang melihat Arini makan.