"Hiks…hiks…"Arini masih menangis. Perasaannya kini benar-benar hancur setelah mendengar ucapan Panji saat tahu kalau dirinya sedang mengandung anak Panji.
Panji menyetir dalam keadaan sangat bingung. Apakah dia harus bertanggung jawab pada Arini dan bayinya atau tidak. Dia tidak menyangka kalau akibat ulahnya dulu bisa membuat Arini hamil. Sungguh tidak disangkanya sama sekali. Dulu dia hanya melakukannya tanpa sengaja karena terpengaruh minuman alkohol tapi malah berujung pada Arini hamil anaknya.
Yang membuat Panji bingung adalah rencana pernikahannya dengan Alena dalam waktu dekat. Apalagi kedua keluarga sudah merestui pernikahan mereka. Tidak mungkin juga dia memberikan kabar ini kepada keluarga besarnya. Apalagi kepada Alena wanita yang sangat dicintainya itu.
"Hiks…hiks."Panji masih mendengar tangisan Arini disampingnya. Panji membiarkan Arini yang menangis disampingnya.
"Halo bi. Saya mau pulang. Tolong tata kamar saya."Panji menelepon asisten rumah tangganya di rumah pribadinya.
"Apa kamu bilang. Kamu mau pulang. Ya udah tolong turunkan aku disini."Arini melihat sekelilingnya nampak asing sekali baginya. Apalagi kini mobil Panji sedang melewati jalan tol.
Panji tidak menjawabnya malahan masih fokus pada pandangan yang ada di depannya.
"Tolong antarin aku pulang. Ini kamu mau kemana?"Arini cinglak cingluk kesekelilingnya. Sesekali tangannya mengusap matanya yang nampak buram itu karena habis menangis jadi tidak terlalu jelas pandangannya.
Karena Panji tidak merespondnya, Arini hanya diam saja. Dia menunggu Panji menghantarkannya pulang. Tapi setelah ditunggu cukup lama hingga beberapa menit tapi mobil Panji nampaknya semakin jauh dan menuju ke tempat yang sangat asing baginya.
"Kamu mau bawa aku kemana?"mobil Panji memasuki pelataran rumah mewah berwarna putih. Arini nampak asing sekali dengan rumah itu.
"Turun."Panji telah turun duluan. Kemudian membukakan pintu mobil Arini.
"Ini dimana. Aku nggak mau disini. Aku mau pulang."tangan Arini ditarik Panji untuk keluar dari mobil.
"Ayo turun."pandangan Panji kearah Arini nampak tajam sekali.
"Aku nggak mau."Arini berusaha melepaskan tangannya dari Panji. Akhirnya tangan Arini terlepas juga.
Arini tidak mau tinggal di rumah tersebut. Dia takut diapa-apakan oleh Panji. Jadi, Arini berlari menjuauhi mobil Panji. dengan cepat, Panji mengejarnya lalu menangkapnya. Karena Arini sedang mengandung jadi dia tidak bisa berlari dengan kencang.
"Kamu nggak bisa lari."Panji memeluk tubuh Arini dari belakang dengan erat. Arini tidak bisa bergerak lagi.
"Tolong lepasin aku. Jangan sakiti aku."Arini berusaha meloloskan diri. Tapi karena tenaga Panji jauh lebih besar akhirnya dia hanya bisa menggoyang-goyangkan tubuhnya.
Panji menyeret tubuh Arini sedikit kasar. Karena Arini tidak nurut dengan perintahnya. Bagi Panji sekarang, dia hanya ingin membawa masuk Arini masuk kedalam rumahnya. dan menyembunyikan wanita itu dari banyak orang terutama dari keluarga besarnya.
"Bi tolong bukakan pintunya."Panji berteriak-teriak di depan pintu rumahnya. Berharap asistennya segera membukakan pintunya. Tangannya masih mencengkram tubuh Arini yang masih meronta-ronta untuk dilepaskan.
"Ya mas."seorang ibu parubaya muncul dan membukakan pintu rumah.
Asisten rumah pribadi Panji bernama Bi Sumi. Dia sudah lama bekerja di rumah itu. Diam-diam tanpa sepengetahuan banyak orang, Panji telah memiliki rumah sendiri. Dia sengaja membeli rumah itu untuk ditinggalinya dengan istrinya suatu saat nanti.
Sebelumya Panji berniat untuk menempati rumah itu bersama Alena, wanita yang sangat dicintainya itu. Bahkan Alena senditi juga tidak tahu dan tidak pernah diberitahu oleh Panji mengenai rumah tersebut. Sekarang malah rumah itu ditempati Arini.
"Minggir bi."Panji masih mengunci tubuh Arini dari belakang. Arini hanya bisa merengek untuk dilepaskan.
"Siapa itu mas?"Bi Sumi melihat ada seorang cewek cantik yang sedang hamil muda tengah ditahan oleh Panji.
Panji tidak memperdulikan pertanyaan Bi Sumi. Dia segera masuk ke dalam kamarnya.
"Bu tolong aku."Arini menoleh kearah Bi Sumi untuk meminta bantuan. Bi Sumi tidak bisa apa-apa karena Panji adalah majikannya. Dalam hatinya ingin menolong Arini itu.
Bi Sumi terus mengikuti langkah Panji. Hingga akhirnya Panji masuk kedalam kamarnya sambil membawa Arini. Kemudian pintunya ditutup dengan begitu keras dan kencang sekali. Bi Sumi sampai kaget.
Setibanya di kamar, Arini kemudian dilepaskan. Panji dengan cepat langsung mengunci kamar itu. Kini tinggal dia dan Arini saja di dalam kamar itu. Arini menangis kesakitan sambil memegangi pergelangan tangannya yang telah disakiti Panji.
"Aku mau pulang."Arini mendekati pintu hendak keluar dari kamar.
"Duduk."suruh Panji sambil menunjuk kearah sofa. Arini terhenti langkahnya karena suara Panji begitu keras sekali.
"Aku bilang duduk Arin."bentak Panji sekali lagi karena Arini tidak nurut pada perintahnya.
Arini takut melihat Panji yang marah sambil melototkan matanya. Akhirnya Arini menurutinya dan duduk di sofa.
"Dengarin baik-baik, kalau kamu tidak ingin menggugurkan anak ini kamu harus disini dan nggak boleh kemana-mana."Panji berbicara sambil berpegangan sofa kanan kiri Arini. Arini melihat posisinya sekarang terpojokkan.
"Aku nggak mau menggugurkan anak ini. Tapi aku mohon lepaskan aku."Arini memohon sambil mentap Panji. Bibir Arini bergetar saat berbicara karena takut harus bertatapan dengan mata Panji dalam jarak dekat.
"Jadi kamu harus disini dan nggak boleh keluar."kata Panji dengan nada pasrah. Sebenarnya dia tidak tega melihat Arini yang sudah sembab matanya.
"Kenapa kamu tetap ingin mempertahankan anak ini?"tanya Panji dengan mata yang sudah tidak melotot lagi.
"Anak ini nggak bersalah. Aku nggak mau membunuh anak yang tidak berdosa."jawab Arini dengan sedikit sesenggukan.
"Memang benar apa yang dia bilang. Anak itu nggak bersalah."Panji juga sependapat dengan Arini. Tapi jujur dia masih belum bisa menerima kehadiran anak itu.
"Tetaplah disini. Aku nggak mau keluarga…."Panji tidak melanjutkan ucapannya. Dia langsung pergi.
Panji meninggalkan Arini yang masih duduk sendirian di sofa. Saat hendak membuka pintu, Arini memberanikan diri untuk menatap Panji.
"Bukankah aku udah bilang akan membesarkan anak ini sendirian tanpa kamu. Kenapa kamu seperti ini sama aku. Dan aku janji, keluargamu tidak akan pernah tahu semua ini."Arini menyeka air matanya yang jatuh. Dia berbicara sambil menahan rasa sakit di hatinya.
"Aku bilang kamu harus disini ya disini."Panji menengok kearah Arini dengan tatapan mengancam. Nyali Arini menjadi ciut melihatnya.
Panji akhirnya keluar dari kamar dan mengunci pintu dari luar. Sedangkan Arini tidak berdaya di kamar. Tubuhnya serasa lemas sekali hingga ahirnya dia langsung jatuh ke lantai. Dia menangisi keadaannya sekarang.
Sekarang dia seperti tawanan Panji yang harus tinggal di kandangnya. Tidak boleh keluar. Arini meringkuk di dekat pintu dan meluapkan rasa sedihnya dengan menangis disana sambil bersandaran dengan pintu.
"Hiks…hikss…"tangisan Arini pecah di dalam kamar.
Panji meredam emosinya dengan meminum segelas air putih. Dia tidak menyangka kejadian hari ini sangat sulit untuk dipercayanya.
"Benar kata dia, anak itu tidak salah. Aku yang bersalah atas semua ini."Panji tidak bisa mengendalikan emosinya sekarang. Akhirnya dia mengambil sebotol minuman alkohol. Dia meneguk cukup banyak berharap semua masalah itu hilang dari pikirannya sekarang.
Dret dret
Ponsel Panji berbunyi karena ada panggilan dari Alena tunangannya. Karena sekarang Panji tidak ingin diganggu, jadi dengan cepat jari telunjuk Panji mereject panggilan dari Alena. Sekalipun itu dari tunangannya dia tidak peduli. Baginya sekarang dia hanya ingin sendiri dan tidak ingin ada yang mengganggu.
Arini masih mendekap di kamar sendirian. Dia masih menangis sejadi-jadinya disana. Dia ingin lari dari rumah Panji, tapi melihat sekeliling kamar itu nampak ada teralis di jendelanya. Otomatis dia tidak bisa melarikan diri melalui jendela kamar.
"Seharusnya aku nggak ada di Jakarta."Arini menyesal. Buliran air matanya jatuh membasahi wajahnya lagi. Kepalanya dia benamkan dikedua lututnya dan kakinya ditekuk.