Pagi hari yang cerah. Arini menyambutnya dengan hati gembira. Ini adalah hari pertama dia tinggal di rumah barunya yang telah dibelikan oleh Yanuar untuknya. Disisi lain dia juga merasa sedih karena dia hendak memasak sarapan tapi malah dapurnya masih kosong lompong tanpa ada sesuatu disana. Maklum saja rumahnya masih baru, jadi wajar kalau tidak ada sesuatu yang bisa dimasak. Dia punya rencana hendak berbelanja di luar.
"Abang jualan sayur nggak lewat ya."Arini melirik dari tirai jendelanya melihat suasana di luar rumahnya. Dia berharap ada tukang sayur lewat.
Setelah beberapa menit menunggu, ternyata tukang sayur tak kunjung lewat juga di depan rumahnya.
"Aku harus pergi keluar sebentar cari toko sayur."Arini membuka pintu hendak belanja diluar.
Arini berjalan menyusuri jalan di depan rumahnya. Ini kali pertamanya dia keluar dari rumahnya sambil jalan-jalan melihat suasana di luar rumah. Dia terkejut setelah keluar dan baru berjalan hanya beberapa menit saja terlihat beberapa orang sedang jalan-jalan di depan rumah. Kebetulan hari ini hari minggu jadi banyak orang yang menghabiskan waktunya dengan berolahraga di depan rumah. Ada yang bersih-bersih juga.
Arini melihat ada gapura tinggi yang membatasi antara kompleks rumahnya dengan jalan raya. Arini tanpa pikir panjang langsung berjalan keluar dari kompleks rumahnya.
"Rame banget. Banyak yang sedang sepeda-sepedaan."Arini melihat beberapa orang berlalu lalang naik sepeda.
Arini terus berjalan dan tidak tahu tujunnya pergi kemana. Sejauh mata memandang tidak ada toko sayur di pinggir jalan. Masak iya dia harus pergi ke pasar dengan keadaan yang hamil itu. Ditambah lagi dia tidak tahu dimana lokasi pasarnya. Kalau saja dia tahu lokasi pasarnya dan jaraknya tidak terlalu jauh pasti akan ditempuhnya.
"Bu permisi mau tanya. Pasar disini itu dimana ya?"Arini bertanya pada seorang ibu yang melintas di depannya.
"Kamu mau ke pasar?"ibu tadi malah menatap Arini dengan ragu sambil melihat kandungannya juga. Tidak terasa usia kehamilan Arini yang sudah menginjak 4 bulan ini. Perut Arini sudah nampak buncit.
"Memangnya kenapa bu?"tanya Arini dengan heran.
"Ya nggak papa sih. Cuma kamu kan sedang hamil muda. Soalnya jarak pasar dari sini lumayan."ibu tadi nampak memperhatikan kondisi Arini dari bawah sampai keatas.
"Lha gimana lagi bu. Tukang sayur disini nggak ada yang lewat."Arini murung.
"Kalau tukang sayur keliling mah nanti lewatnya mbak. Kalau mbaknya mau belanja sayur, bisa ke toko seberang sana." ibu tadi menunjuk kearah seberang jalan.
"Oh itu ya bu."Arini mengikuti arah telunjuk ibu tadi. Terlihat ada toko kecil yang sedang dikerubungi ibu-ibu disana. Ternyata itu adalah warung sayur.
"Ya mbak. Jadi mbaknya nggak usah ke pasar. Lagian suami mbaknya kemana sih. Kok nggak mau ngantar. Istri sedang hamil kayak gini."ibu tadi merasa tidak tega melihat Arini harus jalan kaki.
"Hehe."Arini hanya meresponnya dengan tersenyum saja. padahal dalam hatinya dia merasa sedih juga karera saat selama dia mengandung Panji tidak pernah ada disampingnya.
Arini melihat suasana jalan sampai terlihat sepi baru dia menyeberang jalan. Setelah menunggu beberpa detik, Arini melihat jalanan sudah sepi dari kendaraan. Dia segera melangkah ke jalan untuk menyeberang. Saat hampir tiba di ujung jalan, tiba-tiba ada mobil mengerem mendadak di sampingnya.
Cettt
Bunyi ban mobil berhenti mendadak. Arini sampai menutup kedua telinganya karena saking kerasnya bunyi mobil tersebut ketika harus bergesekan dengan aspal jalan. Bahkan ibu-ibu yang sedang berkerumun di warung sampai menengok kearah jalan raya.
"Hei kamu. Kalau nyeberang jalan hati-hati dong."Arini langsung menoleh kearah sumber suara yang terdengar dari dalam mobil.
"Alena."ternyata yang hampir menabraknya adalah Alena. Arini langsung melirik samping tempat duduk Alena. Jantung Arini serasa copot dan berhenti berdetak saat kedua matanya saling beradu pandang dengan cowok di dalam mobil. Dia mengenali paras wajah cowok itu.
"Arini."Alena baru sadar kalau yang hampir ditabrak mobil Panji adalah Arini.
"Dia."batin Panji melotot kearah Arini yang masih berdiri dan hampir ditabraknya itu. Arini dan Panji saling adu pandang dari kejauhan.
Arini ingin berlari dari tempatnya berdiri. Tapi melihat tatapan Panji kearahnya membuat susah beranjak dari tempatnya. Dia masih ingin menatap laki-laki yang ada di dalam mobil itu. rasanya dia ingin melepas rindu yang sudah dia pendam begitu lama pada Panji meskipun hanya melihatnya dari kejauhan.
"Mbak nya nggak papa?"beberapa ibu-ibu yang sedang berbelanja tadi menghampiri Arini dan menuntunnya berjalan ke pinggir jalan.
"Hati-hati dong bawa mobilnya."teriak beberapa ibu-ibu kearah mobil Panji dan Alena. Panji terhalangi oleh beberapa ibu-ibu tadi ketika ingin melihat Arini lagi.
Tut tut
Bunyi klakson mobil dari belakang mobil Panji. Tanpa disadari Panji dan Alena, ternyata sudah mengular beberapa mobil dibelakangnya. Panji masih tidak mendengarnya karena keasyikan hendak melihat Arini dari balik kerumunan ibu-ibu disana.
"Yang ayo jalan. Kita di klasksonin dari belakang tuh."Alena menengok kebelakang mobil Panji terlihat ada mobil sudah mengantere disana.
"Eh ya."jawab Panji dengan gelagapan. Panji langsung menancap gas mobilnya. Mobil Panji sudah melaju dengan cepat meninggalkan Arini yang masih syok.
"Apa dia tadi Arini. Aku yakin dia itu Arini. Tapi kenapa dia terlihat beda."batin Panji sambil menyetir.
Setelah Arini merasa baikan, dia langsung menarik nafasnya dalam-dalam. Dia masih tidak percaya kalau hari ini dia bisa bertemu dengan Panji. Tidak hanya Panji saja tapi juga dengan Alena. Sekarang apa yang dia takutkan selama ini kejadian juga. Dia akhirnya bertemu dengan Panji ayah dari anak yang dikandungnya itu.
"Mbaknya nggak papa kan?"tanya ibu disamping Arini sambil mengelus perut Arini.
"Nggak papa kok bu."Arini menjawab dengan tersenyum agar terlihat meyakinkan.
"Takutnya nanti ada apa-apa sama kandungannya."ibu di depannya memandangi perut Arini yang terlihat buncit itu.
"Nggak papa kok bu. Makasih ya."
"Mbaknya mau ngapain tadi?"
"Saya mau beli sayur bu."
Selesai berbelanja, Arini langsung pulang menuju ke rumahnya. Selama perjalanan Arini tidak bisa berhenti memikirkan Panji dan Alena. Tapi yang tidak bisa membuatnya lupa hanya wajah Panji ketika menatapnya tadi. Meskipun hanya sebentar saja mampu membuat Arini terngiang-ngiang terus.
"Kamu tahu nak, tadi ayahmu hampir menabrak kita."tangan Arini mengelus perutnya sedangkan tangan yang satunya menenteng plastic yang berisi sayur-sayur. Dia berjalan hendak pulang ke rumah.
Walaupun anaknya tidak bisa merespondnya tapi Arini sudah lega ketika mengajaknya bicara. Dunia ini serasa sempit sekali dia sudah pergi kemana saja akhirnya bertemu dengan Panji juga. Kemungkinan besok-besok dia akan bertemu dengan Panji di lain waktu.
"Kalau memang ayahmu baik dan tanggung jawab, pasti suatu saat nanti dia akan kesini nak untuk menemuimu."Arini berat sekali mengucapkannya. Dia ragu kalau Panji akan bertanggung jawab pada kehamilannya.
Sesampainya di rumah Arini langsung merasa capek sekali setelah berjalan tadi. Dengan cepat dia langsung duduk di sofa. Semua barang belanjaannya diletakkan dibawah.
"Dia begitu tampan sekali."Arini tidak sadar dengan ucapannya barusan. Pikirannya masih mengingat wajah Panji yang sedang menatapnya dari dalam mobil.
Panji memang sudah lama lama dikenal sebagai pengusaha mudah dengan paras wajah tampan. Namun dia juga dikenal sebagai laki-laki yang dingin dan cuek. berkat ketampanan dan kesuksesannya itu mampu menyir beberapa kaum hawa sudah mengantre untuk dijadikan istri. Yang disukai dari Panji itu adalah jika sudah mencintai seorang perempuan maka dia tidak akan berusaha beralih ke hati lagi alias playboy.
"Kalau kamu nanti laki-laki semoga kamu bisa seperti ayahmu nak."Arini mengelus perutnya lagi sambil berharap kalau anaknya laki-laki.
"Maafin mamah nggak bisa mempertemukan kamu dengan ayahmu sekarang ya nak."Arini mulai meneteskan air matanya. dia tidak bisa membayangkan bagaimana perihnya jadi anaknya harus dipisahkan dengan ayah kandungnya.
Arini tidak pernah ada rasa dendam pada Panji. Meskipun Panji telah membuat keadaanya seperti ini. Justru dia kini malah yang merasa bersalah karena telah menjauhkan anaknya dengan ayah kandungnya sendiri. Hanya saja anggapannya itu yang membuatnya mengambil keputusan seperti sekarang.
"Mamah hanya menuruti apa yang menurut mamah itu baik nak. Mamah takut kalau ayahmu tahu dan tidak menginginkanmu. Bukan hanya ayahmu yang nggak mau tapi keluarganya yang kaya itu juga."Arini menyeka air matanya yang sudah tidak terkendali jatuhnya.
"Tapi mamah sudah pasrah sekarang. Kalau suatu saat nanti ayahmu datang dan menanyakanmu maka mamah akan memberitahunya. Semoga ayahmu menerimamu ya nak."entah kenapa dalam hati Arini berbicara kalau Panji bakal tidak menerima kehadiran bayi yang tengah dikandung Arini itu.
Di tempat yang berbeda, terjadi kebingungan antara Alena dan Panji. Sekarang Panji tidak fokus menyetirnya karena masih kepikiran Arini yang hampir ditabraknya tadi. Sudah lama dia tidak pernah berjumpa dengan Arini. Alena tidak menyangka kalau hari ini dia bisa bertemu dengan Arini, wanit ayang pernah membuatnya cemburu gara-gara Panji pernah membelanya.
"Yang kamu tadi lihat nggak, perut Arini terlihat buncit."pikiran Alena mengarah kearah wanita yang sedang hamil. Panji masih melamunkan Arini jadi pembicaraan Alena tidak diresponnya.
Selama Arini pergi, hubungan Panji dengan Alena tambah mesra saja. Bahkan mereka dikabarkan akan segera menikah dalam waktu dekat. Sebenarnya Panji masih belum ingin menikah apalagi usianya yang masih muda yaitu 23 tahun. Dia masih ingin menghabiskan masa mudanya yang telah sukses itu. Tapi mau gimana lagi keluarga besarnya dan Alena telah menuntutnya untuk segera menikahi Alena. Berhubung Alena adalah wanita yang sangat dicintainya jadi dia menuruti permintaan Alena untuk segera menikahinya.
"Yang!"Alena menoleh kearah Panji dan menggoyangkan lengan kiri Panji.
"Iya yang."
"Kamu kenapa kok melamun?"tanya Alena sambil menoleh kearah Panji.
"Kan aku sedang nyetir mana mungkin aku bicara sama kamu."Panji mencari alasan. Alena nampak percaya saja karena kalau dipikir-pikir omongan Panji benar juga.