Ini sudah semakin sore, tapi Nyonya Diana juga belum pulang. Bahkan Panji yang biasanya pulang kerjanya jam 4 sore kini terlihat molor juga. Dan Arini juga sudah menunggu Alena sedari tadi untuk menyerahkan kotak merah kepada Alena tapi malah tidak kunjung datang. Jadi dia kini hanya duduk sendirian di rumah sambil menunggu kedatangan mereka semua.
Arini menunggu mereka semua sambil istirahat di dapur sambil memegangi kotak merah itu. Kebetulan semua pekerjaannya telah diselesaikannya. Dan kini tinggal pekerajaan yang terkahir yaitu menyerahkan kotak merah itu kepada Alena. Sebenarnya sedari tadi dia juga penasaran dengan apa isi kotak merah itu.
Kalau dilihat dari luarnya saja kotak merah itu sangat cantik sekali. Dan kemasaannya juga terlihat elegan. Dia menduga kalau di dalamnya terdapat sesuatu yang berharga misalnya seperti berlian. Ingin rasanya dia membukanya tapi dia sadar itu bukan miliknya jadi dia tidak membuka kotak itu.
"Pasti di dalamnya ada sesuatunya."batin Arini sambil mengamati dan membolak-balikkan kotak itu dengan pelan. Dari covernya saja Arini sudah terpesona dengan warna dan bentuk kemasannya. Apalagi kalau dia tahu isinya pasti akan tambah terpukau lagi.
Setelah beberapa menit kemudian, terdengar ada suara bunyi klakson mobil. Arini sudah paham dengan suara bunyi klaskson itu. Kebetulan bunyi klakson mobil Panji dan Nyonya Diana itu berbeda. Klakson yang dia dengar sekarang adalah suara klakson mobil Panji. Arini langsung bangkit dari kursinya dan meletakkan kotak merah itu di atas meja dapur.
Arini melangkah ke pintu depan untuk membukakan pintu. Saat pintu terbuka Alena sudah berdiri tepat di depan pintu. Arini terkejut ketika yang dia tatap pertama kali adalah Alena dan bukan Panji. Alena menatap Arini dengan sinis.
"Mana kotak merahnya?"Alena langsung mengatungkan tangan kanannya kearah Arini.
"Ada di dalam mbak."Arini menunjukkan dimana kotak merah itu sekarang. Mereka berdua berjalan masuk kedalam rumah. Arini menuntun Alena masuk menuju dapur. Arini mengambil kotak merah itu dan langsung diserahkan kepada Alena.
"Hmmm."Alena menatap sinis kearah Arini. Bukannya berterima kasih kepada Arini karena telah menjaga kotak itu malahan langsung mengambilnya saja dan tidak lagi menghiraukan keberadaan Arini yang masih berdiri di depannya.
Karena Alena sendiri sudah tidak sabar melihat isi kotak yang dibeli oleh Panji jadi dia langsung membukanya dihadapan Arini langsung. Kedua mata Arini tidak bisa berhenti menatap kearah kotak tersebut karena memang sedari tadi dia juga penasaran dengan isinya.
"Aku iming-imingi aja dia."batin Alena saat membuka kotak itu. Kebetulan Alena melihat Arini sedang menyoroti kotak merah yang dipegangnya itu tanpa henti. Dia berniat ingin pamer dihadapan Arini.
"Ini apa. Kok Cuma satu. Pasti kamu sudah mengambilnya kan. Ngaku."tiba-tiba setelah kotak merah itu terbuka ternyata isinya adalah cincin berlian. Menurut Alena cincinnya seharusnya ada dua. Tapi ini malah cuma satu. Dan Panji sendiri kemarin juga sudah meberitahunya kalau telah membeli sepasang cincin berlian untuk mereka berdua.
Tanpa pikir panjang Alena langsung menuduh Arini karena yang terkahir memegang kotak itu adalah Arini. Padahal kalau dilihat dari kemasannya sebelum dibuka tadi, kotak tadi masih tersegel jadi kemungkinan besar belum ada orang yang membukanya lebih duluan dari Alena.
Arini terkejut melihat dirinya yang tidak tahu apa-apa tapi tiba-tiba langsung dituduh mencuri. Kejadian seperti ini lah yang dulu pernah ditakutkannya. Kalau ada barang yang hilang di rumah majikan pasti sasaran ke pembantu tidak bisa dielakkan.
"Mengambil.'Arini terkejut ketika dirinya tiba-tiba dituduh.
"Ya. Kalau nggak kamu terus siapa lagi. Ini itu seharusnya ada dua."suara Alena mulai meninggi. Jujur Arini juga ikut marah karena telah dituduh. Padahal dirinya hanya bertugas menjaganya saja. Dan tadi dia juga tidak membukanya sedikitpun lalu bagaimana barang yang didalam bisa hilang dan dia yang dituduh mengambilnya.
"Dasar pembantu.Kamu ngaku aja deh. Orang seperti kamu mana mungkin nggak pengen sama cincin seperti ini."Alena mulai maju kearah Arini dan memaki-maki Arini. Arini dengan susah payahnya menjaga emosinya agar tidak meledak saat digitukan Alena.
"Nggak mbak. Saya nggak ngambil."Arini membela diri dan berusaha menahan emosiya.
"Udahlah ngaku aja."tiba-tiba Alena mendorong tubuh Arini kebelakang dengan kasar. Setelah dorongan Alena mengenai tubuh Arini,tiba-tiba tubuhnya serasa melayang kebelakang dan dia tidak bisa mengendalikan tubuhnya yang akan jatuh. Arini berusaha menggerakkan kedua tangannya untuk menyangga tubuhnya saat menapak di lantai.
"Awww."
Arini merintih kesakitan ketika tangannya mendarat di atas meja dan mengenai pisau. Dia tidak menyangka kalau di atas meja ada pisau yang tajam dan mengenai tangan kirinya. Alena terkejut ketika Arini terkena sayatan pisau di tangannya karena sebelumnya dia juga tidak tahu kalau dorongannya itu membuat Arini harus mendarat di meja makan danterkena tajamnya pisau. Tapi karena rasa kesal masih menguasainya jadi saat melihat Arini kesakitan, hatinya menjadi senang sekaligus puas. Itu pantas didapatkan Arini karena telah berani mengambil cincin mahal itu.
Alena tidak peduli dengan Arini yang sedang meringis kesakitan itu. Rasa sakit pada tangannya berusaha dia tahan walaupun masih terasa perih sekali. Arini tidak menyangka kalau kejadian seperti ini akan menimpa pada dirinya.
"Itu lah balasannya kalau mengambil bukan miliknya."Alena masih saja menyalahkan Arini. Padahal Arini bukan pelakunya dan tidak ada bukti kalau Arini lah pencurinya. Arini membiarkan Alena terus menuduhnya. Hanya dengan begitu yang bisa dia lakukan. Kalau dia jelaskan bahwa dirinya bukan pencuri percuma saja karena Alena sudah terlanjur benci dengannya. Ditambah lagi rasa sakit pada tangannya jadi dia hanya bisa fokus sama lukanya.
Dengan teganya setelah memaki-maki Arini, kini Alena malah pergi begitu saja meninggalkan Arini yang masih kesakitan dan butuh pertolongan. Alena sudah tidak peduli dengan keadaan Arini walaupun dia sendiri juga merasa bersalah atas luka yang di derita Arini sekarang..
"Sayang ini cincinnya diambil Arini yang satunya."tiba-tiba Alena menghampri Panji yang sedang duduk di sofa ruang tamu dengan ekspresi kesal. Panji bingung kenapa Alena datang-datang mukanya terlihat ditekuk begitu kayak habis marah.
"Diambil gimana?"Panji langsung bangkit dari kursi dan merebut kotak merah dari tangan ALena.
"Ini seharsnya dua kan. Buat aku sama kamu. Nah ini tinggal satu aja. Pasti diambil dialah."Alena memanyunkan mulutnya kearah dapur. Panji seketika tambah bingung kenapa Alena malah menunjuk kearah dapur.
"Emang kemarin aku pesannya dua. Tapi yang punyaku ukurannya kekecilan jadi aku batalkan dan aku pesan lagi. Cuma jadinya nggak bisa sekarang. Kayaknya nunggu satu minggu lagi. Jadi untuk sementara aku ambil dulu karena kemarin aku udah janji sama kamu mau beri hadiah sekarang kan "kata Panji berusaha menjelaskan kenapa cincinnya hanya satu.
"Oppsss."Alena menutup mulutnya. Dia salah meuduh orang.
"Aku kira diambil Arini sayang."Alena keceplosan dan mengaku.
"Ya nggak lah. Terus kamu apain dia?."Panji menaikkan lengan kemejanya.
"Liat aja sendiri,"Alena merasa bersalah setelah apa yang dilakukannya pada Arini. Panji penasaran dengan apa yang dilakukan Alena kepada Arini di dapur. Alena tidak mau menjelaskan detail jadi terpaksa Panji harus melihatnya sendiri.
Setibanya Panji di dapur, terlihat Arini yang sedang memegangi tangan kirinya, Panji mendekati Arini. Saat jaraknya sudah dekat, Panji melihat ada kucuran darah segar dari tangan Arini. Panji langsung menoleh kearah Alena berharap Alena tidak yang melakukanya. Saat Alena ditatap Panji, seketika dia langsung mengangkat kedua tangannya pertanda tidak tahu. Panji langsung paham dan megerti apa yag terhadi. Pasti luka di tangan Arini itu akibat ulah Alena.
Panji langsung menarik tangan kiri Arini. Lukanya langsung ditutupi dengan dasinya agar darah tidak keluar terus menerus. Arini terlihat masih menangis dan tatapannya sedang menatap kearah Panji. Alena hanya memandanginya dari kejauhan. Dia iri ketika melihat Arini mendapatkan perhatian dari pacarnya itu. Arini tidak bergerak sedikitpun saat tangannya sedang diperban dengan dasi Panji. mungkin hanya merintih saja yang bisa dilakukannya saat menahan rasa perih di tangannya.
Panji sengaja menutup luka di tangan Arini dengan dasinya agar darah segarnya tidak keluar terus. Nanti kalau darahnya sudah berhenti mengalir, baru dia akan mencari kotak P3k untuk mengbati luka Arini.
"Kamu duduk disini dulu."Panji menuntun tubuh Arini untuk duduk di kursi dulu, Sementara Panji pergi ke lamari kecil yang biasanya digunakan untuk menyimpan kotak P3k. Sedangkan Alena hanya memandanginya dari kejauhan tanpa membantu sedikitpun.
"Kamu itu ya. Nggak tanya-tanya dulu malah nuduh orang sampai begini."Panji memarahi Alenas saat melewati Alena yang masih berdiri mengamatinya. Kemudian Panji melepaskan dasinya dan mengobati luka Arini dengan obat dan diperban.
Melihat Panji yang terus saja mengobati Arini, Alena malah dibuat kesal sendiri. Dan kehadirannya sudah tidak dihiraukan lagi oleh Panji. Jadi tanpa pamit dulu Alena malah langsung pergi dengan memndam rasa kesal bertumpuk-tumpuk,