Petra berjalan menuntun kudanya kembali ke Base dengan wajah kecewa dan lelah dengan semua ketegangan tadi bersama Levi. Diam-diam mengutuk Nanaba karna membuatnya berharap lebih. Meski begitu, ia lega karna hubungannya dengan Levi baik-baik saja. Ia selalu meyakinkan dirinya bahwa ini yang terbaik dan yang mereka inginkan. Atau setidaknya itu yg Petra harapkan.
Ia berjalan menuju Base utama ketika matanya tertuju pada seseorang di atas menara pemantau timur. Ia mengenal sosok itu dan segera menghampiri nya ke atas sana. Enka disana, yang kelihatannya belum menyerah, masih bersiul menatap langit yang mulai memerah. Seolah tahu Petra akan datang, ia menoleh kearah pintu dengan senyuman.
"Jadi?" Tanyanya.
Petra tersenyum kecil, mendesah karna ia tahu Enka akan menanyakan nya, sebelum akhirnya menghampiri Enka. Petra duduk di tumpukan kotak kayu di belakang Enka.
"Dia bilang aku seperti ibunya."
Enka menaikan satu alisnya, heran.
"Maaf, aku tidak mengerti."
"Dia menolak ku." Jelas Petra pedih seolah baru saja menabur garam di luka terbukanya. "Yah, bukan berarti aku berpikir ia akan menerima ku juga."
"Aw.." Gumam Enka. Ia menghampiri Petra dan duduk di sisinya. "Jadi kau menyatakan perasaanmu pada seseorang, eh?"
"Ya." Jawab Petra spontan, namun berhenti, berpikir ulang. "Tidak. Aku tidak melakukan nya."
"Okay..?" Enka menatap Petra bingung.
"Aku bilang aku tidak serius saat aku mengatakan nya. Dan tadi dia bilang sebaiknya kita melupakannya, jadi.." Petra melirik Enka khawatir dan menunggu dirinya dihakimi, namun Enka tetap diam menunggu nya selesai bicara. Petra menarik nafas dalam "kurasa ini yang terbaik"
Enka mengambil waktu sejenak untuk berpikir selagi menyandarkan punggungnya pada tembok di belakangnya.
"Okay, pertama, mengatakan kau tidak serius setelah menyatakan perasaanmu itu bodoh. Kedua, kalian sudah memutuskan untuk tidak memperpanjang ini jadi, yasudahlah." Enka mengangkat bahunya santai. "Tapi kau yakin ini yang kau inginkan?"
Petra mengerutkan alisnya bingung. "Maksudmu?"
"Kau ingin membiarkan perasaanmu tergantung selamanya?"
"Ia terlihat kesulitan dengan kenyataan itu.." Petra tertunduk seolah keyakinan nya yang sejak tadi di bendung, roboh begitu saja. "Selain itu aku tidak yakin ia memiliki perasaan yang sama denganku."
"Kau tidak yakin?"
"Dia mengatakan aku seperti ibunya."
"Maksudmu dia tidak menyukai ibunya?"
"Maksudku tidak mungkin ia mengencani ibunya."
"Tapi kau bukan ibunya. Dan ia menyukaimu seperti ia menyukai ibunya."
"T-tetap saja.." Petra mulai kehilangan keyakinan. Petra tahu Enka mencoba memancingnya, namun di lubuk hatinya Petra merasa apa yang Enka katakan ada benarnya.
"Selain itu apa yang membuatnya mengatakan kau seperti ibunya? Apa orang ini masih di bawah umur jadi kau tidak bisa mengencani nya?"
"Tentu saja tidak!" Petra menjawab spontan Ddn keras. Membuatnya malu begitu ia sadar bahwa ia sudah terpancing. "Pokonya itu tidak seperti yang kau pikirkan" Lanjutnya dengan nada lebih pelan.
Enka hanya tertawa. "Apapun itu, kalian sudah membuat keputusan. Aku hanya berharap kalian tidak menyesal."
Petra terdiam. Apa yang di katakan enka entah bagaimana cukup memukulnya. Tentu saja dia tidak ingin terjebak dalam penyesalan, namun ia juga tidak ingin membuat Levi terganggu. Melihatnya muram hari ini sudah membuat Petra menyesali perbuatannya. Tapi, sampai kapan ia harus menyimpan perasaan nya? Apa bahkan ia punya cukup banyak waktu untuk itu?
"Bagaimana denganmu?" Tanya Petra mencoba mengalihkan pikirannya.
"Kurasa aku menyerah." Balas Enka tersenyum memandang langit. "Sebenarnya aku sudah tahu sejak siang tadi ia tidak menjawab panggilanku, namun aku masih menolak untuk menerima." Ia sedikit terkekeh sebelum melanjutkan "Setelah omongan besar yang kukatakan padamu siang tadi, aku merasa bodoh, jadi aku memutuskan untuk menenangkan pikiranku. Dan kurasa aku sudah menerima nya sekarang."
Petra menatap Enka sedikit bersalah, namun wajah menunjukan perasaan lega.
"Secepat itu?" Tanya Petra heran.
"Waktu tidak menentukan seberapa besar dan kuat ikatan kalian. Aku mengiklaskan nya bukan karna hubungan kami tidak berharga. Sebaliknya, aku ingin ia pergi dengan tenang."
Petra menatapnya terdiam sebelum mengalihkan perhatiannya ke arah lain, merasa malu dengan pemikiran egoisnya setelah melihat betapa Enka bisa mengiklaskan temannya. Sejujurnya ia sendiri tidak yakin mana hal yang terbaik untuk dilakukan. Apapun yang ia pilih akan terdengar egois untuknya. Ia baru saja menyadari bahwa Levi tidak menginginkan hubungan yang lebih dekat karna rasa takutnya, namun di sisi lain Petra tidak ingin menyesal. Ada perasaan takut di sudut hatinya, bagaimana jika perasaan itu tidak pernah tersampaikan? apa ia yakin ia akan memiliki hati yang cukup lapang untuk itu? jika Levi memiliki perasaan yang sama dengannya, mungkin akan lebih baik jika ia tetap diam.
Enka melirik kearah Petra. Matanya kosong seolah ia tidak di sampingnya. Enka sedikit terkekeh dan menepuk kepala Petra lembut selagi mengangkat dirinya dari sisi Petra.
"Ayolah. Aku tidak mengatakan yang kau lakukan salah. Aku hanya ingin memastikan kau tidak menyesal."
Petra menatap Enka kembali. Sedikit berpikir. "Aku tahu. Aku hanya tidak yakin apa aku tidak akan menyesalinya."
"Kalau begitu tenangkan pikiranmu. Terkadang memikirkan diri sendiri sebelum orang lain pun perlu." Itu senyum terakhir Enka yang Petra lihat hari itu sebelum dirinya menghilang ke balik pintu, kembali menuju asrama, meninggalkan Petra sendiri untuk berpikir. Namun bahkan hingga langit menghitam, Petra masih belum menemukan jawabannya. Di sisi lain Petra sadar besok adalah hari Ekspedisi. Entah mengapa rasa takutnya semakin menjadi-jadi.
***
Belum lama matahari muncul, namun Recon Corps Sudah disibukan dengan segala persiapan. Beberapa dari mereka sedang mempersiapkan kuda mereka. Beberapa yang lainnya mengangkut supply dan alat lainnya kedalam kereta. Disisi lain Special Squad minus Levi sedang melakukan briefing terakhir untuk Eren. Sementara Eld menjelaskan formasi dan rute yang akan mereka ambil, Petra menatap mereka dengan tatapan kosong. Masih memikirkan hal yang baiknya ia lakukan walau ia sadar ia sudah kehabisan waktu untuk berpikir dan berakhir tidak melakukan apa-apa. Pemikiran itu membuatnya takut.
"kita berangkat ke distrik Karanese." Suara Levi muncul dari belakang mereka, membuat Petra sedikit melompat.
"Karanese?" Tanya Eren bingung.
Terlihat Petra masih mengelus dadanya dan wajah Levi yang heran menatap Petra yang pucat.
"Karna gerbang Trost masih dalam perbaikan, kita akan pergi dari Karanese." jelas Eld.
"Kita harus berangkat lebih pagi karna itu, tidak ada waktu untuk briefing ke-dua disana jadi kuingatkan sekali lagi sekarang. Utamakan nyawa kalian. Terutama untukmu, Eren. Jika kau mati atau tertangkap, Recon Corps akan tamat." Levi menatap tajam Eren dan pergi sebelum mendapat jawaban dari mulut Eren karna Levi sudah melihat ketegangan di mata Eren bahkan sebelum Ekspedisi di mulai. Mungkin ia tidak sebodoh itu untuk bertarung dengan titan sendirian.
Mereka semua bergegas kembali untuk mengambil kuda mereka. Sementara Petra menatap punggung Levi yang menjauh, masih ragu apa ia harus memanggilnya. Tapi apa yang harus ia katakan? Begitu punggung Levi semakin menjauh, Petra akhirnya menyerah. Ia sudah kehilangan kesempatannya. Karna itu ia beranjak pergi menyusul yang lain ketika suara Levi menggapainya.
"Jika kau tidak berniat bunuh diri, fokuslah." Ucap Levi. Levi tidak menoleh pada Petra, namun Petra tahu ia bicara dengannya. Kata-katanya memang bukan yang termanis, namun ia sadar bahwa itu cara Levi mengkhawatirkannya. Hal yang Petra sukai darinya.
Petra tersenyum kecil. Lebih terlihat seperti menahan tangis. Entah apa yang membuat emosinya meluap-luap. Ada rasa yang ingin ia katakan dengan keras, namun bibirnya tak sanggup untuk bicara. Pada akhirnya ia hanya tersenyum.
"Aku tidak ingin bunuh diri." Gumam Petra. Levi menoleh pada suara lemah Petra. Ia menghapus sedikit air matanya sebelum menatap Levi dengan yakin. "Sku hanya ingin terus berada di sisimu, selama yang aku bisa."
Saat itu, angin berhembus kencang. Senyuman Petra tidak pudar. Seolah mengatakan pada Levi bahwa apa yang ia katakan adalah benar. Bahwa itulah hal paling ia inginkan.
Begitu Levi sadar, ia berada dalam Hutan Pohon Raksasa, mengejar sumber suara yang ia yakin berasal dari Eren yang berubah menjadi titan. Saat itu ia tahu, sesuatu terjadi dan misi telah gagal. Untuk beberapa alasan, di saat genting seperti ini, bayangan pagi itulah yang terlintas di benak Levi. Jantungnya berdetak cepat karna tenaga yang keluar untuk mengendalikan 3DM dan rasa takut. Tangannya basah karna keringat, namun ia memastikan jarinya tidak terselip.
Menurut perhitungannya, seharusnya ia sudah tiba dekat dengan sumber suara. Berharap lebih dari apapun bahwa mereka semua baik-baik saja, namun ia tahu itu hanya pikiran naif. Semakin dekat, jantungnya makin berpacu. Ia melihat sebuah siluet yang tergantung di pohon. Berpikir untuk memeriksanya, namun ia terlalu takut. Ia memotong jalannya dan berbelok ke arah sumber suara. diam-diam bergumam "satu" dalam hatinya meski ia tidak ingin mengakuinya.
Ia berjalan lebih dalam ke hutan dan melihat sepotong tubuh di rumput di bawahnya. Lagi-lagi ia menolak untuk melihatnya karna takut. Bukan takut dengan mayat. Ia tidak ingin melihat wajah orang yang selalu bersamanya dalam keadaan tak benyawa. Mata gelap tak bercahaya yang membuatnya merinding dan ingin berteriak. Dan hatinya lagi-lagi bergumam "dua"
Potongan lain di rumput dan ia melanjutkan hitungannya hingga ia hinggap di sebuah pohon. Akhirnya tidak bisa lari kemanapun untuk melihat yang terkahir. Tubuh yang paling tidak ingin ia lihat dalam keadaan Tak bernyawa. Tubuh itu terpaku di dasar pohon. Matanya gelap tak bercahaya. Terdapat bekas darah yang keluar dari mulut dan hidungnya. Dilihat dari posisinya, kelihatannya tulang punggung, leher Dan organ dalamnya hancur. Tidak ada kesempatan untuknya hidup. Pipinya masih merona menandakan bahwa itu terjadi belum lama. Akhirnya Levi bergumam "empat".
Saat itu yang Levi pikirkan adalah ini semua sudah berakhir. Misi ini, hidup mereka. Namun tidak untuk hidupnya. Benar. Ia akan melanjutkan misi ini dan mencegah mereka mati sia-sia. Setidaknya itu yang orang ini, Petra, katakan padanya.
Ia segera pergi meninggalkan tubuh yang kaku itu, mengikuti jejak pepohonan yang rusak di sekitarnya untuk mencari keberadaan Eren. Berharap ia belum sepenuhnya terlambat. Pada saat itulah ia menemukan seorang prajurit yang sedang mengejar titan wanita. Ia tidak melihat Eren dan itu membuatnya cukup khawatir. Prajurit itu memiliki gerakan yang luar biasa. Terlihat seperti seorang senior, namun jika ia perhatikan lebih dekat, Prajurit itu hanya seorang anak-anak. Sekitar seumuran dengan Eren. temannya? pikirnya.
Prajurit itu lengah dan hampir mendapat pukulan dari titan wanita, namun ia berhasil menghindar. Dengan itu, titan wanita hendak kabur dan prajurit itu hendak mengejarnya lagi ketika Levi menghentikannya. Prajurit itu seorang wanita. tterlepas dari seberapa hebat dia. Gadis itu tampak tidak senang saat Levi datang untuk menghentikannya. Levi tidak menghiraukannya dan terus menggali informasi dari gadis itu selagi mereka mengikuti titan wanita dari belakang. Hal yang mengganggu dari gadis ini adalah bagaimana ia menatap Levi dengan kesal.
"Kalau saja kau melakukan tugasmu dengan benar untuk melindungi Eren, ini tidak akan terjadi." Gumam sang gadis. Sama sekali tidak terlihat menahan dirinya.
Dan untuk beberapa alasan, ucapannya cukup berdampak pada Levi. Levi memandang gadis itu, dan gadis itu tidak memperlihatnya wajah takut atau enggannya pada Levi.
"Kau.. teman Eren yang ada di persidangan, bukan?" tanya Levi memastikan. Namun gadis itu memilih diam. "Begitu.." Gumam Levi pada akhirnya.
Sekarang ia mengerti kenapa gadis ini sangat keras kepala ingin menyelamatkan Eren. Dan untuk beberapa alasan, ia memiliki perasaan yang sama. Terlebih ucapan gadis itu, yang menyalahkan Levi, membuatnya tertampar di muka. Ia tidak bisa menyangkalnya. Bahwa tertangkapnya Eren dan kematian tim-nya adalah bagian dari kesalahannya. Lagi-lagi, ia salah mengambil keputusan. Dan gadis ini, ia mencoba melakukan yang terbaik agar tidak menyesal seperti dirinya. Mencoba melindungi seseorang yang berarti untuknya hingga akhir. Entah bagaimana, ia bisa merasakan apa yang dirasakan gadis ini. Seolah ia dapat melihat sosoknya pada gadis ini.
"Kita pertaruhkan segalanya untuk merebut Eren kembali." Levi akhirnya membuat keputusan.
Gadis itu memandang Levi bingung. Baru beberapa saat yang lalu ia meminta untuk mundur. Namun tatapan Levi saat ini begitu yakin.
"Kau alihkan perhatiannya. Aku akan memotong-motong tubuhnya." Lanjut Levi. Gadis itu hanya bisa terdiam. Mata Levi jelas berubah. Seolah ia baru saja membangunkan monster dalam tubuh Levi. Mata Levi tajam dan telihat haus darah. Tapi karna Levi menuruti keinginannya, ia pun melakukan apa yang levi perintahkan. Dan benar saja, begitu kesempatan untuk menyerang titan wanita terbuka, Levi terbang dengan kecepatan kilat. Kecepatan yang bahkan ia sendiri mungkin tidak bisa menandinginya. Ia bisa melihat mata Levi yang penuh amarah dan kesedihan. Seolah ia sedang melampiaskan perasaannya. Levi terlihat seperti iblis yang berdansa di tengah cipratan darah. Gadis itu tertegun. ini pertama kalinya ia melihat seseorang bergerak seperti itu.
Hingga akhirnya Levi berhasil memotong semua otot di sendinya. Tersisa satu tangan di tengkuknya. Gadis itu mengambil kesempatan untuk menyerangnya karna kedua matanya masih belum pulih, namun tidak di duga titan itu mengetahuinya dan hampir meremas gadis itu di tangannya. Namun Levi lebih cepat. Ia menyelamatkan gadis itu dan di saat yang sama merobek mulut sang titan hingga Eren akhirnya keluar. Levi mengambil Eren dan memerintahkan untuk mundur. Bukan karna tidak bisa membunuh titan itu, tapi kakinya terkilir saat menyelamatkan gadis itu. Karna Eren sudah di tangan, gadis itu tidak memiliki hal lain untuk di complain dan mengikuti arahan Levi.
***
Eren segera di serahkan pada tim medis begitu mereka tiba di Base di luar hutan raksasa yang sudah di Setting. Gadis itu ikut bersama Eren. Beberapa orang masih keluar masuk hutan untuk mengambil jasad yang masih bisa di selamatkan. Levi memberitahu posisi Tim-nya di dalam hutan agar mereka segera mengefakuasi jasad mereka. Itu tidak lama sampai Erwin datang menghampirinya.
"Apa yang terjadi?" Tanya Erwin.
Levi diam sejenak, menatap wajah Erwin. Masih berpikir kenapa Erwin memintanya mengisi gas ketika ia tahu titan wanita itu lari. Namun Levi membiarkan itu lewat. Ia masih mempercayai setiap keputusan Erwin dan Erwin adalah tipe yang rela mengorbankan segalanya demi kemajuan umat manusia. Setidaknya itu yang ia percaya saat ini.
"Tim-ku tewas. Eren berubah menjadi titan, bertarung dengan titan wanita dan kalah. Aku merembutnya kembali dengan gadis tadi." Levi menuntun padangan Erwin pada Mikasa yang membantu tim medis membawa Eren. "Dia Prajurit yang berbakat."
"ah, dia teman Eren yang di persidangan." Gumam Erwin dan kembali memfokuskan dirinya pada Levi. "Lalu apa yang terjadi dengan Titan Wanita."
Levi diam sejenak. Setelah ia mengambil kembali Eren, sekilas ia melihat titan itu seolah menangis dan entah bagaimana itu sedikit mengganggunya. Namun ia tidak yakin apa harus mengatakan itu pada Erwin. "Aku tidak bisa menangkapnya. Tapi untuk sementara dia tidak bisa bergerak."
Erwin menatap Levi tajam. "Begitu.." Gumamnya. "Pergilah ke tim medis untuk merawat kakimu." Ucapnya sebelum pergi meninggalkan Levi.
Ah, jadi dia menyadarinya. Pikir Levi
Levi melirik kakinya. Tiba-tiba ia teringat bahwa orang yang selalu merawatnya ketika ia terluka bukanlah tim medis, melainkan Petra. Dan untuk beberapa alasan, ia enggan menyembuhkan kakinya. Seolah ini hukuman untuk dirinya sendiri. Tapi tentu saja luka ini bukanlah apa-apa di banding dengan banyak nyawa yang hilang. Tanpa ia sadari, ia kembali menyalahkan dirinya sendiri setelah banyak hal yang Petra katakan untuknya. Ia merasa sangat bodoh.
Tak lama, seseorang lewat dari belakangnya membawa tandu mayat. Memang banyak yang berhalu lalang membawa tandu mayat. Namun mayat yang orang itu bawa menarik perhatiannya ketika satu tangan terjatuh dari tandu dan menggelantung keluar dari kain penutup. Menunjukan tangan kecil dengan luka gigitan di sana. Tangan yang ia kenal. tangan yang belum lama ini ia sentuh. Tangan hangat itu mungkin kini sudah mendingin.
Matanya mengikuti tandu itu. mengikutinya dengan jarak aman hingga orang yang membawa tandu itu menjejerkannya dengan mayat yang lain dan pergi. Sejenak Levi terdiam. Tidak yakin apa ia harus melihatnya lagi untuk kedua kalinya. Namun ia memutuskan untuk melakukannya.
Dengan langkah yang tertatih. Sedikit menahan ngilu di tulang kakinya. Ia berusaha menggapai tandu itu. Sebaik mungkin untuk berjalan selayaknya orang normal. Hingga ia sampai di sisi mayat itu. Sangat ingin menyentuh dan membuka kainnya, namun takut di saat yang sama. Jika Petra bisa bicara, mungkin ia sudah memaksa Levi untuk menyembuhkan kakinya dan melarangnya berjalan.
Ia memandang tangan yang mulai memucat. Bekas lukanya masih jelas terlihat. Berusaha sebaik mungkin untuk tidak menyentuhnya. Ia tidak percaya bahwa hari ini akan tiba secepat ini. Dimana orang yg berarti baginya, lagi-lagi, meninggalkan nya. Mengingat kemarin ia masih bisa merasakan hawa kehidupan darinya.
Ia berlutut di sana. Sedikit ragu untuk membuka penutupnya, namun tetap ia lakukan, dengan hati-hati, merobek lambang sayap kebebasan di dadanya.
Setidaknya biarkan aku memiliki sesuatu untuk tetap mengingatmu. Pikirnya. Sedikit mengusap lencana itu dengan ibu jarinya. Ia tidak tahu jika rasanya akan begitu menyesakan.
"Kurasa lambang sayap kebebasan paling cocok denganmu, Kapten."
Sekilas bayangan Petra muncul seperti sebuah kaleidoskop. Rasanya sakit. Setelah apa yang ia katakan, Levi-lah yang menjadi orang yang mengantarnya menuju kematiannya.
Jika Petra disini, Levi yakin Petra sudah bicara panjang lebar.
"Aku ingin terus berada di sisimu, selama aku bisa."
Levi terdiam sejenak sebelum memasukan lencana itu ke dalam kantung kirinya. Sedikit menepuknya untuk memastikan lambang itu tetap disana.
Kau selalu disini. Pikirnya selagi menepuk lambang milik Petra yang ada di sana.
"Kau sudah melakukan tugasmu dengan baik." Gumam Levi selagi ia berdiri. Memandang tubuh kakunya untuk yang terakhir kalinya. "Sekarang, serahkan sisanya padaku."
"Sayap hitam melambangkan tekad prajurit yang telah gugur lebih dulu. Dan sayap putih melambangkan tekad prajurit baru yang suatu saat akan bertarung di garis depan."
Tanpa Levi sadari ia mulai meremas tangannya yang berada di dadanya.
"Jika aku harus menitipkan pada siapa lambang itu harus di beri. Kau adalah satu-satunya pilihanku. Aku percaya bahwa apapun yang terjadi, Kapten akan membawa tekadku menuju kebebasan."
Saat itu Levi bersumpah bahwa ia akan terus maju. Mereka mungkin masa lalu, namun masa kini tidak akan terwujud jika mereka tidak ada. Mereka yang hidup ada untuk tetap mengingat mereka yang gugur dan itu yang akan Levi lakukan. Bersumpah pada dirinya untuk tidak membiarkan pengorbanan mereka sia-sia. Dan itu pula yang Levi pikirkan ketika ia melihat mayat Petra di buang dari kereta kuda, menghantam tanah beberapa kali sebelum menghilang dari pandangan. Karna ada Prajurit yang bersikeras membawa mayat temannya dan berakhir membawa ikut bersamanya beberapa titan. Levi yang sedang terluka pun tidak bisa berbuat apa-apa selain mengiklaskan. Menyesal karna mereka tidak bisa mendapat pemakaman yang layak.
Ia pikir ia cukup kuat untuk itu. Ia pikir hatinya sudah lapang dan mampu berjalan maju tanpa melihat kembali ke belakang. Namun Tekadnya goyah begitu Mayat Petra dibuang. Ia berbohong jika ia tidak menyesal. Mengingat saat terakhir ia melihat Petra dalam keadaan yang menyedihkan. Ia mulai merasa panas di mata. pandangannya kabur Seolah jika sekali saja ia mengedip, air mata akan jatuh. Karna itu ia kembali melihat kedepan. Menguatkan hati dan tekadnya. Ia tidak akan melupakannya. Tidak akan selama ia masih bernafas.
Begitu suasana menenang, mereka berhenti untuk membentuk ulang formasi. Prajurit yang berniat membawa mayat temannya meringkuk jauh dari kerumunan. Bukannya kehilangan mayat temannya, ia malah membuat temannya yang lain terbunuh. Ada sedikit rasa bersalah pada dirinya. Kalau saja ia tidak terluka, mungkin ini tidak akan terjadi. Perasaan ingin melindungi teman, namun kau tidak cukup kuat untuk itu. Levi sangat tahu perasaan itu. Karna itu ia menghampirinya dan memberikan lencana Petra padanya, mengatakan itu milik temannya. Lalu prajurit itu menangis. Air Mata itu sudah cukup mewakili perasaan Levi saat ini. Seandainya ia bisa menangis seperti itu. Ia percaya bahwa prajurit itu lebih membutuhkannya. Itu yang ingin ia percaya bahwa ia baik-baik saja. Ia akan terus maju. Bahkan tanpa lencana itu, ia tidak akan melupakannya. Meski dadanya terasa sesak, ia tetap berdiri. Ia pergi sebelum prajurit itu menyadari sesuatu dalam diri Levi. Tangannya terus mengepal secara spontan untuk mengurangi rasa sakit di dadanya. Untuk mencegah air mata terbendung di matanya. Dan dengan itu ia memutuskan untuk maju, tanpa melihat kebelakang karna ia tahu, banyak harapan dari mereka yang gugur yang ia emban. Dan tugasnya lah untuk mewujudkannya sebagai bukti hidup mereka berarti.
TBC------>