Di dalam kamar, Tristan merobek baju tidur yang dipakai Haruna. Haruna terus memberontak di bawah himpitan tubuh Tristan.
"Kumohon! Lepaskan aku," ucap Haruna dengan air mata yang mengalir di kedua pipinya.
Namun, Tristan tidak juga berhenti. Setelah tubuh Haruna terbaring polos tanpa sehelai benang pun yang menempel, Tristan turun dari atas tubuh Haruna dan melangkah ke arah lemari pakaian. Ia mengambil pakaian dalam dan baju tidur yang lain dan melemparkannya di atas tubuh polos Haruna.
"Ganti bajumu! Setelah itu temui aku di kamar sebelah!" ucap Tristan. Ia melangkah pergi meninggalkan Haruna. Dengan kesal, Tristan melepas dasi yang masih melingkar di leher kemejanya. Tristan kemudian pergi ke kamar mandi dan melepas semua pakaiannya. Berendam di dalam air hangat membuat Tristan sedikit lebih tenang. Melihat leher Haruna yang membiru bekas cekikan Stevi, Tristan menjadi sangat emosi. Apa lagi Haruna tidak mau mengganti baju, padahal baju Haruna basah.
Dalam keadaan emosi, Tristan tidak ingin bicara atau menyuruh Haruna mengganti bajunya. Tristan lebih memilih melepaskan baju tidur Haruna yang basah dengan paksa. Tristan memijat keningnya karena kepalanya terasa nyeri. Ia tidak mengerti, kenapa ia sangat emosi melihat Haruna terluka. Seakan hatinya tidak rela melihat Haruna kesakitan.
"Aku pasti sudah gila. Seharusnya aku bahagia karena tujuanku balas dendam bisa terwujud. Stevi sudah membuatnya terluka, bukankah itu sama saja dengan membantuku. Akan tetapi, kenapa aku malah bertingkah sebaliknya?" Tristan bergumam lirih. Ia bingung dengan perasaannya sendiri. Tujuan awal Tristan membawa Haruna ke rumahnya karena ia ingin menyiksa Haruna, lalu kenapa ia menjadi lemah dan lupa akan tujuannya.
Tok! Tok!
Tristan membilas tubuhnya di bawah pancuran kran shower. Setelah selesai, Tristan memakai handuk kimono dan pergi membukakan pintu untuk Haruna.
"Masuklah! Duduk di ranjang!" ucap Tristan dengan tatapan dinginnya.
Haruna menuruti perintah Tristan tanpa banyak protes. Haruna tidak tahu apa yang Tristan inginkan dengan menyuruh Haruna datang ke kamarnya. Ia hanya bisa menuruti keinginan Tristan demi keselamatan keluarganya.
Tristan mengambil kotak obat dari dalam laci meja kecil di samping ranjang. "Turunkan leher bajunya!" ucap Tristan sambil membuka tutup obat salep yang dipegangnya.
"Dia ingin mengobati lukaku? Aku tidak sedang bermimpi, kan?" Haruna bertanya-tanya dalam hati. Sebuah sentuhan halus di lehernya membuat Haruna tersadar dari lamunannya. Jari telunjuk Tristan sedang bergerak mengoleskan salep di leher Haruna. Haruna sampai menahan napasnya beberapa detik karena ketakutan. Ia takut membuat kesalahan dan berakhir dengan kemarahan Tristan kembali. Ia lolos dari cengkeraman Tristan tadi, tetapi ia tidak yakin bisa lolos lagi jika sampai amarah Tristan kembali meledak.
"Apa kau ingin mati dengan menahan napas? Kau juga sengaja tidak melawan karena ingin mati bukan, tapi sayangnya kau tidak mati," ucap Tristan dengan pandangan seperti pisau tajam yang menusuk.
Haruna segera mengembuskan napasnya dan bangun dari ranjang. "Sekarang, apa aku boleh pergi?"
"Tidak! Duduk dan tunggu aku selesai memakai baju," ucap Tristan. Ia mengambil kemeja putih lengan pendek dan celana hitam. Tristan masuk ke ruang ganti dan mengganti bajunya di sana.
Haruna bernapas lega karena Tristan tidak mengganti baju di hadapannya. Meskipun Haruna bisa menutup mata, tetapi ia takut Tristan berubah pikiran dan tidak jadi memakai baju. Haruna takut kalau Tristan akan memaksanya lagi. Sampai saat ini, Haruna masih sangat ketakutan setiap kali melihat wajah Tristan.
Tristan keluar dari ruang ganti dan menarik tangan Haruna. Tristan membawa Haruna ke ruang makan. Ia menyuruh kepala pelayan untuk melaporkan keadaan Haruna selama ia di kantor.
"Em, itu … anu, Tuan." Kepala pelayan itu berkali-kali menoleh ke arah Haruna. Ia takut jika ia salah melapor, maka Haruna akan menerima siksaan lagi dari Tristan.
"Kenapa menatapnya? Aku bertanya padamu, apa Haruna sudah makan?" tanya Tristan dengan nada penuh penekanan.
"Be-Belum, Tuan," jawab kepala pelayan dengan gugup. Ia takut Tristan akan marah, tetapi jika kepala pelayan mengatakan kebohongan, hal itu akan membuat Tristan lebih marah lagi.
"Sejak pagi?" Tristan mengerutkan keningnya sambil melirik tajam ke arah Haruna.
"Iya. Sejak pagi, Non Haruna tidak menyentuh makanannya," ucap kepala pelayan. Ia mengatakan sejujurnya kepada Tristan. Namun, ia terus melirik ke arah Haruna. Kepala pelayan itu sedang memikirkan nasib Haruna. Apa ia akan dihukum lagi oleh Tristan atau tidak?
"Pergilah!" Tristan menyuruh pelayannya pergi setelah menyajikan makanan.
Haruna hanya diam tertunduk. Ia sangat tidak ingin melihat wajah Tristan. Setiap kali Haruna melihat wajahnya, rasa marah dan benci karena telah kehilangan kesucian itu pun datang. Itu sangat membuat Haruna tersiksa. Ia tidak bisa pergi meninggalkan rumah itu. Haruna pun tidak bisa pergi meninggalkan dunia ini. Keinginannya untuk mati daripada menjadi wanita murahan itu seperti selalu berbisik di telinganya.
"Makan atau akan kuhancurkan kedai ayahmu!" ancam Tristan.
Brakk!
Haruna menggebrak meja makan. Dengan mata berkaca-kaca, Haruna memaki Tristan. Ketakutan yang ada di dalam hatinya hilang saat mendengar ancaman Tristan.
"Brengsek! Kau bilang tidak akan mengganggu keluargaku jika aku ikut denganmu? Apa kau akan mengingkari janjimu, hah?!" Haruna berteriak di depan Tristan.
Namun, Tristan diam saja. Ia justru tersenyum mendengar Haruna marah-marah padanya.
"Kenapa kau tertawa? Apa mempermainkan hidup dan kebebasan orang lain adalah sebuah lelucon bagimu?" Tangis Haruna pun akhirnya pecah. Ia menangis di depan Tristan.
"Aku beri waktu lima menit untuk menangis, setelah itu kau harus makan!" ucap Tristan. Ia berlalu pergi meninggalkan Haruna di ruang makan. Tristan menganggap seolah tangisan Haruna itu sebuah lagu. Ia mendengarkannya, tetapi tidak ingin mempedulikannya. Hanya masuk telinga kanan dan keluar dari telinga kiri.
Melihat Tristan pergi. Kepala pelayan segera menghampiri Haruna dan memeluk Haruna yang sedang terisak sedih. Haruna membalas pelukan kepala pelayan dan membenamkan wajahnya di pundak kepala pelayan. Perlahan Haruna bisa menguasai diri dan berhenti menangis. Haruna merasa aneh. Pelukan kepala pelayan itu terasa sangat nyaman, sama seperti pelukan Anggi, ibu angkatnya. Padahal Haruna baru bertemu dengannya pagi ini.
"Jangan menangis lagi! Ibu sangat mengenal Tuan Tristan dengan baik. Dia tidak sejahat yang Nona pikirkan. Ibu yakin kalau Nona adalah wanita spesial bagi Tuan Tristan. Tuan Tristan hanya belum berani mengakui perasaannya," ucap kepala pelayan sambil mengusap punggung dan rambut Haruna.
Entah kenapa, Haruna merasa sangat nyaman saat kepala pelayan mengusap punggungnya. Rasanya seakan ia dipeluk oleh ibunya.
"Sekarang makanlah! Jangan sampai Tuan Tristan marah lagi," ucap kepala pelayan.
Haruna menurut dan makan beberapa suap. Saat Tristan kembali ke meja makan, Haruna pamit kembali ke kamar.
Tristan tidak menjawab, ia hanya menatap langkah Haruna yang terlihat lemah. Tristan bangun dari kursi dan langsung menghampiri Haruna. Tristan menggendong Haruna sampai ke kamar, lalu ia membaringkan Haruna dan menyelimutinya.