Jay memutar-mutar ponsel yang ada ditangannya. Matanya menatap kedepan begitu fokus. Sesekali dia menggerakkan dasinya ke kiri dan ke kanan seolah ingin melepaskan namun tak pernah terlepas. Melihat Tiara mengobrol dengan para pria membuat Jay sedikit kepanasan padahal udara di mobil cukup dingin. Kalau Jay hitung mungkin ada 3 pria disana dan 1 wanita lagi yang menemani Tiara. Sudah sejak 10 menit yang lalu Jay menunggu disana tapi Tiara belum juga masuk. Dia bilang ada hal yang sedang dia bicarakan sebentar, tapi sebentar versi Tiara begitu lama bagi Jay. Menjadi dia sebenarnya serba salah. Dia protes mungkin Tiara akan kesal. Dia tak protes mungkin Jay akan kesal sendiri. Jay kini menyandarkan kepalanya kebelakang, menatap langit-langit mobilnya.
"Apa pilihan Tiara udah bener?apa...ini yang terbaik?Tiara mungkin punya banyak pria yang mengantri untuknya. Ah...harusnya aku ga terburu-buru. Harusnya aku biarin Tiara." Jay berbicara sendiri. Pikirannya galau. Jay sangat takut jika sebenarnya dia salah mengambil langkah. Dia tak mau memenjarakan orang dalam hidupnya. Hidup dengan Jay bukan perkara yang mudah. Selama ini Tiara ingin Jay berhenti takut dengan pisau tapi Jay tak pernah menurut sementara Jay terlalu banyak menuntut Tiara ini dan itu. Jay meletakkan tangannya diatas setir. Dia melihat cincin pertunangan mereka. Rasanya memang bahagia. Sangat bahagia malah tapi...entah kenapa masih ada sesuatu yang mengganjal dihatinya dan Jay tak tahu itu apa. Mungkinkah itu prasangkanya terhadap Tiara saja atau...apa?. Apa sifat Jay yang masih seperti ini baik untuk membawa hubungan ke jenjang pernikahan?Jay meragu lagi sekarang. Dia menunduk. Kalo dipikir-pikir selama bertahun-tahun ini rasanya Jay sudah keterlaluan menyita waktu Tiara. Sejak mereka resmi berpacaran. Jay yang selalu meluangkan waktu untuk Tiara. Dia yang pindah ke Jogja agar bisa dekat dengan Tiara tapi dia tak pernah tahu apakah sebenarnya hal itu membuat Tiara nyaman atau tidak. Selama di Jogja pun Jay selalu pergi mengikuti Tiara kemana pun sampai rasanya tak ada satupun teman dalam hidupnya di Jogja selain Tiara. Kali ini Jay malah mengantar jemput Tiara terus padahal mungkin saja dia ingin memiliki waktunya dengan teman-teman. Iya...benar. Itu kenapa sekarang dia merasa tak adil saat melihat Tiara mengobrol dengan teman-temannya. Jay tak pernah memberikan kebebasan untuk Tiara dalam bergaul. Dia selalu mendekap Tiara untuk dirinya sendiri. Harusnya Jay tak berlaku seperti itu. Dia tak boleh menyamakan Tiara dengan dirinya. Mungkin hanya dirinya yang tak memiliki teman saat sekolah.
"Ah...aku bodoh soal ini." Jay memukul sendiri kepalanya dengan tangan. Sempat terbesit dalam pikirannya. Jika dia merasa nyaman dengan Tiara karena mungkin hanya Tiara yang mengerti dirinya. Mengerti keadaannya, kondisinya, kegilaannya, dan hal-hal aneh lainnya. Tiara sebagai obat penawar baginya dan tentu saja cinta sejatinya, tapi kenapa Jay sekarang malah berpikiran apakah Tiara menganggap dirinya sama?mungkinkah Tiara bersamanya karena merasa kasian?merasa iba dengan kondisinya?atau bahkan dia tak enak dengan ibunya? yang semua orang tahu adalah sahabat orang tuanya.
"Otak aku sekarang kenapa sih?." Jay mengeluh. Tak biasanya dia berpikir seperti ini. Dia lelah sekarang. Dia mengambil air minum di kursinya dan tanpa sadar menatap seorang pria yang tanpa canggung merangkul bahu Tiara. Jay segera menurunkan botol minumannya. Menelan air dengan pelan. Dia sedih. Jay memalingkan wajahnya segera, dia tak mau pemandangan itu bersarang lama di mata dan pikirannya. Dia memutar tutup botol minumannya dengan menunduk seolah benar-benar tak mau menyaksikan adegan itu lagi. Dia lebih baik tak tahu dibanding tahu dan itu membuatnya sedih atau bahkan ingin marah. Dia takut kemarahannya tak bisa dia kontrol dan malah membuat hubungan mereka kacau. Jay bersandar lagi dan mengarahkan pandangannya keatas. Andai saja kali ini dia melihat hal itu lagi mungkin dia bisa nekat menginjak gas dan menabrak lelaki itu. Ah...itu benar-benar gila. Kenapa Jay jadi memikirkan hal semacam itu?. Biasanya dia lebih memilih memukul dibanding menabrak. Suara ketukan dari kaca membuat Jay membenarkan posisinya. Itu Tiara. Dengan segera dia membukakan kunci pintu dan kekasihnya itu pun masuk.
"Maaf lama."
"Iya ga papa.." Jay menarik safety beltnya namun sekarang dia bingung. Dia bingung hal apa yang harus dia lakukan.
"Kenapa?" Tanya Tiara.
"Hem..." Jay ragu untuk mengatakannya namun ketika melihat sebuah kunci dia ingat. Oke dia bisa menjalankan mobil sekarang.
"Kenapa bang?"
"Ga papa?tadi lupa kirain kuncinya belum masuk." Jay mulai memutar setirnya ke kanan. Dia menyusuri jalanan sore dengan langit yang terlihat berwarna oranye sepertinya matahari akan terbenam. Sesekali Jay mengusap keringatnya yang entah kenapa mengucur sekarang. Dia segera mengambil tisu dan mengusapnya pelan.
"Sini.."
"Ga papa, biar aku." Jay menolak tangan Tiara. Dia bahkan menyetir dengan satu tangan sekarang. Merasa wajahnya sudah kering Jay memasukkan tisu itu ke tempat sampah kecil lalu kembali fokus menyetir.
"Abang kenapa?"
"Ga papa, panas."
"Panas?ini suhu di mobil udah dingin gini."
"Kamu kedinginan?kita kecilin."
"Ga usah kalo Abang kepanasan."
"Ga papa. Kita kecilin."
"Bang..bang sama aku aja." Tiara menghentikan aksi Jay. Dia jadi heran sendiri kenapa Jay berperilaku seperti ini.
"Abang lagi cemburu?"
"Engga."
"Kayanya ada yang aneh gitu bang."
"Aku biasa aja. Perasaan kamu aja."
"Maaf...aku minta maaf kalo temen-temen cowok aku bikin Abang ga nyaman."
"Engga, ga papa. Kamu boleh punya temen cowok." Jay dengan begitu berat mengatakannya tapi...Jay sudah berniat ingin memberi kebebasan pada Tiara. Wanitanya itu tak boleh memikirkan dirinya terus.
"Hari ini mau makan bareng?papah nanyain abang.."
"Bo..boleh." Jawab Jay singkat.
"Aku beliin Abang puding. Temen aku jualan jadi aku cobain.." Tiara menyadarkan Jay jika dipangkuannya kini ada kantong belanja kecil warna coklat.
"Oh iya, mudah-mudahan enak."
"Besok-besok jemput aku telat juga ga papa bang, ga harus ontime banget. Aku takut bikin Abang nunggu lama lagi."
"Hem...kalo kamu pingin bawa mobil sendiri, aku ga keberatan." Jay dengan jeda yang cukup lama seolah berbicara kata per kata agar Tiara mengerti.
"Kenapa?Abang cape ya?bosen nunggu aku?atau kesel?."
"Engga. Aku ga cape. Aku cuman...cuman pingin kasih waktu buat kamu sama temen-temen kamu. Ya..itu maksud aku."
"Ya udah iya.." Tiara langsung menatap kearah jalanan padahal sebelumnya badan Tiara menghadap pada Jay.
"Ga usah ada yang dikhawatirin. Aku seneng kalo kamu punya banyak temen." Jay meyakinkan dengan menggenggam tangan Tiara dipahanya. Dapat Tiara rasakan tangan berkeringat kekasihnya itu. Tak biasanya Jay begitu. Hal itu semakin menumbuhkan kecurigaan Tiara tapi dia tak banyak berkomentar selain menjawab ucapan tadi dengan senyuman.
***To be continue