Sabtu pagi ini, cafe baru saja di buka, sudah banyak pembeli yang datang. Meja dan kursi sudah tertata tapi. Tinggal menyiapkan bahan-bahan yang ada di dapur. Kak Andy membantu ke dapur, karena di dapur sekarang sangat sibuk dan sedikit kewalahan.
Aku membantu Kak Dwiki di front desk. Kak Dwiki menerima pesanan dan pembayaran, serta membuat pesanan kopi. Aku hanya membantu menyiapkan cangkir dan membuat pesanan minuman es. Karena aku masih baru bekerja disini, sehingga belum paham tentang cara membuat kopi dan belum tahu perbedaan dari macam-macam kopi.
Pagi ini Pak Nando belum datang. Aku tahu kalau dia harus mengantar Kak Nath ke bandara. Untungnya, tiap weekend selalu ada pekerja part time yang selalu datang. Pak Nando memang selalu mempekerjakan 2 pekerja part time, kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa yang sedang merantau. Mereka mencari pekerjaan yang sekiranya tidak bertabrakan dengan jadwal kuliah mereka.
Kata teman-teman yang sudah lama bekerja disini, para pekerja part time hanya itu-itu saja orangnya. Tidak lebih dari 10 orang. Pak Nando tidak pernah mencari orang untuk jadi pekerja part time di sini. Malahan, mereka yang selalu menanyakan pekerjaan part time untuk hari Sabtu dan Minggu. Itupun mereka harus saling berebutan, siapa yang cepat dia yang dapat.
Dari apa yang aku dengar, bekerja di sini memang mendapatkan upah yang lebih besar dari pada di cafe-cafe lain. Oleh kare hal itu, mereka berebut jadi pekerja part time di sini. Tugas mereka adalah mencuci piring, cangkir dan gelas yang kotor. Kalau sedang senggang mereka juga dapat membantu menyiapkan bahan-bahan yang akan di masak. Dan mereka juga bisa membantu mengambil piring-piring kotor di meja-meja depan. Mereka harus berbagi tugas antara membantu di dapur atau membantu di luar.
Jam menunjukkan pukul 12:50. Aku yang semula membantu Kak Dwiki di front desk, kini aku membantu pekerja part time yang namanya Deni untuk membersihkan meja-meja. Saat aku membersihkan meja yang dekat dengan pintu, aku menyadari kalau Pak Nando sudah datang.
Dengan memakai baju putih lengan panjang yang ia gulung sampai siku-siku nya. Aku yang saat ini sedang memperhatikannya, sangat terpesona. Baru kali ini aku melihat Pak Nando dengan style yang berbeda. Biasanya dia selalu memakai kemeja lengan panjang yang lengannya tertutup penuh. Setiap hari ia terkesan lelaki yang sangit rapi, tapi untuk sekarang ia terlihat maskulin dan sangat mencolok. Bagiku ia seperti mentari yang sedang bersinar, sungguh menyilaukan mata. Bukan hanya aku yang terpesona, banyak sepasang mata wanita di ruangan ini terpesona dengan aura Pak Nando yang terpancar.
"Selamat datang, pak! Apa Kak Nath sudah berangkat pak?" tanyaku yang sekedar cuma basa-basi. Pastinya aku sudah tahu kalau pesawat Kak Nath yang ia tumpangi sudah terbang.
"Iya, sudah."
"Bakal kangen ngumpul bareng dengan Kak Nath seperti kemarin." kataku dengan wajah yang sedikit tertunduk. "Pesawat Kak Nath tadi berangkat jam berapa pak?"
"Jam 9 sudah lepas landas. Kenapa memangnya?"
"Tidak kenapa-kenapa kok pak. Saya berpikir Pak Nando kok lama datangnya!. Kami tadi hampir kewalahan. Saya sendiri juga kaget, ini baru pertama kali sejak saya bekerja disini, cafe baru saja di buka, langsung banyak pembeli yang berdatangan." Dengan sedikit jeda aku melanjutkan perkataanku. "Meskipun sedikit capek, aku bersyukur cafe kita sangat ramai. Ada rasa senang kalau cafe kita sedang ramai."
"Maaf ya karena aku telat. Tadi ada urusan ke rumah sakit."
"Loh... Tidak perlu minta maaf pak. Kan Pak Nando pemilik cafe. Yaa... suka-suka bapak jam berapa datangnya. Saya berkata seperti itu tadi, cuma ingin melaporkan situasi ke Pak Nando saja." kataku, kemudian aku lanjutkan lagi ucapanku. " Ke rumah sakit? Siapa yang sakit pak? Pak Nando sakit?" tanyaku beruntun.
"Bukan aku yang sakit, tapi nenekku."
"Kalau boleh tau, neneknya sakit apa, pak?"
"Sakit jantung. Sudah lama sakitnya, tapi kemarin kambuh. Katanya tadi kamu kecapekan ya! Nih minuman buat kamu." katanya sambil menyodorkan ku minuman botol yang dia bawa.
"Tidak usah pak! Terima kasih. Saya bisa minum air putih di belakang." kataku menolak.
"Ini dari Nathalie, dia membelikan ini untuk kamu. Tapi maaf ya, minumannya sudah tidak dingin lagi. Nih ambil!"
"Yakin ini dari Kak Nath, pak?" tanyaku yang masih tidak percaya.
"Iya... Buruan ambil nih!!"
Aku mengambil minuman kemasan yang di sodorkan kepadaku dengan wajah terharu. "Wah... Kak Nath baik banget. Nanti tolong sampaikan ke Kak Nath ya pak, ucapan terima kasihku."
"Iya... Nanti aku sampaikan. Ayo kembali kerja."
"Siap, Pak Boss!!" kataku sambil memberikan hormat pada Pak Nando. Pak Nando hanya tertawa kecil dengan tingkah laku ku sekarang.
*****
Jam istirahat tiba. Seperti biasanya, yang lain beli makanan di luar. Sedangkan aku membawa bekalku sendiri. Aku mengambil tas di lokerku, dan mengeluarkan isinya, ku ambil kotak makan warna merah dan bungkusan isi lauk. Aku duduk di kursi dan bekalku ku taruh di meja. Saat aku buka kotak makan ku, nasi yang aku bawa menjadi berair.
"Duh... bodohnya aku! Tadi nasinya masih panas, belum aku dinginkan. Gara-gara terburu-buru langsung aku tutup." kataku sambil meratapi nasi yang ku bawa. Mungkin nasi itu masih bisa di makan, tapi bagiku akan terasa tidak enak di perut.
"Apa boleh buat cuma makan lauknya saja." gumamku.
Aku membuka bungkusan laukku. Yaa.. meskipun laukku sangat sederhana tiap harinya, tapi bagiku ini sudah cukup. Tahu, tempe dan telor ceplok yang selalu menemani makan siangku. Meski cuma seadanya, aku sangat bersyukur masih bisa makan dengan layak. Banyak di luaran sana yang sangat sulit untuk mencari sesuap nasi.
Baru saja aku menggigit tahu 1 gigitan, aku melihat Pak Nando di luar pintu ruang karyawan yang pintunya sengaja aku buka.
"Vin, apa kamu sudah makan siang?" tanya Pak Nando yang masih berdiri di luar.
"Iya, ini saya lagi makan pak!" jawabku yang masih mengunyah sepotong tahu. "Ada perlu apa ya pak?" tanyaku.
Pak Nando yang semula berdiri, kini berjalan masuk mendekati ku.
"Apa yang sedang kamu makan?" tanyanya sambil melihat ke arah bungkusanku. "Kenapa kamu makan tanpa nasi?"
"Nasi saya berair pak, jadi saya tidak memakannya." kataku sambil menunjukkan kotak makan ku. "Jadi saya hanya memakan lauknya saja."
"Apa cuma dengan lauk kamu bisa kenyang?"
"Yaaa... Memang tidak terlalu mengenyangkan pak! Tapi dengan ini saja sudah cukup untuk mengganjal perut." kataku.
"Kalau begitu, apa kamu mau makan siang bareng denganku?" tanyanya sambil menatap mataku.
"Tidak pak, ini saja sudah cukup bagi saya. Lagi pula saya tidak ada uang untuk beli makanan di luar."
"Gak usah mikirin soal uang. Ayo temani aku makan siang hari ini."
"Ta-tapi... Pak...!"
Belum juga aku menyelesaikan ucapanku, tangan Pak Nando menarik tanganku.
"Sudah jangan banyak alasan. Ayo cepat berdiri."
Pak Nando yang menarik-narik tanganku, membuat ku mau tak mau harus menuruti kemauannya. Aku yang saat ini sudah berdiri, masih saja dia menarik tanganku.
"Tunggu... Tunggu sebentar pak!" kataku sambil menahan tarikannya.
"Ada apa lagi?" tanyanya sambil menoleh ke arahku.
Aku meraih dan mengambil telur ceplok pada bungkusan di meja. "Mubadzir pak kalau tidak dimakan." kataku sambil memakan telor ceplokku tadi.
"Ayo, aku sudah lapar." kata Pak Nando yang menggeret tanganku.
Aku ingin mengatakan kalau tidak perlu sampai menggandeng tanganku, tapi hatiku tidak membolehkan mulut untuk berkata-kata. Meskipun ini hanya hal yang biasa, tapi hatiku sangat senang. Aku hanya senyum-senyum melihat Pak Nando dari belakang. Hingga sampai di mobilnya, baru dia melepaskan tanganku.
"Kita mau makan kemana pak? Kok pakai mobil? Kenapa tidak pakai motor saya saja? Bisa lebih cepat dan menghemat waktu."
"Kamu tidak lihat mendung di atas? Aku tidak mau sampai basah kehujanan." katanya sambil membukakan pintu mobil untukku. "Cepat masuk."
Tanpa banyak tanya, aku masuk ke mobil. Sedangkan Pak Nando memutar ke depan, dan dia masuk ke dalam mobil.
"Kamu mau makan apa, Vin?"
"Saya terserah bapak saja, asal tidak makan seafood saja." kataku.
"Kenapa? kamu alergi seafood?"
"Iya, pak! tapi tidak semua seafood. Saya hanya bisa memakan udang, kupang (kerang kecil-kecil), dan ikan tongkol (cakalang)." kataku
"Apa akan gatal-gatal kalau kamu makan seafood?"
"Iya.. Merah-merah dan gatal. Kalau untuk ekstrem nya bisa mual-mual, muntah, dan kepala pusing."
"Wah... Bahaya juga. Kalau begitu, apa kamu mau makan soto Madura?"
"Boleh pak!"
Pak Nando hanya tersenyum dengan jawabanku. Langsung saja dia melajukan mobilnya. Tak perlu waktu lama, karena memang jaraknya cukup dekat, kami tiba di sebuah depot makanan khas soto Madura di pinggiran kota Surabaya. Tempatnya bersih, tidak terlalu luas dan juga tidak terlalu sempit. Untuk menunya, kita bisa memilih soto daging sapi, soto babat, atau soto ayam.
"Vin, kamu mau makan apa?" tanya Pak Nando.
"Saya soto babat saja pak, minumnya es teh."
"Mbak 1 soto babat dan es teh. 1 soto daging tambahin babat juga ya mbak, minumnya es jeruk." kata Pak Nando pada pelayan.
"Pak Nando sering makan di sini?"
"Iya, kenapa?"
"Aku kira Pak Nando hanya makan di restoran mewah saja, tidak aku sangka Pak Nando juga bisa makan di tempat seperti ini." kataku sambil tersenyum.
"Sebenarnya aku lebih suka makan di tempat seperti ini, yang menyajikan makanan dengan rasa yang enak. Apalagi aku lebih suka makanan indonesia. Kalau di restoran mewah, memang terkadang mereka menyajikan Indonesian food, tapi rasanya tidak seenak masakan yang di warung-warung kecil seperti ini."
"Wah... Benar juga apa yang bapak katakan, memang lebih enak makan di warung seperti ini, rasanya masih terjaga enaknya. Kalau makan di mall-mall, terkadang terlalu asin, kadang juga gak ada rasanya." kataku.
Makanan kamipun datang. Memang dari segi rasa, rasanya enak dan pas di lidah. Mungkin Pak Nando sering nyari makan di tempat-tempat seperti ini dan mencobanya satu persatu, dalam pikirku.
*****
Jam menunjukkan jam 17:00, hujan sangat lebat dengan angin yang kencang. Tinggal beberapa orang yang sedang makan. Hari ini sangat sibuk, dari pagi sampai sore para pembeli berdatangan seperti tanpa henti. Tubuh ini serasa tertimpa batu besar. Lelah, capek, badan sakit semua, bercampur jadi satu.
Aku membersihkan meja yang baru saja di tinggalkan oleh pembeli. Piring kotor, cangkir dan gelas aku tumpuk pada nampan, dan saat aku berbalik...
Bruuuk...
Aku menabrak tubuh dengan baju berwarna putih. Aku mendongakkan kepalaku, betapa kagetnya diriku saat aku mengetahui kalau orang yang aku tabrak adalah Pak Nando. Dalam pikirku, "Aduhh... Mati aku. Pasti Pak Nando akan marah padaku." Aku lihat baju yang putih berubah warna karena sisa kopi dari cangkir yang aku bawa.
"Ma-maaf pak! Saya tidak melihat ada bapak di belakang saya." kataku terbata-bata karena takut dengan wajah yang saat ini aku lihat.
"Hati-hati dong saat membawa piring dan gelas kotor. Bagaimana kalau yang kamu tabrak adalah pembeli. Apa kamu yang akan bertanggung jawab?" kata Pak Nando dengan sedikit nada yang tinggi.
Aku kaget dengan suara kerasnya yang marah. Baru kali ini aku melihat Pak Nando marah. Ya... Ini memang salahku kurang berhati-hati. Tapi kenapa Pak Nando marah seperti ini. Apa dia dalam mood yang kurang bagus, pikirku.
"I-iya... M-maafkan saya pak, saya janji akan lebih berhati-hati lagi." kataku dengan rasa takut dan cemas. "Tunggu sebentar, pak. Nanti saya akan bersihkan baju bapak."
Aku menghampiri Kak Andy yang sedang berdiri melihat kejadian yang aku alami.
"Kak, bisa tolong bawakan ini ke belakang? Aku tadi menabrak Pak Nando. Mungkin dia akan memarahiku." bisikku kepada Kak Andi.
"Iya... Sini biar aku yang bawa ke belakang."
"Terima kasih banyak kak." kataku sambil berlalu dan menghampiri Pak Nando. "Ayo pak! Saya akan bersihkan baju bapak di atas." kataku sambil menggandengnya menuju ke kantornya.
Saat sudah di dalam kantornya, Pak Nando duduk di sofa, sedangkan aku mengambil tissue yang ada di meja kerja Pak Nando. Kemudian aku berlutut di depan Pak Nando.
"Maafkan saya pak, saya benar-benar tidak melihat bapak tadi. Mari pak lepas bajunya, biar saya cuci baju bapak."
Pak Nando hanya diam tanpa membalas satu katapun. Aku berpikir kalau Pak Nando sekarang benar-benar marah kepadaku. Aku membuka tiap kancing baju Pak Nando dan aku tanggalkan pakaiannya yang menutupi tubuhnya.
Seketika itu mataku terbelalak lebar melihat pemandangan yang ada di depan mataku. Dada yang besar dan bidang, dengan kulit yang putih bersih. Perut yang terlatih, membentuk kotak-kotak yang sempurna. Di bawah pusarnya terdapat garis lurus dari bulu-bulu tipis yang halus. Sungguh sesuai ekspektasi ku. Badan Pak Nando benar benar sexy.
Aku mengambil tissue yang ada di dekatku, ku sapukan dengan lembut ke tubuh Pak Nando yang basah. Aku mengusapkan tissue ke dada Pak Nando yang kenyal dan bidang, mengusap puting yang berwarna merah muda pucat. Aku melanjutkan ke arah perutnya yang sixpack. Aku baru tahu kalau perut yang terlatih akan terasa keras juga. Aku melanjutkan turun ke arah pusarnya, tapi tangannya menghentikan tanganku. Aku kaget dan mendongak ke wajahnya.
"Maaf pak kalau saya lancang, saya hanya ingin membersihkan tubuh Pak Nando." kataku sambil melihat wajahnya.
Dia hanya terdiam tanpa membalas perkataanku. Aku kaget ketika tubuhnya mendekat padaku, dan dagunya bersandar pada bahuku. Menyandarkan kepalanya pada kepalaku, kemudian berbisik lirih.
"Maaf ya, tadi aku membentakmu. Aku tidak bisa mengontrol emosiku."
Saat ini jantungku berdegup kencang, dengan nada yang tidak beraturan. Dalam pikirku, "Ahh jantungku, jangan seperti ini. Pak Nando pasti akan mendengar suara detakmu."
"Tidak perlu minta maaf pak. Ini murni kesalahan saya, jadi Pak Nando berhak memarahi saya."
"Tolong biarkan aku seperti ini sebentar."
"Ada apa pak? Apa bapak sakit? Apa sakit kepalanya datang lagi?" kataku sambil menyentuh pipinya dan merasa sangat khawatir.
"Tidak. Aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin seperti ini sebentar. Tolong jangan bergerak."
Aku terdiam mematung, sesuai permintaan Pak Nando. Tangan ku yang semula menyentuh tangan Pak Nando, kini ku jatuhkan. Dalam pikirku, "Apa Pak Nando sangat sedih karena di tinggal keluar kota oleh Kak Nath. Apa dia sekarang merasa kesepian?"
Berselang beberapa lama kami dalam posisi seperti ini, tanpa kata, dan dalam diam. Mungkin sudah sekitar 10 menit berlalu. Aku yang dari tadi merasa khawatir, membuka mulutku.
"Pak! Apa sudah selesai?" tanyaku. "Di sini sangat dingin, dan Pak Nando sekarang tidak memakai baju. Saya takut Pak Nando nanti akan sakit." kataku cemas.
Pak Nando menegakkan tubuhnya dan memandangi wajahku. "Terimakasih ya, sudah diperbolehkan menggunakan bahumu. Dan aku minta maaf karena sudah membentakmu." katanya sambil melepaskan tanganku.
"Tidak apa-apa pak, saya yang harusnya minta maaf. Saya akan mengambil jaket saya dan baju bapak yang kotor akan saya cuci dirumah." kataku sambil mengambil baju putih yang berada disamping Pak Nando. Tapi hendak aku bawa baju itu, tangan Pak Nando menghentikan tanganku.
"Tidak usah, biar nanti aku cuci dirumah saja."
"Baiklah kalau itu keinginan bapak. Biar saya ambilkan jaket saya untuk Pak Nando pakai. Tapi akan sedikit ketat di badan Pak Nando. Tidak apa-apa kan pak? Mending memakai jaket saya dari pada nanti bapak sakit dan masuk angin." kataku.
Pak Nando hanya menganggukkan kepalanya dan aku bergegas mengambil jaketku. Kemudian setelah aku mengambil jaket, aku serahkan kepada Pak Nando. Aku membantunya memakai jaketku. Yaa seperti dugaanku, jaketku akan ketat di badan pak Nando. Dan sampai kami pulang, Pak Nando tetap memakai jaketku.
.
.
.
*****
Halo para readers.
Sesuai permintaan, aku buat panjang chapter ini, dan ini chapter terpanjang yang pernah aku buat. Semoga kalian menikmati alur ceritanya.
Jangan lupa vote dan rate nya. Comment, kritik dan saran akan saya terima sebagai perbaikan kedepannya.
See ya di next chapter.