"Biar gue aja yang antar." Tiba-tiba saja Berry muncul dan mengatakan hal semacam itu membuat para gadis itu menoleh. Bahkan ketiganya saling pandang dan menghentikan perdebatan kecil antara mereka. Bagi Ara dan Zea, penawaran itu sangat bijaksana sekali, bahkan dalam benak mereka pun, mereka sangat menyetujui apa yang diusulkan oleh Berry.
"Nah, itu bukan ide yang buruk." Aga mendekat dan mengatakan persetujuannya. Sepertinya pemuda itu juga merasa senang, jika salah satu sahabatnya itu memiliki kepedulian terhadap seorang gadis. Hidupnya selama ini hanya berputar-putar pada kuliah dan pekerjaannya saja, dan memiliki perubahan seperti sekarang ini akan lebih baik.
Biasanya, mana pernah Berry menunjukkan kepedulian kepada orang lain. Bahkan meskipun dengan seorang perempuan, Berry tak akan pernah menawarkan sesuatu semacam itu.
Cherry bahkan tak bisa mengatakan apapun setelah ucapan Berry. Entahlah, seolah semua kata itu lenyap tak berbekas. Mereka pamit, dan Cherry langsung naik ke motor milik Berry setelah lelaki itu memberikan isyarat kepada Cherry. Dalam hitungan detik, kepulan asap berterbangan karena motor tersebut melesat begitu cepat.
Interaksi antara Berry dan Cherry sebenarnya masih terlihat kaku. Mereka tak benar-benar dekat satu sama lain. Hanya saja, seperti ada sesuatu yang mengikat mereka dan hubungan mereka seperti terlihat sepasang kekasih.
Dan, mungkin ini adalah sebuah keajaiban yang sedang dipersiapkan untuk keduanya. Cuaca yang sedikit mendung itu akhirnya menampakkan hasilnya. Hujan tiba-tiba turun, dan Berry langsung membelokkan motornya agar mereka bisa berteduh. Meskipun begitu, pakaian mereka masih terlihat basah.
"Dingin?" tanya Berry kepada Cherry. Gadis itu hanya menggunakan sweater tipis untuk melapisi kaos di dalamnya saja. Sedangkan udara di luar terasa dingin karena angin dan udara yang lembab.
"Nggak papa kok." Memang tidak terasa dingin sekali, tapi tentu saja agak terasa dingin di kulit. Namun Berry memiliki inisiatif dengan sangat baik. Lelaki itu melepaskan jaketnya dan memberikannya kepada gadis itu.
"Nggak usah. Kamu pakai aja. Ini dingin lho." Cherry justru terlihat khawatir dengan Berry yang hanya mengenakan kaos hitam tipis. Mereka sedang berada di depan sebuah ruko kosong dan otomatis mereka tak bisa untuk masuk. Karena ruko tersebutlah yang paling dekat digunakan untuk berteduh.
"Pakai aja. Aku udah biasa seperti ini." Berry menolak. Dan tetap memakaikan jaket itu pada Cherry, "Duduk sini!" Cherry lagi-lagi menurut dan keduanya duduk sambil menunggu hujan berhenti. Keheningan masih menyelimuti mereka, suara hujan masih mendominasi dan meskipun atmosfer di sekitar mereka adalah kecanggungan, tapi keberadaan mereka satu sama lain membuat terasa lebih baik.
"Aku pikir tadi kamu akan lama di rumah sakit." Berry membuka suara terlebih dulu. Lelaki itu masih menatap depan dengan ekspresi datarnya seperti biasa.
"Enggak sih. Kan kirimin makan Abang aja." Cherry menjawab.
"Sering datang kesana?"
"Kalau ada waktu aja. Biasanya supir yang antar makanan kalau memang Abang minta dianterin makanan." Berry diam setelah itu. Dia sedang mengingat bagaimana keluarga Cherry yang pernah sekali dilihatnya. Sepertinya hubungan mereka begitu harmonis satu sama lain. Mereka seperti kompak dan mendukung dengan apapun yang diinginkan oleh salah satu anggota keluarganya.
Seandainya dia pun seperti itu, maka dia pasti akan sangat senang sekali. Sayangnya tidak, ayahnya terlalu keras dan kaku. Apa yang menjadi keinginannya harus terpenuhi meskipun itu akan melukai hati orang lain. Seandainya dia memiliki keluarga seperti keluarga Cherry, pasti hidupnya sekarang akan baik-baik saja.
"Berry!" panggilan itu membuat semua lamunan yang dirajut oleh Berry lenyap begitu saja. Dia menoleh pada gadis di sampingnya dan sedang menatapnya juga. Berry bisa melihat mata gadis itu yang bulat dan indah. Jujur saja, Berry sulit untuk mengalihkan tatapannya. Lama mereka saling tatap, tapi Cherry lebih dulu memutuskan tatapan mereka.
"Cherry!" kini giliran lelaki itu yang memanggil.
"Hem?" gadis itu kembali menatap Berry.
"Kamu sering bertemu dengan dokter-dokter muda itu?" seharusnya dia tak menanyakan hal semacam itu, dia sebenarnya hanya memikirkannya saja, namun justru apa yang dipikirkan keluar begitu saja lewat ucapannya. Untuk menarik ucapannya pun akhirnya tak akan pernah bisa dia lakukan. Karena itu, mundur pun sia-sia.
"Ya, lumayan. Abang mengenal banyak dokter dan orang-orang yang bekerja di sana. Dia gampang kenal sama orang lain. Nggak kaya aku. Dan aku sering dikenalkan kepada mereka. Kenapa?" tiba-tiba mendapatkan pertanyaan seperti itu, maka itu menjadi keanehan juga. Karena selama ini bukankah tak pernah mengobrol masalah hal-hal semacam itu.
"Enggak, aku lihat tadi kamu kayaknya juga akrab sama teman Bang Arka."
"Ya, seperti itulah." Tak ada tanggapan yang serius yang dikatakan oleh Cherry. Dan Berry juga tak melanjutkan introgasinya. Hujan sudah berhenti dan mereka memutuskan untuk pergi dari sana. Cherry tak bertanya apapun mengenai Berry. Bagaimana keluarga lelaki itu atau yang lainnya. Cherry hanya tak ingin terlihat kepo dengan urusan pribadi orang lain.
Mereka sampai ketika adzan magrib berkumandang. Dan itu bertepatan pada ayah Cherry pulang dari kantor.
"Dek, baru pulang?" tanyanya. Dengan wajah heran. Dia diantarkan oleh seorang lelaki dan ini adalah pertama kali terjadi. Berry masih duduk di atas motor dan buru-buru turun dan bersalaman dengan lelaki itu. Memberikan juga senyum kecil kepada beliau.
"Habis ada acara tadi, Pa."
"Masuk dulu, magrib-magrib masa mau pulang." Ayah Cherry sudah keluar mobil dan mengajak Berry untuk masuk ke dalam rumahnya. Beliau terlihat sangat ramah. Keinginan Berry untuk menolak diurungkan dan dia menyetujui.
Itu membuat Cherry harus mengulum senyumnya. Senangkah gadis itu? bisa saja seperti itu. Cherry tak tahu apa yang sekarang ini sedang dirasakan di dalam hatinya. Hanya saja kelegaan itu menjalar bahkan sampai dia merinding hanya karena hal sepele semacam itu.
Di sana, Berry disambut dengan baik oleh keluar Cherry. Ibu gadis itu pun juga melakukan hal yang sama. Beliau ramah, dan memperlakukan Berry seperti mereka sudah mengenal lama dengan lelaki itu. Kegiatan yang dilakukan di rumah itu dilakukan seperti biasa. Mereka sholat, dan kebetulan untuk berangkat ke masjid tidak bisa dilakukan karena waktunya yang terlalu mepet, mereka beribadah di rumah. Dengan ayah Cherry menjadi imam.
Setelah itu, mereka mengajak Berry untuk makan malam bersama. Arka belum pulang, dan itu bukan lagi hal yang aneh.
"Berry satu kampus dengan Cherry?" tanya ayah Cherry.
"Iya, Om. Tapi kami beda jurusan." Jelasnya.
"Kok bisa kenal?" untuk manusia sekelas Cherry yang terlihat dingin, sepertinya memiliki teman di fakultas yang sama saja sudah untung, dan sekarang dia sudah memiliki teman dari fakultas lain. Itu mengejutkan?
"Teman saya yang satu jurusan sama Cherry, Om. Jadi kami kenal karena sering kumpul bareng." Beliau mengangguk-angguk paham.
"Pantesan. Kalau enggak, mana bisa dia kenal sama anak jurusan lain." Dan komentar ayahnya, membuat Cherry hanya mendengus saja.
*.*