Chevailer, auntumn
Justin tidak membutuhkan rasa kasihan, itu adalah hal yang ia dengan cepat pelajari setelah semua hal yang terjadi. Karena itu ia tidak menangis ketika ia berada di tepi liang lahat; memandang peti mati ayahnya diturunkan ke dalam tanah dengan perlahan. Punggungnya tidak membungkuk, kepalanya tidak menunduk, matanya bahkan sama sekali tidak basah oleh air mata.
Tidak. Karena ia tidak merasa sedih atau terpukul, sebaliknya ia merasa marah. Ia murka dan sebuah dendam yang terasa busuk merayap didadanya, membawa serta batas nyaris putus akan kegilaan yang terus berkembang di otaknya seperti sebuah gelembung. Menunggu untuk pecah dan membasahi semuanya.
Semua orang sudah berlalu, ia tahu. Orang-orang yang bersama-sama membawa ayahnya ke tempat persemayaman terakhirnya sudah berlalu pergi sejak tadi. Meninggalkan ia sendiri dengan seseorang yang masih tetap teguh di belakangnya.
"Permintaan terakhirnya adalah dimakamkan di sisi ibumu," pria itu berujar.
Justin hanya meliriknya, pemuda yang bahkan belum genap sepuluh tahun itu tersenyum tipis sebelum berkata. "Dia sudah menyampaikan pesan untuk kematiannya?"
"Ayahmu anggota kelompok tujuh, tentu saja dia semua mempunyai pesan. Tidak ada seorangpun di kelompok tujuh yang tahu kapan mereka akan kembali bertemu pagi, Justin."
"Dan apa kau juga mempunyainya?" Justin berbalik. "Paman Charles?"
Charles tersenyum seraya membetulkan letak kacamatanya yang melorot. "Tentu aku punya."
Yang lebih muda mendongak. "Apa isinya?"
"Aku akan menemukan anak dari putriku sebelum aku mati, itu yang harus aku lakukan."
Hening sesaat.
"Kau mencari Redd."
Alis Charles naik sebelah. "Aku pikir aku harus bertanya darimana kau mengetahuinya, ya kan?"
"Ayah menyimpan semuanya dibalik rak, berpikir bahwa aku tidak tahu." bahu Justin naik. "Aku membacanya, semua itu. Apa yang kalian kelompok tujuh ciptakan; senjata itu," matanya menatap Charles. "Kalian mengirim keluarga Mansen ke Vatikan karena berpikir bisa menyelamatkan mereka semua, itu semua idemu; lalu mereka mati karenanya. Aku mengetahuinya. Pembunuhan itu juga, kematian para pasukan khusus; termasuk ibuku yang mati bersama mereka."
Charles tersenyum kecil, matanya yang masih segar memandang pada postur ringkih anak lelaki di depannya. Memeta pundak menonjol dan rambut pirang yang berantakan. Ia hanya anak-anak, seorang pemuda kecil yang bahkan belum sanggup mengurus dirinya sendiri; itu adalah pemikiran yang ada jika melihat dirinya sekilas. Tapi Charles tahu, anak ini tidak untuk dilihat sekilas, tatapannya jatuh pada kedua mata hijau yang memandangnya tenang; dengan pandangan yang tidak seharusnya dimiliki anak-anak—sebuah pancaran kebencian, pancaran kesepian, kemarahan; sebuah tatapan orang dewasa.
"Kau akan membalas dendam," Charles memulai. "Iya,kan?"
Sebuah fatamorgana bermain di garis bibir pemuda itu. "Terlihat ya?"
"Kau terlalu muda untuk itu."
"Kau mengatakan hal yang sama saat aku berkata akan masuk ke pasukan khusus," Justin berujar tenang. "Saat aku memohon padamu, kau juga mengatakan itu."
"Karena aku memiliki alasan yang masih sama," ajudan Raja itu bersedekap. "Kau masih terlalu muda, pergilah bermain. Itu duniamu, kau memiliki masa depan."
Pandangan Justin tenang. "Tidak ada masa depan untukku. Semua diambil sejak saat ini, tidak ada permainan atau masa kanak-kanak. Itu selesai, aku tidak membutuhkan omong kosong itu karena aku hanya harus bertahan hidup. Aku harus bertemu orang yang menghancurkan kehidupanku."
"Dia sudah mati," sahut Charles kalem. "Raja menjatuhinya hukuman mati."
"Tapi dendam tidak berhenti disitu bukan? Kau tahu akan ada seseorang dimasa depan yang datang kembali."
"Aku tidak mengincar dia," Justin tersenyum. "Tahta, aku ingin membunuh orang yang mengeklaim tahta. Dia yang menembakkan pistolnya, yang membunuh ayahku."
Charles memandang sesaat. "Kita berbeda jalan jika begitu. Aku melindungi kerajaan ini, kau menghancurkannya. Kita hanya akan menjadi musuh."
"Kalau itu diperlukan," Justin menelengkan kepalanya. "Menjadi musuhmu bukan hal besar, aku tahu aku akan menghadapinya."
....