Ketiga pendatang baru ini bukan lain daripada Sarinten, Wakania dan Laruni. Yang berseru
tadi ialah Laruni. Ketiganya segera mengurung Pendekar 212. Tanpa melepaskan pandangannya
yang menyorot pada Wiro Sableng Laruni bertanya pada Inani.
"Inani! Kenapa kau hendak tinggalkan manusia ini begitu saja?! Apa kau lupa tugas kita?!"
"Ilmunya tinggi sekali Laruni." jawab Inani. "Aku tak sanggup menghadapinya."
"Tapi kau bisa lepaskan tanda agar kami datang!" ujar Sarinten.
"Sudah kulakukan. Dia berhasil merampas bola pemberi tanda itu!"
"Lantas kau kenapa tidak berteriak....?" tanya Laruni.
"Mulutku disekapnya." jawab Inani berdusta.
"Lalu dia biarkan kau pergi seenaknya? Sungguh lucu!" kata Wakania menyindir.
"Kau tetap di tempat Inani! Kau harus pertanggung jawabkan kesalahanmu di hadapan
Dewi!" bentak Laruni.
Kecutlah hati Inani.
Sementara itu Laruni, Sarinten dan Wakania loloskan kalung tengkorak masing-masing dan
juga keluarkan jala sutera biru.
Wiro hela nafas dan geleng-gelengkan kepala. Ketiga gadis itu cantik-cantik, meskipun
menurut pandangannya Inani adalah lebih cantik dari kesemuanya. Dan gadis-gadis cantik beginilah
yang jadi anak buah Dewi Siluman. Yang harus dihadapinya. Sungguh mereka menyia-nyiakan
kecantikan mereka.
"Pemuda, apakah kau sudi menyerah secara baik-baik atau terpaksa kami turun tangan?!"
Wiro Sableng keluarkan siulan mendengar ucapan Laruni itu. "Benar-benar aneh! Benar-
benar aneh!" kata Pendekar 212 pula. "Gadis-gadis begini cantik menjadi anak buah Dewi Siluman
biang racun kejahatan kelas satu!"
"Pemuda bermulut lancang ceriwis! Kau memilih cara kasar rupanya!" Laruni memekik.
Diikuti oleh Sarinten dan Wakania maka ketiganya pun berkelebat. Tiga kalung tengkorak
menyambar dari tiga jurusan. Tiga kepulan asap biru menderu mengerikan dan tiga buah jala sakti
menebar sebat dari kiri kanan dan sebelah belakang.
Wiro Sableng yang sudah tahu kehebatan kalung tengkorak serta jala sutera biru tidak ayal
lagi segera keluarkan jurus: Menepuk Gunung Memukul Bukit yang disusul dengan lompatan:
Gunung Meletus Batu Melesat Keluar Kawah.
Tiga gadis anak buah Dewi Siluman terkejut dan penasaran bukan main sewaktu mereka
menebarkan jala biru dan ternyata mereka tiada berhasil meringkus si pemuda. Mereka menyadari dan menyaksikan sendiri sekarang bahwa lawan mereka memang bukan manusia sembarangan.
Laruni berikan isyarat kedipan mata kiri. Serentak dengan itu bersama Sarinten dan Wakania segera
membentuk satu barisan aneh dan bertiga mereka lancarkan serangan yang bukan olah-olah
dahsyatnya. Angin serangan membuat daun-daun berguguran, semak belukar beterbangan sedang
akar gantung pohon beringin bergoyang-goyang kian ke mari.
Wiro berteriak nyaring dan berkelebat cepat. Tapi gerakan-gerakan lawan, jurus-jurus silat
yang dimainkan sangat aneh baginya, sukar untuk diduga dan diikuti sehingga dalam waktu lima
jurus saja Pendekar 212 mulai terdesak hebat. Untungnya Wiro memiliki ilmu meringankan tubuh
yang lebih tinggi dari ketiga lawan itu sehingga sampai lima jurus lagi dia masih bisa bertahan
dengan gigih. Di antara ketiga lawannya Wiro mulai memaklumi bahwa Laruni adalah yang paling
tinggi ilmunya. Di samping itu Wiro tahu pula bahwa ketiga lawannya itu tidak benar-benar
bermaksud mencelakai dirinya tapi cuma berniat meringkus hidup-hidup. Karenanya, meskipun
kemudian dia kembali terdesak hebat. Wiro Sableng tak mau balas menyerang dan menurunkan
tangan jahat. Dia sengaja mengambil sikap mengelak terus-terusan. Sementara itu Inani berdiri
mematung di tempatnya, tak tentu apa yang dibuat selain cuma menyaksikan jalannya pertempuran
yang seru itu. Dan diam-diam melihat si pemuda terdesak, hati gadis ini menjadi khawatir.
Melihat gelagat Wiro tak akan sanggup bertahan lebih dari sepuluh jurus lagi jika dia terus-
terusan mengambil sikap tidak mau balas menyerang itu.
Dan apa yang diduga Inani menjadi kenyataan.
Di jurus sembilan belas, dalam satu gebrakan yang luar biasa hebatnya Wiro Sableng
dipaksa berkelit cepat untuk menghindarkan serangan Sarinten dan Wakania. Pada waktu gebrakan
ini terjadi Wiro Sableng masih sempat memperhatikan posisi Laruni yang tengah berdiri dengan
komat-kamit, entah membaca mantera apa. Karena merasa posisi Laruni tidak berbahaya maka
Wiro Sableng tidak begitu ambil perhatian terhadapnya. Begitu serangan Sarinten dan Wakania
lewat, Wiro segera pasang kuda-kuda baru karena di saat itu dilihatnya kedua penyerangannya tadi
membalik dengan cepat. Tapi betapa terkejutnya Pendekar 212 sewaktu dari belakang terasa
sambaran angin yang luar biasa dahsyatnya. Dia tak melihat kelebatan tubuh Laruni dan tahu-tahu
anak buah terpandai dari Dewi Siluman ini sudah berada di belakangnya, lancarkan satu jotosan
tangan kiri.
"Buk!"
Pendekar 212 mencelat limbung ke muka tak sanggup imbangi diri dan terguling di tanah.
Tulang punggungnya serasa hancur. Belum sempat dia bangun maka tiga jala sutera biru telah
menebar ke arah tiga bagian tubuhnya yaitu kepala sampai ke bahu, pinggang dan kedua kaki.
"Celaka!" keluh Pendekar 212. Dia tahu bahwa dia tak punya kesempatan lagi untuk
selamatkan diri. Satu-satunya jalan ialah lepaskan pukulan Sinar Matahari untuk menghancurkan jala.
Guna mencabut Kapak Naga Geni 212 mungkin tidak keburu. Namun belum lagi Wiro sempat
pukulkan kedua tangannya yang mulai menjadi putih memerak itu, jala lawan yang pertama turun
ke bawah dan melibat ke seluruhan tangannya. Betapapun dia kerahkan tenaga dalam dan
menyentakkan lengan-lengannya tetap tiada gunanya sementara jala kedua telah menyungkup
kepalanya. Dan dalam sedetik lagi akan menyusul jala ketiga.
"Sialan... sialan!" maki Wiro. Dia cuma terima nasib diringkus hidup-hidup kini.
Jala kedua telah menyungkup kepalanya sampai ke bahu. Jala ketiga datang menyambar
kaki. Tapi sebelum hal ini terjadi mendadak Wiro Sableng merasakan sambaran angin yang luar
biasa derasnya. Matanya yang tertutup jala sutera biru samar-samar melihat kelebatan satu sosok
bayangan putih. Dalam detik itu pula Pendekar 212 mendengar suara keluhan ketiga penyerangnya,
disusul oleh keluhan Inani. Dia sendiri kemudian merasakan tubuhnya terseret beberapa tombak,
terangkat ke atas dan ketika tiba-tiba tiga buah jala yang melibat tubuhnya putus maka tubuhnya
terbanting ke tanah dengan keras, jatuh melintang di akar pohon beringin.
Perlahan-lahan Wiro Sableng merangkak bangun. Bekas pukulan pada punggungnya sakit
sekali tapi tidak dirasakannya karena waktu itu dia dikesiapkan oleh rasa terkejut yang amat sangat.
Sewaktu dia memandang berkeliling dengan cepat tak seorang anak buah Dewi Siluman pun yang
dilihatnya. Kemana mereka? Apa yang telah terjadi?! Satu-satunya benda yang dilihat Wiro ialah
kecapi kepunyaan Inani.
Dalam dia coba memandang berkeliling sekali lagi dengan rasa penuh tak percaya tiba-tiba
matanya membentur tulisan putih di batang pohon beringin. Pendekar ini coba berdiri, tapi
tubuhnya terhuyung-huyung, punggungnya yang bekas dihantam jotosan Laruni kumat sakitnya,
rasa sakit ini menusuk ke bagian dada. Dan sebelum dia sanggup bergerak satu langkah, lututnya
menekuk, dia serasa mau batuk tapi sewaktu mulutnya dibuka darahlah yang menyembur dari
tenggorokannya. Wiro mengeluh, sebelum dia jatuh pingsan Pendekar 212 ini masih sanggup dan
sempat mengambil sebutir pil dari balik pakaiannya lalu menelannya dengan cepat.
Wiro Sableng tak tahu berapa lama dia tergeletak pingsan di tempat itu. Ketika dia siuman
matahari telah condong ke barat. Punggung masih terasa sakit tapi kekuatannya tidak sedikit pun
berkurang. Ini adalah berkat pil yang masih sempat ditelannya tadi sebelum pingsan.
Wiro bangun, duduk bersila, meramkan mata, atur jalan nafas serta aliran darah dan
kerahkan tenaga dalam ke bagian tubuh yang masih terasa sakit. Lima menit kemudian Pendekar ini
melompat dari duduknya, tubuhnya terasa segar bugar. Begitu dia teringat pada tulisan di batang
pohon beringin Wiro segera melangkah ke hadapan pohon itu. Di batang pohon besar yang angker
ini tergurat tulisan.
Segala rencana tidak akan sampai,
Sebelum tahu tingginya langit dalamnya lautan.
Bulan purnama empat belas hari di Goa Belerang,
Seribu rencana akan sampai.
"Pasti manusia yang mengencingiku dulu!" kata Wiro Sableng pada dirinya sendiri. Dia tak
habis mengerti, heran dan geleng-gelengkan kepala. Manusia itu gerakannya luar biasa cepatnya
sehingga hanya bayangan putih pakaiannya saja yang kelihatan. Dalam satu kelebatan tadi dia telah
berhasil melarikan empat anak buah Dewi Siluman dan juga dalam kecepatan yang sukar diukur,
manusia itu masih sempat menggurat tulisan di batang pohon beringin. Tak sanggup Wiro
mengukur kehebatan manusia itu. Jika dia betul-betul manusia, tentulah ilmunya jauh lebih tinggi
dari gurunya sendiri yaitu Eyang Sinto Gendeng di Puncak Gunung Gede.
Wiro mengamati lagi tulisan di batang pohon beringin itu. Jika dihubungkannya rangkaian
tulisan ini dengan tulisan yang lalu nyatalah mengandung satu keterangan dan satu nasihat, yang
bagi Wiro kira-kira berarti dia harus datang ke Goa Belerang pada bulan purnama empat belas hari
guna mengetahui segala maksudnya tak akan kesampaian.
"Siapa sebenarnya manusia itu?" pikir Wiro. "Mengapa dia membawa lari anak-anak buah
Dewi Siluman, mengencingi kepalaku dan menuliskan keterangan serta nasihat itu...?"
Dalam pikiran yang tak kunjung mengerti dan juga didorong oleh rasa ingin tahu akhirnya
Wiro memutuskan untuk mencari Goa Belerang lebih dahulu, baru kemudian mencari dimana
letaknya Bukit Tunggul tempat kediaman Dewi Siluman.
Sampai senja hari, telah puluhan kilo daerah diselidiki Wiro Sableng. Dua buah goa
ditemuinya tapi keduanya bukanlah Goa Belerang karena kedua goa itu kosong tiada berpenghuni.
Keesokan harinya, satu hari suntuk lagi dia menjelajahi berbagai daerah, sampai lagi senja datang,
usahanya tiada berhasil. Pagi yang kedua dari penyelidikannya, dia sampai ke sebuah sungai berair
kehitaman tanda sungai itu dalam sekali. Arus air sungai cepat bukan main. Setangkai ranting
kering yang jatuh, dihanyutkan arus dan menghilang di kejauhan dalam waktu yang singkat. Wiro
mengikuti sungai itu ke arah hilir.
Perjalanannya terhenti sewaktu sungai itu sampai di sebuah air terjun yang sangat dalam.
Air sungai yang memancur dan jatuh menimpa batu-batu besar di sebelah bawah menimbulkan
suara yang menggidikkan. Tempat itu dan daerah sekitarnya berudara redup dan angker, tampaknya
jarang didatangi manusia.
Lebih dari sepeminum teh Wiro berada di tempat itu. Sebelum pergi dia bermaksud mencuci
mukanya yang lengket oleh debu dan keringatan lalu membasahi tenggorokannya. Dengan kedua belah telapak tangannya Wiro menciduk air sungai lalu membasahi mukanya. Sesuatu bau yang
agak lain menusuk hidung sang pendekar sewaktu air sungai itu membasahi mukanya.
Wiro berpikir-pikir. Rasanya dia pernah mencium bau yang seperti itu sebelumnya.
Diciduknya kembali air sungai itu lalu didekatkannya ke hidungnya. Mendadak hatinya menciut.
Air sungai itu berbau belerang. Wiro tahu betul bau belerang karena dia pernah beberapa kali
berada di sekitar kawah gunung yang mengepulkan asap belerang. Dan ketika bau belerang itu
dihubungkannya dengan Goa Belerang maka berdebarlah hati Pendekar 212. Dia memandang
berkeliling dengan penuh teliti. Tak ada satu bagian pun dari tempat sekitar situ yang lepas dari
penelitiannya, namun sampai sebegitu jauh tak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa di situ
terdapat sebuah goa. Tapi air sungai yang berbau belerang?! Untuk kesekian kalinya Wiro kembali
meneliti dengan pandangan mata yang tajam. Tetap tak ada tanda-tanda adanya goa.
Wiro memaki-maki dalam hatinya. Diperhatikannya batu-batu besar yang jauh di bawahnya.
Diperhatikannya air terjun yang jatuh menimpa batu-batu itu, membalik kembali ke atas sampai
beberapa tombak laksana asap atau kabut tipis. Tapi. Wiro terkejut. Matanya memandang lekat-
lekat kepada batu-batu yang jatuh ditimpa air terjun. Apa yang dilihatnya bukan cuma air yang
muncrat kembali ke atas laksana asap atau kabut, tapi di balik air yang membalik ke atas itu benar-
benar Wiro melihat samar-samar namun pasti adanya kepulan asap. Mulanya Wiro merasa agak
bimbang mana mungkin di dasar yang penuh dengan air terdapat asap karena setiap asap pastilah
bersumber pada hawa panas atau api.
Wiro gosok kedua matanya. Yang mengepul di antara muncratan air itu memang benar-
benar asap. Dan ketika diperhatikannya lebih seksama lagi, ketika dia berpindah tempat dan
memandang ke bagian bawah air terjun dari jurusan lain, tersentaklah Wiro karena di belakang air
terjun itu tampak sebuah goa. Dari mulut goa ini jelas kelihatan gelung-gelung kepulan asap. Tanpa
menunggu lebih lama Wiro melompat ke sebuah batu. Dari sini dengan andalkan ilmu meringankan
tubuhnya melompat lagi ke batu yang lain, yang terletak di sebelah bawah. Untuk menuju ke dasar
air terjun bukan pekerjaan mudah. Kurang-kurang pandai kaki akan terpeleset dan tubuh akan
terhempas ke bawah sejauh puluhan tombak, disambut oleh batu-batu besar keras. Meskipun
berkepandaian tinggi serta memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna untuk sampai ke dasar
air terjun Wiro membutuhkan waktu hampir tiga kali sepeminum teh.
Akhirnya pendekar ini sampai juga ke dasar air terjun. Dia berdiri di hadapan air terjun,
bergerak ke bagian samping dengan sangat hati-hati. Sekali tubuhnya terserempet atau tersambar air
terjun, tak perduli bagaimanapun tinggi ilmunya, pasti tubuhnya akan terhempas dan hancur ditimpa
air terjun yang ribuan kilo beratnya itu.