Jonathan memasuki kelasnya dengan perasaan yang tidak menentu. Emosinya ada di puncak, membuat wajahnya merah dan otot otot wajahnya pun terlihat. Tidak seperti biasanya, pria itu memilih untuk memberikan tugas kepada mahasiswa mahasiswanya, kemudian duduk termenung, memikirkan apa yang baru saja terjadi.
Pria itu, tidak pernah semarah ini sebelumnya. Terutama karena seorang gadis. Tanpa bercanda, Jonathan benar benar tidak tahu sebenarnya perasaan apa yang ia miliki terhadap Olivia. Dia hanya sudah terlanjur peduli pada gadis mungil itu. Kepeduliannya sudah melebihi batas wajar, hingga tanpa bisa dipercaya, Jonathan bahkan memukuli anak kandungnya sendiri demi gadis itu. Mengingat Alva, membuat rahang Jonathan kembali mengeras. Jika ia tidak ada dalam kelas, Jonathan bersumpah akan melempar benda apapun yang ada di dekatnya.
Olivia, si gadis Asia bergaun putih itu tidak bisa mengalihkan sedikit saja pandangannya pada dosen tampan yang duduk di depan kelas. Gadis itu tahu, sejak Jonathan masuk kedalam kelas, ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Wajahnya menunjukkan kemarahan. Apakah ... pria itu habis bertengkar dengan Alva??
Menyadari pertanyaan itu muncul di benaknya membuat Oliv menggelengkan kepalanya. Tidak. Tidak mungkin. Oliv hanya meminta Jonathan untuk memberikan pancake tiramishu demi perbaikan hubungan mereka. Bukan justru membuatnya semakin keruh.
Oliv menghela nafas dan mengangkat tangannya,"Mr. Marteen!! Bisakah anda menjelaskan perihal soal nomor 15 kepada saya?!"
Semua orang menatap Oliv sangat takjub. Mereka diberi 15 soal, dan Oliv sudah sampai nomor 15?? Hal itu membuat mereka memfokuskan diri pada soal soalnya lebih jeras lagi. Jonathan masih termenung di tempatnya. Pikirannya sedang kacau.
"Excuse me, Mr.Marteen!!" Kali ini Oliv berteriak, membuat Jonathan tersentak dan berdehem. Pria itu menatap Oliv yang berada di tengah tengah sedang mengacungkan tangannya. Oh, bahkan ia tidak sadar jika sedang berada di kelas Oliv.
"Yes??" ucap Jonathan tegas. Oliv menghela nafas,"Bisakah anda menjelaskan perihal soal nomor 15 kepada saya??"
Jonathan bangkit dari duduknya dan menghampiri bangku Oliv. Dilihatnya pekerjaan Oliv yang membuat Jonathan membulatkan matanya. Demi Tuhan!! Kertas Oliv masih benar benar bersih!!
"Apa yang kau lakukan?!" bisik Jonathan.
Oliv berbisik,"Tenang saja. Aku sudah tahu jawabannya. Hanya saja, aku masih belum bisa menulis jika melihatmu seperti itu"
Jonathan terdiam.
"Kau kenapa?"
Tatapan Oliv membuat Jonathan rindu akan semua tentang gadis itu. Namun berkat tatapan itu pula, Jonathan merasa lebih rileks. Pria itu menghela nafas panjang dan membungkukkan badannya untuk menjelaskan nomor 15 kepada gadis itu. Dia tidak ingin Oliv tahu perihal pertemuannya dengan Alva.
Melihat itu, alis Oliv terangkat. Dia sama sekali tidak memperhatikan penjelasan Jonathan, karena sejujurnya, Okuv sudah tahu semua jawabannya. Yang ia perhatikan justru ... shit. Betapa indahnya wajah itu jika sedang serius, dan dilihat dalam jarak sedekat ini. Oliv jadi tahu mengapa mahasiswi sangat suka bertanya jika dosennya adalah Jonathan.
Tidak tahan, Oliv mengecup pipi Honathan singkat.
Membuat pria itu merasakan jantungnya yang hampir melonjak dari tempatnya. Pria itu menoleh ke arah Oliv dan berbisik," Are you cra ..." ucapan Jonathan terpotong ketika Oliv mengecup bibirnya singkat. Pria itu menoleh ke sekitar dan bersyukur mahasiswa mahasiswanya sedang fokus pada pekerjaannya. Kini, tatapannya kembali ke arah Oliv yang sedang tersenyum lebar.
"Lihat, kau sedang tenang sekarang." ucap Oliv ketika menyadari bahwa Jonathan sudah kembali normal. Otot ototnya sudah melemas. Jonathan tersenyum dan mengelus kepala Oliv. Pria itu kembali memperhatikan mahasiswa mahasiswanya sejenak sebelum mendaratkan bibirnya di pipi Oliv, membuat Oliv semakin tersenyum lebar. Setelah itu, Jonathan menegakkan tubuhnya dan berkata,"Ms.Natasha!! Apa yang kau lakukan hingga kertasmu masih kosong sampai sekarang?! Kerjakan dengan benar!!"
Crap.
Senyuman Oliv langsung lenyap. Perkataan Jonathan membuat semua teman sekelasnya menatap Oliv dengan pandangan tak percaya. Wajah Oliv memerah, membuat Jonathan tersenyum geli dan berjalan kembali ke tempat duduknya. Jonathan bisa melihat bagaimana ekspresi Oliv yang seolah membunuhnya. Gadis itu membuka ponselnya dan mengirimkan pesan, yang ternyata membuat ponsel Jonathan bergetar.
To : Hot Daddy
From : Olivia
No hug, no kiss, no cuddle for daddy tonight.
"Damn" maki Jonathan. Oliv hanya tersenyum sinis kemudian menulis jawabannya di selembar kertas yang Jonathan bagikan. Setelah 20 menit, bel berakhirnya pelajaran berbunyi. Membuat mereka semua mengumpulkan pekerjaan mereka dan membereskan barang barang. Kemudian, mereka keluar dari kelas satu persatu. Meninggalkan Oliv yang masih menulis nama dan ID mahasiswanya.
Jonathan terkekeh kecil ketika Oliv berlari untuk mengumpulkan tugasnya,"Terlambat satu menit, denda sepuluh ciuman. Kau sudah terlambat mengumpulkan lima menit. Jadi dendamu lima puluh ciuman."
Oliv menghentikan langkahnya dan menatap Jonathan dengan matanya yang membulat,"WHAT?!"
Jonathan mengangguk dan mendudukkan tubuhnya di meja dosen,"Itu peraturan baruku.Khusus untukmu,Olivia!!"
Oliv memutar matanya tidak peduli, kemudian membereskan barang barangnya. Gadis itu segera membawa tasnya dan hendak keluar ketika kaki Jonathan terulur dan menghalangi jalannya.
"My honourable Mr.Marteen" ucap Oliv dengan wajah serius, dan bagi Jonathan, Oliv terlihat lebih menggemaskan dengan ekspresi wajah seperti itu.
"Yes, dear." Jonathan tersenyum.
"I said, no hug, no kiss, no cuddle" ucap Oliv membuat Jonathan mengangguk,"Well,"
Pria itu melompat dari duduknya dan berdiri di hadapan Oliv,"It's for your daddy, not Mr. Marteen, isn't it?"
Oliv terdiam. Membuat Jonathan berjalan ke arah pintu dan menutupnya dari dalam.
"Kau sudah gila. Ini di kampus. Bagaimana jika seseorang tiba tiba membuka pintu dan ..." ucapan Oliv terputus ketika Jonathan sudah melumat bibir Oliv, membuat gadis itu mendelik dan melepaskan ciumannya seraya melongok ke jendela,"Daddy!! Bagaimana jika ..."
Jonathan kembali memutus ucapan Oliv dengan melumat bibir tipisnya. Membuat Oliv akhirnya membalas ciuman Jonathan. Oliv melihat seseorang akan melewati kelas itu, membuat gadis itu dengan segera menarik tubuh Jonathan. Mereka berdua berjongkok hingga tak ada yang bisa melihat mereka.
"Dosen nakal." Oliv tertawa, membuat Jonathan menyeringai,"Untuk mahasiswa yang menggoda." Oliv meraih bibir Jonathan dan melumatnya, membuat Jonathan mendirong kepala Oliv ke belakang agar ciuman mereka semakin dalam. Gadis itu naik ke pangkuan Jonathan, lagi lagi merasa kegelian karena lidah Jonathan bermain di lehernya.
"Apakah kau tahu di mana Mr. Marteen?"
Oliv tersentak ketika mendengar suara seseorang diluar sana, memanggil nama Jonathan.
"Entahlah, tadi beliau mengajar di ruangan ini."
Oliv melongok sedikit, membuat matanya membulat,"Daddy!! Itu Alva!!" bisik Oliv membuat Jonathan ikutan melongok. Pria itu mendesah dan merapikan jas-nya.
"Ingat, tinggal 47 ciuman." ucap Jonathan membuat Oliv mendelik tak percaya,"Demi Tuhan, apakah kau serius, daddy?!"
"Sangat serius." Pria itu hendak berdiri ketika Oliv menahan lengannya. Gadis itu meraih kedua pipi Jonathan dan mengecup bibirnya berturut turut sampai 15 kali. Membuat Jonathan mendelik,"Apa apaan itu?"
"32 ciuman tersisa. Sudah sana!" suruh Oliv.
"What?? Itu sama sekali tak adil!! Tidak, aku mau minta tambahan!!" dengus Jonathan membuat Oliv menepuk dahinya,"Cepat keluar!! Alva mencarimu!!"
Jonathan mendengus kemudian berdiri. Pria itu menarik telapak tangan Oliv, membuat gadis itu membulatkan matanya tak percaya,"Daddy, apa yang kau lakukan?!"
Jonathan tidak mau menjawabnya. Pria itu membuka pintu dan menggandeng Oliv untuk menuju mobilnya,"Aku akan mengantarmu pulang. Kau tidak ada kuliah lagi,kan?"
Wajah Oliv memerah. Gadis itu berusaha keras menarik genggaman Jonathan namun tidak bisa.
"Daddy"
Jonathan menoleh dan mendapati Alva yang tengah berdiri tidak jauh di hadapannya. Semakin membuat Jonathan mengeratkan genggamannya karena tubuh Oliv yang tiba tiba bergetar.
"Mr. Marteen" Koreksi Jonathan dingin.
"Aku ingin berbicara kepadamu sebagai seorang anak dan seorang pria." ucap Alva seraya menatap mata Jonathan, membuat pria itu mendengus,"Aku tidak ingat jika aku punya anak"
Perkataan itu seolah menusuk jantung Alva. Dan perkataan itu juga seolah memukul kepala Oliv. Gadis itu mendongak dan menatap tajam Jonathan,"Kenapa kau harus berkata seperti itu?! Demi Tuhan, Mr. Marteen. Meskipun kau dosen terbaik disini, kau sungguh kekanak-kanakan!!"
Jonathan tersenyum miring,"Kenapa kau selalu membelanya?! Sungguh, kau membuatku marah, Oliv!!"
Oh, Ya Tuhan. Oliv bersyukur koridor sedang sepi saat ini.
"Aku tidak membelanya, dan kita sudah membicarakan masalah ini sebelumnya." ucap Oliv.
"Ayahmu tidak bisa melakukan itu karena kau tidak pantas diperlakukan seperti itu. Tapi dia?" Jonathan melirik sinis ke arah Alva saat ini menundukkan kepalanya.
"Mr.Marteen. Apapun kesalahan anak, dia tetaplah anak dan tak ada yang bisa memutusnya. Jika dia salah, kau harusnya membimbingnya hingga ia jadi benar. Bukan justru bersikap kekanak-kanakan seperti ini!" tegas Oliv membuat Jonathan tersenyum. Pria itu mengelus kepala Oliv dengan sayang kemudian menatap Alva tajam.
"Kau lihat?" Jonathan menghela nafas,"Bagaimana aku tidak begitu melindunginya jika dia selalu memarahiku karena ingin menghajar anakku sendiri?"
"Daddy ... "
"Ketika kau menghinanya, dia justru menyuruhku untuk peduli padamu. Lihat dirimu, Alva. Apakah kau sudah pantas berbuat seperti itu kepadanya?!" bentak Jonathan. Baiklah. Semua orang menyadari pertengkaran kecil ini.
"Cukup. Kita pulang. Kau sungguh akan mempermalukannya." Oliv berbisik seraya menahan lengan Jonathan. Membuat pria itu menutup matanya sejenak dan mengangguk,"Kita pulang."
Mereka hendak berbalik ketika Alva kembali mendongak,"Daddy, aku berjanji kau bisa menghajarku sampai aku tak sanggup lagi untuk bernafas. Tapi ku mohon, dengarkan aku."
Tangan Jonathan mengepal, membuat Oliv menatapnya khawatir,"Aku akan tunggu di mobil,okey?!"
Oliv berlari untuk memberi ruang bagi Alva dan Jonathan. Jonathan memberi kode untuk Alva agar pria itu masuk ke dalam ruang kelas tempat mengajar tadi. Kemudian, Jonathan menutup pintunya dan duduk di hadapan Alva. Alva yang tampak menghela nafas berkali kali seraya menggigit bibir bawahnya gugup.
"Apakah kau akan terus diam seperti itu?" ucap Jonathan dingin,"Kau benar benar membuang buang waktuku."
Alva menarik nafas panjang lagi dan menatap mata coklat Jonathan yang tampak marah,"Aku tahu, aku salah."
Pria itu kembali menarik nafas,"Aku terlalu emosi dan tidak bisa berfikir jernih. Aku hanya benci melihat fakta bahwa ia menjadi barang sentuhan pria lain. Aku tidak bisa menerimanya karena aku mencintainya. Aku mencintainya, hingga hatiku merasa terhina melihatnya dengan orang lain"
Hati Jonathan memanas,"Kau mencintainya?? Tidak. Kau hanya benci melihat orang lain mencuri barangmu. Kau selalu begitu, Alva. Kau melihat wanita sebagai sebuah barang yang hanya boleh kau sentuh. Kemudian kau akan merusak barang itu karena orang lain sudah menyentuhnya, karena bekas, kau berpikir bahwa kau pantas merusaknya. Kau sungguh egois, Alva. Kau sungguh berpikir tentang ego dan harga dirimu tanpa melihat orang lain bisa terluka karena perbuatanmu!!"
Alva menundukkan kepalanya,"Daddy, aku minta maaf. Aku sungguh menyesal."
"Apakah penyesalanmu akan memperbaikinya kembali? Apakah ketika kau memecahkan cermin, cermin itu akan kembali utuh dengan sendirinya?" ucap Jonathan.
"Kau benar benar sudah menghancurkannya hingga ke kepingan paling terkecil, Alva."
Jonathan teringat bagaimana Oliv harus ditampar dan dipukul oleh ayah kandungnya dulu. Oliv akan menangis kepada Jonathan hingga gadis itu tertidur. Jonathan sudah cukup senang melihat tawa Oliv yang kembali muncul karena Alva. Meskipun Jonathan benar benar ingin menjadi alasan Oliv untuk selalu tertawa.
Dan bagaimana hati Jonathan tidak sakit ketika lagi lagi, Oliv harus dihancurkan dengan cara yang sama, namun kali ini di tangan anaknya sendiri??
"Luka di tubuhnya mungkin akan sembuh dan mengering dalam beberapa hari. Tapi, pernahkah kau berpikir tentang luka di hatinya?? Seberapa lama ia butuh waktu untuk menjahit sendiri luka itu??"
Alva terdiam di hadapan Jonathan. Pria itu merasakan betapa jantungnya seolah terhujam ribuan pedang tajam yang sanggup membuatnya kehilangan oksigen. Dia juga tidak tahu harus mengatakan apa lagi.
"Aku tahu, aku tidak bisa termaafkan. Aku sungguh menyesal, daddy. Aku benar benar menyesal hingga rasanya aku ingin mati." ucap Alva frustasi. Pria itu menjambak rambutnya sendiri, hingga setetes air mata membasahi pipinya. Ya, Alva Marteen kembali menangis karena seorang gadis. Gadis yang sama, yang juga membuat seorang Jonathan Marteen menangis.
"Aku tidak yakin dia bisa melupakannya. Tapi, minta maaflah." ucap Jonathan. Pria itu menatap Alva dan tersenyum tipis seraya menepuk bahu pria itu.
"Jika kau memang pria sejati, minta maaflah. Minta maaflah dan kembali kejar dia. Buat dia kembali mempercayaimu dengan cara yang halus. cara yang membuatnya merasa sebagai seorang putri setiap harinya." Jonathan kembali menepuk bahu Alva,"Apabila itu berhasil, maka jangan pernah sekalipun menyakitinya lagi" Dan mari kita bersaing secara sehat, Alva Marteen.
Alva tersenyum lebar dan memeluk ayahnya. Ayahnya yang tetap ia banggakan. Ayahnya yang begitu bijaksana.
"Terima kasih, Dad." ucap Alva, membuat Jonathan menepuk punggung pria itu secara jantan.
"Apakah kau mau membantuku?" tanya Alva.
Jonathan tersenyum dan mengangguk.