"Tuan putri anda sudah sadar?" tanya orang di depanku.
"Ha? Aku ada dimana Ming?" Tanyaku pada tabib yang ada didepanku. Mengapa semua terasa bergerak?
"Kita dalam perjalan. Tuan itu, memintaku ikut denganmu."
Tuan itu? Oh raja itu?
"Anda terluka sangat parah. Orang yang ingin membunuh anda, sudah dibunuh oleh Tuan. Luka anda benar-benar mengerikan. Anda beruntung bisa selamat."
Beruntung? Apa itu beruntung. Aku selamat karena memang aku tidak bisa mati. Sementara orang lain, pasti sudah terlegetak mendapat serangan sebrutal itu.
"Aku kan memberi tahu Tuan" katanya.
Aku ingin menahannya, tapi ia terlanjur berteriak dan memanggil Raja Artha Pura, yang bahkan aku tak ingat siapa nama kecilnya.
"Tuan, apa anda ingin menlihat keadannya?" kata Ming. Kereta kuda berhenti. Ming keluar dan Raja itu masuk ke dalam.
"Syukurlah kau sudah bangun."katanya.
"Kau tahu bukan aku tidak akan mati."
"Benar, tapi bukan berarti tibak bisa sakit. Jawabnya cepat. Ia menyuruh kusir menjalankan kembali kereta kuda ini. Ia akan duduk di sini?
"Kita akan sampai sore ini. Tiba di pelabuhan, kapal sudah siap dan kita akan segara berlayar. Hanya saja aku dengar, penjangagan makin ketat. Makin banyak orang yang mengenali wajahmu. Aku takut ini akan menyulitkan kita."
"Apa kau yang memaksa Ming ikut?" tanyaku.
"Ming? Tabib itukah yang kau maksud?" tanyanya. "Jika aku meninggalkannya, maka ia kan segara dibunuh karena tak membantu orang itu membunuhmu. Saat ini, kau adalah musuh kerajaan. Siapapun yang melindunimu akan akan dikejar juga. Lagi pula Ming sepertinya orang baik. Kita bisa memperkerjakannya di istanaku nanti."
Aku mengerti keadannya sekarang. Sesaat kami saling diam dalam keheningan. Sampai Ming memberitahu, ada sebuah penginaman besar di depan.
"Kita akan menginap?"
"Tidak, tapi kita perlu mengganti perban ditubuhmu dan kita juga perlu makan. Aku akan memeriksa apa tempat itu aman atau tidak. Tunggulah di sini."
Setelah Raja Artja Pura meninggalkan kereta, aku membuka jendela dan meminta Ming mendekat.
"Tuan Putri, apa yang bisa kubantu?"
"Kita akan pergi ke tempat yang jauh. Apa kau yakin akan ikut dengan kami? Jika kau keberatan aku bisa membebaskanmu sekarang."
Ming terkejut.
"Yang Mulia, jangan bicara seperti itu. Aku suka berada dicdekatmu dan melayanimu. Aku akan ikut ke mana kau pergi. Mengapa anda bilang seperti itu?"
"Karena mungkin, kita tidak akan pernah kembali lagi ke sini."
Wajah Ming berubah. Sepertinya Raja Artha Pura tidak pernah mengatakan apapun pada Ming.
"Bagaimana?"
"Tuan Putri, jika kau tak suka tinggal di sini, bukanlah masalah besar bagiku untuk mengikutimu kecmana pun kau pergi. Tolong jangan usir aku."
Pembicaraan kami berhenti saat Raja Artha Pura Kembali.
"Ming bantu Siane turun" perintahnya. "Aku tak membawa banyak pelayan agar tak menimbulkan kecurigaan. Sementara aku dan Ming yang kan membantumu untuk segala hal. Kita akan ganti perbannya di kamar."
Mengganti perban, sepertinya luka ini sudah tidak perlu diperban. Jika Ming tahu, aku sudah sembuh ia akan curiga.
"Aku bisa menggantinya sendiri. Berikan padaku."
Mig tertegun. "Yang Mulia, apa kau yakin? Sebelumnya bahkan untuk menyisir rambut kau meminta orang lain melakukannya untukmu."
"Keadaan sudah berbeda sekarang. Aku akan melakukannya sendiri."
Tak bisa membantah Ming memebrikan perban padaku. Aku hanya duduk dan meletakkannya di atas meja. Aku melihat luka-luka ku sudah mengering. Aku hanya duduk di lantai.
"Aku akan masuk" kata Raja Artha Pura.
Ia membawa baju pelayan dan memintaku memakainya. "Kita kan menyamar dengan ini. Tinggal sekidit lagi kita akan melewati beberapa pos penjagaan. Pakailah, tak akan ada yang curiga." Katanya yakin.
Aku mengambil pakaian itu. Ini terlalu rapi. Apa aku akan bisa dengan mudah melewati penjagaan dengan pakaian ini?
"Permisi, saya mengantarkan makanan" teriak seseorang di luar kamar.
"Oh serahkan saja pada saya" suara Ming kepada orang itu.
Pelayan itu menolak. Alasannya, ia diminta untuk memberikan makanan itu secara langsung pada Nyonya yang berada di dalam. Aku?
"Ada yang tidak beres Yang Mulia." Bisikku pada Raja.
"Hanya seorang wanita, aku bisa membunuhnya." Bisik pria disampingku. "Satu lagi kau bisa memanggilku Ren"
Ia bangkit dan membukakan pintu. Pelayan wanita itu masuk. Ming mengikutinya dari belakang.
"Yang Mulia? Apakah itu kau?" tanya pelayan itu.
Ia berjalan mendekatiku dan meletakkan makanan di meja.
"Kudengar seseorang menyebutku Yang Mulia, apa aku tidak salah dengar?"
Dia tertawa. "Yang Mulia, mungkin anda lupa. Tapi, saya pernah menjadi pelayan anda sebelum anda membuang saya. Aku adalah Ho Ling Tien. Apa anda ingat?"
"Tidak" jawabku. "Terlalu banyak orang yang mengaku-ngaku akhir akhir ini. Apa maumu? Uang? Aku tak memilikinya."
Dia tertawa. "Uang? Aku tak tertarik dengan mereka. Tapi aku tertarik dengan nyawa anda. Ku dengar harganya sama dengan sebuah tahta Permaisuri. Aku jadi penasaran, sehebat apa anda? Kebetulan sekali. Saat aku mengantarkan tamu, tak sengaja melihatmu. Aku jadi semakin bernafsu membunuhmu. Apa lagi, kau sedang tidak sehat!"
'ha ha ha ha " satu lagi pemburu tahta. "Ho Ling Tien, Ming catat namanya. Agar kita mudah memakamkannya."
Geram, ia menyerangku degan brutal. Raja Artha Pura meraihnya dan melukainya dengan mudah. Ia terlihat kesakitan dan tersungkur ke tanah. Apa hanya begini saja? mulutnya kebih besar dari pada nyalinya.
"Apa yang kau tertawakan Putri durhaka?" teriaknya.
"Aku berfikir, dari mana kau dapatkan keberanian untuk memprovokasiku. Lihat kau bahkan selemah ini."
"Tutup mulutmu!"
Ia bangkit dan Raja Artha Pura melindungiku.
"Mengapa kau melindunginya? Apa yang ia berikan untukmu? Apa ia mengizinkamu tidur denganya."
Plakk! Raja Artha Pura menampar wanita itu. Ia terlihat sangat kesal dan membabi buta menyerang wanita itu hingga tak berdaya.
"Nona, tak heran mengapa kau diasingkan Tuan Putri, mulutmu tak secantik wajahmu. Biar ku beritahu, aku adalah suaminya!"
Ia terbelalak.
"Ha ha ha ha, lucu sekali!" katanya. "Selera Tuan Putri akan serendah ini, kau menikah dengan pengawalmu sendiri."
"Mulut besar! Jika aku jadi kau, aku akan tutup mulutku. Mengingat nyawamu sudah ditangan kami."
Aku menghentikan Ming.
"Ming, wanita seperti dia, tak perlu kau ladeni. Ia akan segera mati. Apa gunanya berdebat dengannya?"
Aku mendekati wanita itu.
"Kalaupun aku mati, semua orang akan sadar, bahwa aku dibunuh olehmu. Asal kau tahu, sebelum ke sini, aku sudah memberitahu pada semua petugas agar mereka menyerang jika dalam satu jam aku tak kembali. Kalian tidak akan keluar hidup-hidup. Aku yakin, orang-orang dari istana juga sudah mulai mengepung tempat ini."
"Oh begitu? Membuat pusing saja." kataku. Tiba-tiba saja sebuah ide terlintas di benakku.
"Yang Mulia, kau bisa membunuhnya sekarang!"
"Tidak!!!!" teriak wanita itu. Aku mengambil baju pelayan dan meminta Ming keluar. Aku siap dengan rencanaku