CERITA IBU DWI ( MAMA ERIKA)
"Bu Dwi??"
Suara suster menyapaku pelan sambil menepuk pundakku saat aku sibuk berjaga di samping tempat tidur Lintang yang saat ini sedang tertidur lelap di bawah pengaruh obat penenang. Aku menoleh ke samping dengan wajah kuatir. Penampilanku pasti berantakan sekali waktu itu tapi aku tak peduli. Sementara Bang Solihin dan Bang Bajo sedang menunggu di luar ruangan dengan sabar.
"Ini dokter Eko mau bicara dengan ibu seputar hasil pemeriksaan Bu Lintang…"
Seorang pria berwajah ramah dan simpatik lalu menghampiriku sambil berjabat tangan untuk memperkenalkan dirinya. Setelah tadi ia memeriksa keadaan Lintang cukup lama dan melakukan beberapa prosedur check up medis lainnya. Tak lama kemudian, beliau menunjukkan hasil foto dari ginjal dan saluran kemih Lintang kepadaku. Walaupun aku sama sekali tidak mengerti seputar dunia medis tapi dengan melihat beberapa gambar bundar berwarna hitam di bagian ginjal dan kandung kemih Lintang, aku tahu kalau sahabatku ini tengah memiliki masalah kesehatan yang cukup serius.
"Ibu Lintang memiliki gangguan kesehatan di saluran pencernaannya terutama di bagian ginjal dan saluran kemihnya. Dari hasil foto yang kami dapatkan, ada beberapa batu yang berukuran cukup besar di kantung kemihnya. Belum lagi ternyata salah satu dari 2 ginjalnya ternyata sudah hampir tidak bisa berfungsi lagi….." terang Dokter Eko dengan sabar sambil menunjukkan beberapa hasil foto radiologi kepadaku.
Tanpa terasa, mataku mulai berkaca-kaca dan suara dokter terasa semakin lambat di telingaku saat mataku kembali beralih pada tubuh Lintang yang sedang tertidur pulas di atas ranjang rumah sakit.
Ya Tuhan, sebegitu besarkah penderitaannya saat mengurus kami? Para pedagang Pasar Dukuh?
Dan tidak pernah sekalipun aku mendengarnya mengeluh tentang penyakitnya ini.
Sudah lebih dari 30 tahun kami bersahabat dari SMP dan Lintang selalu menjagaku dari garis belakang. Saat suamiku meninggal karena sakit kanker, ia juga yang membantuku untuk mendapat lapak di Pasar Dukuh dengan sangat cepat dan juga mengenalkan beberapa kenalannya yang memiliki bisnis kuliner serta merekomendasikan barang-barang daganganku kepada mereka sehingga kedua anakku tetap bisa bersekolah dan aku masih punya harga diri untuk menapak di atas kakiku sendiri sebagai seorang perempuan mandiri.
Di balik penampakannya yang sangar, hatinya sebenarnya sangat perasa dan lembut. Ia juga sangat adil dan bijaksana saat menentukan sikap untuk semua hal yang berada di bawah tanggung jawabnya. Termasuk Pasar Dukuh. Dan ia akan selalu begitu.
Sayang, tak semua orang memahami sisi ini pada dirinya.
Ia hanya menunjukkan sisi ini hanya pada orang-orang terdekatnya, termasuk aku.
Setiap kali anak-anakku menjelek-jelekkan Lintang karena sikap kasarnya, aku hanya bisa mengelus dada. Ya Tuhan, seandainya mereka tahu siapa yang berjuang mati-matian sehingga kita semua bisa berdagang dengan aman di Pasar Dukuh. Seandainya mereka tahu siapa yang berani pasang badan untuk menghadapi preman-preman bajingan dari luar Pasar Dukuh, tentu mulut mereka tidak akan sejahat itu padanya. Seandainya mereka tahu siapa yang di waktu panas terik dan hujan tetap teguh mengawasi para pekerja dan tukang sampah untuk tetap jeli membersihkan setiap sudut Pasar Dukuh sehingga para pembeli bisa berbelanja dengan nyaman.
Sementara untuk kasus Pak Said, aku hanya bisa bisa bersyukur ketika bandot tua itu terusir keluar dari Pasar Dukuh. Tak banyak yang tahu kalau ia seringkali mengakali batu timbangan dan menipu para pembelinya. Belum lagi, ia bekerjasama dengan para preman di luar Pasar Dukuh untuk mengutip pungli serta diam-diam meminta bagi hasil setiap bulannya. Ah, anak-anakku seandainya kamu tahu kalau Tante Lintang yang kamu hujat setiap harinya itu adalah seorang yang berwajah iblis tapi berhati malaikat…
Kini, aku hanya bisa berserah dan berdoa di sampingmu, Lintang. Cepatlah sembuh dan kembali ke sisi kami.
..............
ERIKA
Ibu pulang sore itu dengan wajah lelah. Aku tidak banyak bicara dan hanya membuatkan segelas teh manis hangat untuk mengusir rasa penatnya. Ketika aku menanyakan kondisi terbaru Tante Lintang, ibu tidak banyak berkomentar dan hanya mengelus kepalaku lembut dengan mata memerah sambil berkata, "Doakan beliau saja ya, Ka?"
Aku hanya bisa mengangguk kecil.
............….
DI RUMAH SAKIT ( TANTE LINTANG )
Semua orang mengiraku sedang tertidur pulas termasuk Dwi yang sedang berjaga di sampingku. Tidak ada yang mengetahui kalau aku sebenarnya mengetahui semua hal yang Dokter Eko bicarakan tentang masalah kesehatanku. Termasuk soal kondisi ginjal dan kantung kemihku. Aku sebenarku sudah tahu tentang itu lama sekali tapi aku tak pernah cerita kepada siapapun. Sejak dulu, aku punya prinsip untuk tidak mau jadi beban untuk orang lain. Termasuk juga untuk masalah penyakitku.
Cukup aku saja yang mengetahui dan mencari tahu bagaimana cara mengobatinya dengan biaya semurah mungkin. Kasihan para pedagang Pasar Dukuh itu kalau mereka tahu jika aku sedang sakit. Belum lagi para preman bajingan yang selalu mencari kesempatan untuk mengambil pungutan liar dari para pedagang di bawah binaanku.
Tentang Dwi, aku selalu salut padanya. Menurutku, ia adalah salah satu perempuan paling kuat yang aku pernah tahu. Walaupun suaminya sudah meninggal karena penyakit kanker paru-parunya. Ia menolak untuk menyerah dan terus berjuang melalui apa yang ia bisa. Aku tahu ia mewarisi bakat memasak dari ibunya dan ia seringkali membuatkan bumbu-bumbu dapur serba guna untukku dari dulu sehingga hasil masakanku selalu enak. Karena itu, kumasukkan ia ke Pasar Dukuh supaya ia bisa menyokong dirinya sendiri dan anak-anaknya. Dan, ia membuktikannya!!
Tentang Pak Said, aku sudah lama mengetahui semua trik kotornya dan semakin lama, ia semakin kebablasan saat melakukan semua aksi curangnya kepada para pembeli di Pasar Dukuh. Sekali, dua kali, dan bahkan belasan kali sudah kutegur ia. Sayang, semua teguranku memang dianggap angin sepoi-sepoi olehnya. Terakhir, tanpa melihat statusnya sebagai salah satu pedagang senior di Pasar Dukuh, aku menendangnya keluar tanpa ampun!!
Dulu, sebelum ayahku meninggal, ia mewariskan Pasar Dukuh ini untuk dijaga dan dikelola olehku.
"Ini warisan keluarga kita, Lin. Tolong dijaga baik-baik…"
Kupegang amanat dan tanggung jawab itu dengan sepenuh hatiku. Kujaga janji dan komitmen itu tanpa ragu walaupun konsekuensi yang kutanggung sekarang sangat besar.
Tidak apa. Aku ikhlas.
Tuhan, ini doaku. Singkat dan sederhana. Tugasku belum selesai dan biarlah Kau panjangkan umur serta kesehatanku.
............….
BANG DIRMAN, BANG BAJO, DAN BANG SOLIHIN
Mata kami memerah sore itu setelah Bu Dwi menceritakan masalah kesehatan Bu Lintang. Dengan sangat hati-hati, kami pandu dan tuntun beliau kembali ke rumahnya yang asri. Kami berpura-pura bersikap biasa di hadapan beliau padahal hati kami menjerit karena kuatir. Kami tahu kalau ibu tidak pernah mau membebani kami dengan penyakit beliau. Sudah beberapa kali kami melihat Bu Lintang mengernyit nyeri sambil memegangi pinggangnya untuk menahan rasa sakitnya.
Tapi ibu bagaikan pohon beringin untuk kami. Beliau tetap kuat dan tetap menaungi kami dengan rimbun daunnya walaupun dilanda badai hebat sekalipun. Bu Lintang juga yang mengangkat dan membantu membiayai biaya pendidikan anak-anak kami ketika dulu kami sedang sibuk luntang lantung dan menggembel di jalanan sambil berkelahi berebut uang receh.
Kini, nasib kami jauh lebih baik. Anak dan istri kami bisa makan kenyang setiap hari karena gaji bulanan yang selalu ibu berikan tepat waktu. Ibu juga yang mengingatkan kami untuk selalu rajin sholat dan jangan lupa ibadah masjid.
Muka ibu memang bengis dan galak tapi beliau adalah pelindung yang setia. Terutama bagi orang-orang yang ia sangat percaya dan dekat dengannya.
Melihat keadaan ibu sekarang, kami hanya bisa berdoa dan berharap dalam hati. Semoga Tuhan selalu memberkati dan menjaga kesehatan beliau.
Cepatlah sembuh, Bu. Kami membutuhkanmu.