Keesokan harinya, aku bangun pagi-pagi sekali. Aku duduk sebentar di tempat tidur, menatap ke bawah dengan hampa seolah-olah jiwaku masih tertinggal dalam mimpi buruk sebelum akhirnya kembali tersadar, dan berbalik untuk melihat Donghae perlahan yang masih tertidur di sampingku.
Saat aku hendak turun dari tempat tidur, Donghae terdengar menggumamkan namaku dengan suara pelan namun masih terdengar jelas di telingaku. Aku tersenyum, lalu diam-diam mencium keningnya. Khawatir jika sedikit sentuhan akan membangunkannya, jadi aku segera mengangkat kepalaku sambil berkata dengan suara berbisik, "Donghae, selamat datang."
Setelah itu, aku turun dari tempat tidur, lalu berjalan ke kamar mandi untuk mandi. Aku berjalan seperti pengantin, melangkah perlahan dengan berat. Hanya saja para pengantin akan tersenyum saat mereka berjalan menuju altar, sementara aku harus menahan rasa sakit di tubuh dan jiwaku sambil terus membawa kakiku seolah-olah baru saja dihancurkan.
Beberapa menit kemudian, setelah mandi, karena aku masih harus bekerja hari ini, aku segera menyiapkan sarapan untuk kami berdua sebelum membangunkan Donghae.
Hari ini semuanya terasa sangat normal. Tidak ada pertengkaran di antara kami. Ia juga kembali tepat waktu setelah bekerja di Daejeon sepanjang hari dan kembali di malam hari dengan suasana hati yang baik.
Keadaan ini berlangsung selama beberapa hari berikutnya hingga ia memutuskan untuk tinggal di rumah dan mengambil cuti beberapa hari.
Di musim gugur, bintang di pagi hari jarang terlihat. Hanya ada awan gelap menutupi langit seolah hujan lebat akan turun selama beberapa hari.
Namun, cuaca bukanlah sesuatu yang bisa diprediksi. Selama beberapa hari terakhir ini, awan gelap hanya membawa udara dingin dan seolah membawa kabar bahwa musim dingin telah tiba di akhir bulan.
Di apartemen, aku keluar dari kamar tidur dengan tergesa-gesa. Namun, saat hendak melewati ruang tamu, aku seketika terhenti saat melihat Donghae yang sedang duduk di sofa sambil menonton acara TV dengan tatapan serius seolah-olah ada kesusahan yang berusaha ia tekan.
Selama beberapa hari ini, Donghae dan aku menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Setelah menyelesaikan pekerjaannya sekitar dua hari yang lalu, ia berkata bahwa ia tidak akan pergi ke Daejeon selama beberapa hari.
"Apa kau tidak ke mana-mana hari ini?" Aku bertanya sambil tersenyum, tapi dalam hatiku sendiri, aku sedang mengejeknya sekarang.
Ia menoleh ke arahku sambil tersenyum, lalu berdiri dan segera mendekatiku. Ia menyentuh wajahku sambil bertanya, "Apa kau akan berangkat kerja? Hari ini, aku masih ingin tinggal di sini bersamamu, tidakkah kau ingin menghabiskan sepanjang hari denganku?"
Ia menatapku dalam-dalam, seolah tatapannya akan menjadi sihir yang akan mengubah pikiran seseorang. Suara akrabnya adalah sesuatu yang lembut dan menggoda. Orang yang pertama kali mendengarnya akan berpikir bahwa ia adalah orang yang menggemaskan yang memiliki tingkat sensualitas yang kuat, yang mematikan, dan akan menjerumuskan seseorang ke dalam kehangatan yang tak terbatas.
Namun bagiku, semuanya menjadi hal yang menyakitkan. Aku hanya mencoba untuk pulih dari semua itu.
Aku menyeringai. Sambil memegang tangannya yang menyentuh wajahku, aku berbicara dengan penuh kasih sayang, seolah-olah aku tidak menyisihkan semua kasih sayang yang ada di dalam diriku.
"Aku harus pergi. Selama aku di rumah sakit dan ketika aku kembali, bosku telah memberiku banyak kebijakan. Ia memberiki libur seminggu. Dan jika aku menambah hari lagi, aku akan menjadi orang yang tidak tahu berterima kasih. Kau lebih baik makan siang di luar, oke?"
Ia menatapku sejenak sebelum memeluk tubuhku dengan hangat sambil berkata, "Hmm, baiklah, tapi kau harus segera kembali setelah pekerjaanmu selesai. Jangan memaksakan dirimu terlalu keras. Jangan membuatku menunggu terlalu lama."
Mendengar kalimat terakhirnya, sesuatu yang tajam langsung menembus hatiku. Aku mengepalkan tanganku erat-erat dan membenamkan wajahku di dadanya, menahan rasa sakit yang menusuk hatiku.
Setelah pelukan hangat itu, saat aku hendak pergi, ia berseru sekali lagi, "Tunggu! Biarkan aku mengantarmu. Aku akan mengambil jaketku dulu."
Ia bergegas masuk ke kamar tidur dan kembali dengan jaket hitamnya yang hangat, lalu ia pun segera mengantarku.
Dalam perjalanan, kami tidak banyak melakukan pembicaraan, seperti pasangan yang baru saja melakukan kencan pertama dan ada momen canggung di antara mereka.
Aku pikir, dengan Donghae yang mengantarkanku pagi ini, ia akan berbicara mengenai banyak hal menarik di pekerjaannya atau akan menemukan alasan mengapa ia tidak kembali dalam beberapa bulan terakhir, tetapi itu jauh dari harapanku.
Apakah ia menungguku untuk mengatakan sesuatu? Tapi, mengapa aku harus menjadi yang pertama, sementara aku telah menunggunya selama ini hingga musim panas telah berlalu?
Aku sebenarnya ingin mendengar sepenggal cerita mengenai banyak hal darinya. Apa yang ia lakukan selama ini? Mengapa ia baru saja kembali? Mengapa ia tidak memberi tahuku sebelumnya? Dan ... pemuda yang bersamanya saat itu ... apa hubungan mereka?
Aku tidak benar-benar peduli mengenai kebohongan yang akan ia sampaikan kepadaku. Tapi paling tidak, percakapan itu akan mampu mengisi waktu yang terbuang percuma dalam kecanggungan ini daripada terdiam secara terus menerus, membuang waktu dalam kesunyian yang sia-sia.
Itu sama menyakitkannya seperti ketika ia pergi dan menghilang, lalu kembali sesuka hatinya.
Setelah lama berunding di dalam hati, akhirnya keberanianku terkumpul. Aku menoleh ke arahnya, dan terdiam sejenak sebelum bertanya, "Um, Donghae, Maukah kau ... maukah kau pergi bersamaku ke Festival Kembang Api hari Minggu?"
"Yang diadakan Pohang itu?" Donghae bertanya, tanpa menoleh ke arahku.
Aku pun segera melebarkan mataku. Aku sedikit terkejut ketika ia mengetahui di mana letak festival ini itu akan diadakan, dan itu berarti ia telah mengetahui hal itu sebelumnya.
Aku berkata dengan wajah tersenyum, "Ya. Jika kau tidak sibuk, maukah kau pergi denganku? Sudah lama sejak kita pergi bersama ...."