Wijaya karta. Sebuah ibu kota megah di kerajaan sengkaling. Merupakan pemandangan umum layaknya sebuah ibu kota kerajaan. Bangunan yang megah, jalanan yang ramai, orang yang ber lalu lalang.
Kuda yang menarik kereta kencana milik orang kaya atau orang berpengaruh. Kerbau kerbau yang menarik pedati yang menyangkut banyak jenis barang. Memenuhi jalanan yang bersimpang-simpang.
Di pusat kota, alun-alun yang luas di kelilingi pohon beringin. Di selatanya berdiri lapak-lapak pedagang yang menjajakan berbagai macam barang untuk di jual. Di sebelah utara alun-alun, istana yang megah berdiri dengan angkuhnya. Di sekelilingnya di pagari didnding setinggi Lima orang dewasa. Sementara, diatas didinding para penjaga berdiri mematung solah tak peduli dengan apa yang terjadi disekitarnya. Hanya kewaspadaan pada ancaman yang mungkin terjadi.
Gapura istana yang lebar, tersusun dari balok yang terbuat dari batu granit hitam yang besar. Besar tiap baloknya setinggi lutut orang dewasa. Pintu gerbang istana terbuat dari baja hitam dengan ukiran emas yang menghiasinya. Di kanan kiri gapura, sepasang arca yaksa yang memanggul gadha besar menghadap kearah alun-alun. Mengintimidasi dan angkuh. Sementara di depan gapura, tujuh penjaga tampak waspada mengamati area sekitarnya.
Sementara itu, di seberang alun-alun. Sebuah kedai makan yang ramai dengan pengunjung keluar masuk dari kedai itu. Disudut kedai tiga orang pria duduk mengelilingi meja dengan beberapa jenis makanan dan tuak di atasnya.
"Sepertinya berita itu benar" gumam pria berpakaian seperti saudagar. "Kita harus segera melaporkannya pada baginda" lanjutnya.
"Apa itu sudah di konfirmasi? Jika memang begitu ini benar-benar tidak bisa dihindari." Gumam pria lain yang berpakaian seperti seorang pengembara. "Ki Pronojiwo, bagaimana menurutmu?" Tanyanya pada pria paruh baya di sebelah nya.
Pria paruh Baya yang di panggil ki Pronojiwo itu diam sembari menyeruput tuak yang ada di cawannya. Dia memejamkan matanya sejenak kemudian membukanya dan menyapu pandangan pada dua pria lainya.
"Apa dia belum datang juga?" Tanyanya dengan nada datar "sperti yang kita lihat, kondisinya masih samar." Lanjutnya "tidak terlihat persiapan apapun di sengkaling ini. Bahkan tidak terlihat aktivitas yang mencurigakan di ibukota"
"Namun kita tidak boleh lengah begitu saja." Tandas si saudagar
"Itu benar ki" sambung si pendekar.
Ki Pronojiwo kembali terdiam sejenak. Kemudian dia mengeluarkan surat lontar dari balik bajunya. Sambil meletakkan di atas meja dia berkata "kita tunggu konfimasinya. Berdasarkan surat ini, pangeran Rupaksa mempersiapkan perang secara sembunyi-sembunyi atas perintah Maharaja Sengkaling untuk menyerang Madukara. Jika berita itu benar, maka jelas tujuan mereka adalah tanah suci Purwa Kencana"
Si pendekar mengangguk "tanah suci Purwa kencana yang ada di negara Purwaka adalah tujuan dari banyak negri untuk di kuasai karena disana titah dewa pertama berada"
Sang saudagar tampak resah "selama ini Purwaka Dan Madukara adalah saudara. Kedua negri ini sudah mengalami sejarah panjang. Madukara selalu menjadi tameng bagi Purwaka, dan Purwaka menyediakan banyak kebutuhan untuk Madukara" ucap saudagar sembari menggelengkan kepalanya.
....
Di jalan yang berdebu, para pedagang menjajakan berbagai jenis barang. Seorang gadis dengan menggunakan penutup kepala, berjalan dengan tergesa-gesa. Sesekali dia menengok ke belakang.
Sesampainya di sudut alun-alun, gadis itu berhenti sejenak, sembari mengamati situasi, perlahan dia berjalan menuju kedai tempat ke tiga orang itu berada. Dia tidak langsung masuk kedalam kedai. Tapi menuju belakang kedai.
Di belakang kedai, gadis itu menemui seoran pemuda yang tampak seperti seorang pelayan.
....
Dia dalam kedai, ketiga orang itu masih dalam keadaan serius sebelum seorang pelayan mendekati mereka dan meletakkan piring yang berisi makanan ringan.
Setelah meltakkan makanan pelayan itu mengguma kan beberapa kata, kemudian kembali ke dapur.
Wajah ketiga orang itu seketika muram. Tanpa berkata-kata ketiganya saling berpandangan.
Sang pendekar tampak waspada. Di genggamnya erat tombak disampingnya. Keadaan itu berlangsung singkat kemudian ketiganya bergegas meninggalkan kedai itu.
"Sepertinya kita sudah ketahuan." Ucap saudagar sembari berjalan tergesa-gesa.
"Jika beginj keadaanya, kita harus segera meninggalkan sengkaling"
"Kau benar" kata pendekar sembari mengamati keadaan sambil terus berjalan.
"Nampaknya perang tak dapat dihindari..." Ki Pronojiwo mendesah "sebaiknya kita berpencar. Apapun yang terjadi kita harus menyampaikan berita ini kepada paduka."
"Bagaimana dengan orang-orang kita?" Tanya pendekar pada Ki Pronojiwo
"Tampaknya ada penghianat diantar kita. Kita tidak bisa menunda waktu lagi. Tumenggung Adiyaksa, segera kembalilah ke madukara aku akan memgalihkan perhatian mereka." Perintah Pronojiwo kepada pedagang itu
"Tapi ki....." belum sempat si pedagang alias Tumenggung Adiyaksa melanjutkan kata-katanya, sekelompok besar prajurit berjalan kearah mereka dari berbagai arah. Para prajurit itu di pimpin sorang pria kekar yang menaiki kuda putih. Semua yang di pakainya pun berwarna putih.
"Tumenggung Cakra Seta." Ki Pronojiwo mengenal pemimpin prajurit itu
"Ha ha ha..." Tumenggung Cakra Seta tertawa melihat Ki Pronojiwo "Ternyata Wong Agung dari madukara berkunjung ke negri kami" sambil terkekeh Tumenggung Cakra Seta turun dari kudanya dan memberikan penghormatan yang terlihat tulus pada Ki Pronojiwo.
"Aku sedang dalam perjalanan dan kebetulan lewat. Jadi sekalian aki mampir sambil menikmati tuak di kedai." Ki Pronojiwo bersikap tenang dan membalas penghormatan Tumenggung Cakra Seta.
"Kalo cuma sekedar tuak, kenapa Ki Pronojiwo tidak mampir ketempatku saja. Dijamin pasti puas, dan Ki Pronojiwo tak perlu keluar uang" sambil tersenyum Tumenggung Adiyaksa berjalan ke arah Ki Pronojiwo.
"Terimakasih atas kebaikan Tumenggung. Aku hanya numpang lewat dan kangen suasana alun-alun sengkaling" jawab Ki Pronojiwo
"Oh jadi seperti itu." Tumenggung Adiyaksa seolah mencoba memahami sembari menganggukan kepalanya. Kemudian meliha kearah alun yang ramai. "Yah memang suasana alun-alun sengkaling selalu menyenangkan. Dan siapapun yang pernah kesini pasti ingin kembali lagi." Lanjutnya sembari menoleh kearah Ki Pronojiwo.
"Yah memang begitulah adanya. Apalgi kedai tuak di pojom alun-alun itu. Tuaknya sungguh lezat. Tampaknya pemilik ledai cukup terampil dalam mengolahnya." Sambung Ki Pronojiwo
"Anda benar Ki. Aku pun mengakuinya. Yah.. seandainya aku punya waktu luang, kita bisa ngobrol sambil makan daging di kedai itu. Bagaimana menurut Ki Pronojiwo?"
Percakapan itu tamapak seperti percakapan dua teman lama yang jarang bertemu. Namun meskipun terlihat santai, namun suasana tegang menyelimuti area itu. Si pedagang atau tumenggung Adiyaksa tampak waspada dan siap untuk bertarung kapan saja. Begitu juga pendekar di sampingnya.
"Ah.. kebetulan kita bertemu disini. Walupun kelihatannya suasananya tidak mendukung. Bagaimana kalau Ki Pronojiwo mampir kerumahku. Izinkan aku menunjukkan sedikit keremah tamahan Sengkaling. Selain itu, bukankah mereka adalah Tumenggung Adiyaksa dan Raden Gandamana..?" Tumenggung Adiyaksa merasa seperti tercekik oleh tatapa Tumenggung Cakra Seta. Dan Raden Gamdamana Atau Si Pendekar semakin waspad.
Ki Pronojiwo merasa getir di hatinya 'setidaknya salah satu dari kami harus bisa kembali ke madukara' gumannya dalam hati.
"Ah itu benar. Gandamana menemaniku dalam perjalanan ini dan kebetulan bertemu dengan tumemggung Adiyaksa di perjalanan. Anda seharusnya juga tahu. Tumenggung Adiyaksa juga seorang pedagang dia baru dari pesisir utuk berdagang. Sekalian saja kami kembali bersama dan ketika melewati Sengkaling, kami tiba-tiba ingin mampir di kekedai tuak dan akhirnya bertemu Tumenggung disini." Jelas Ki Pronojiwo.
"Kalu begitu kenapa mumpung kita bertemu disini, bagaimana kalau aku mengundang kaliam semua untuk mampir ke gubukku" seulas Seringai tampak di wajah Tumenggung Cakra Seta.
Gandamana memjamkan matanya dan meremas gagang tombaknya. Ki Pronk jiwo mengeryitkan alis dan menghela nafas.
— 次の章はもうすぐ掲載する — レビューを書く