17. Ipod Suffle

Jika kemarin aku lengah dan membiarkanmu pergi meninggalkanku. Maka mulai sekarang aku menjeratmu dan kamu tidak akan pernah bisa lepas, kecuali jika aku yang ingin.
***
Alta sedang berdiri menyender di depan kelas Lamanda, bermaksud menunggu gadis itu dan kembali menjelaskan semuanya. Semua yang ingin ia jelaskan tanpa terkecuali. Sesekali ia melihat langit yang mendung, mungkin sebentar lagi akan hujan mengingat jika sekarang telah memasuki bulan akhir tahun.
Satu tahun akan ia lewati kembali dan rasanya seperti biasa, hambar.
Ia melongok ke dalam kelas melalui jendela dan mendapati guru PKN yang masih setia nangkring di kelas padahal bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu. Korupsi waktu. Alta yakin bahwa hal tersebut adalah kebiasaan guru yang paling dibenci seluruh murid, termasuk dirinya.
Tidak lama kemudian guru setengah botak itu keluar kelas dengan tampang tidak berdosa, melewati Alta bahkan sempat tersenyum lebar dan menyapanya. Para murid pun langsung berhamburan keluar dengan gerutuan dan sumpah serapah. Namun beda cerita dengan siswi-siswi centil yang termasuk fans Alta. Mereka langsung berhenti berjalan dan terperangah mendapati Alta di depan kelas mereka. Tidak lama karena Alta langsung melemparkan tatapan tajamnya dan mereka pun bubar.
Astaga, ayolah Alta tidak mempunyai waktu untuk meladeni mereka, persetan jika dibilang sombong.
Saat melihat tidak ada Lamanda, Alta sontak berdecak dan melongok ke dalam kelas lagi. Dilihatnya Lamanda sedang merapikan buku-buku dan memasukannya ke dalam tas. Alta menghampirinya dengan langkah lebar.
Mendengar suara derap langkah, Lamanda menoleh dan langsung menghentikan kegiatannya.
"Ikut gue, gue mau ngomong sebentar," kata Alta tegas. Bahkan tangannya sudah meraih pergelangan tangan Lamanda.
Raut wajah Lamanda langsung pias mendapati Alta dihadapannya, orang yang sedang mati-matian ia hindari. Ia berdengung mencari-cari alasan. "Ng-nggak bisa. Gue udah dijemput," tolaknya lalu mencoba melepas cekalan tangan Alta tapi gagal. Rasanya percuma karena tenaganya kalah telak jika dibandingkan dengan Alta.
Alta menarik Lamanda membuat gadis itu berpegangan pada sisi meja. "Gue cuma minta waktu sebentar, semua nggak bakal selesai kalau lo cuma bisa lari dan menghindar," jelas Alta.
"Tapi gue udah dijemput," elak Lamanda.
"Nggak usah alasan, Lam. Basi! Sekarang ikut gue!!" Alta menarik Lamanda lagi, ia menghembuskan napas kesal karena Lamanda tetap berpegangan pada sisi meja.
"Gue nggak mau, Alta!!" Lamanda menggelengkan kepalanya, ia sedikit gemetar mendapati kilat kemarahan di mata Alta. Sempat terlintas dipikirannya bahwa Alta alter ego karena dalam kurun waktu yang singkat sikapnya pada Lamanda berubah-ubah, kadang begitu baik dan lembut kadang begitu menyeramkan seperti sekarang. Tapi ada satu sisi yang belum sepenuhnya Alta tunjukkan, sisi yang mengarah pada masa lalunya.
Alta menghempaskan tangan Lamanda kasar. Lalu dengan satu kakinya ia meraih kursi terdekat dan dengan sekali hempasan..
Brakk
Alta membanting kursi tersebut ke lantai membuat Lamanda berjegit kaget.
Tidak cukup sampai disitu karena selanjutnya Alta sudah membalik meja yang biasa ditempati Arsya, menimbulkan demuman keras yang membuat Lamanda refleks menahan napas.
Napas Alta memburu ketika bersitatap dengan Lamanda. "Masih nggak mau? Perlu gue obrak-abrik kelas lo dulu?"
Satu sisi Alta terbuka, ia tidak bisa dibantah. Sama seperti.. Davino. Hal itu membuat Lamanda semakin diambang kebingungan antara harus percaya pada yang dikatakan Alta atau tidak.
Jika benar Alta adalah Davino, lantas mengapa orang-orang mengatakan kalau Davino sudah meninggal? Terlebih wajah Alta berbeda dengan Davino.
"Jawab gue!!" bentak Alta. Lamanda tersentak sampai baru tersadar bahwa sejak tadi ia masih menahan napas. Ia mengamati wajah Alta yang sedikit memerah. Mau tidak mau ia tidak menolak kemauan Alta.
Lamanda segera mengemasi sisa buku dan alat tulis yang tergeletak di meja dan memasukkannya kedalam tas. Ia memandang kursi kosong Arsya, seandainya sahabatnya itu tadi masuk sekolah pasti kejadian ini tidak akan terjadi.
"Cepet, Lam!" bentak Alta karena Lamanda seakan mengacuhkannya.
"Iya bentar!!" balas Lamanda tak kalah sengit.
Dengan sekali gerakan Alta menarik tangan Lamanda membuat meja dan kusri berderak, bahkan Lamanda hampir terjerembab di lantai kalau saja Alta tidak segera menahan tangannya.
"Kemajuan pesat selama dua tahun terakhir karena lo berani bentak gue bahkan nampar gue, " ucap Alta sambil terus menarik tangan Lamanda keluar kelas. Tidak peduli beberapa pasang mata yang masih tersisa di sekolah menatap mereka dan saling berbisik kemudian.
Mereka menjajaki setiap kotak ubin, melewati lorong koridor dan berbelok menuju lobi sekolah. Mengetahui bahwa Alta akan membawanya ke parkiran Lamanda segera menghentikan langkahnya. "Kita mau kemana?"
"Apa gue nyuruh lo tanya?"
Lamanda tidak menjawab.
"Kunci mulut lo dan nggak usah ngebantah. Ikut gue sekarang, nanti gue anter pulang."
Alta kembali menarik tangan Lamanda. Ia berjalan dengan langkah lebar membuat Lamanda terseret dibelakang sampai mereka tiba di parkiran sekolah. Tepatnya di samping mobil Alta.
Lamanda refleks mundur dan menatap Alta. "Gue nggak mau.." ia tidak mau lagi satu mobil dengan Alta. Terakhir kali ia satu mobil dengan Alta membuatnya sedikit trauma. Apalagi Alta mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia belum terbiasa.
Alta tidak peduli, ia membuka pintu mobil dan mendorong paksa Lamanda untuk masuk karena gadis itu terus memberontak. Kemudian menguncinya.
Alta masuk ke dalam mobil, dilihatnya wajah Lamanda yang pucat dengan tubuh sedikit bergetar.
"G-ggue mau pulang."
"Nanti gue anter."
Lamanda menggeleng. "Kakak gue udah nunggu di depan."
Alta berdecak. "Telfon kakak lo sekarang."
"Nggak!! Gue nggak mau satu mobil sama lo."
"Telfon.kakak.lo.sekarang!!" perintah Alta penuh penekanan.
Melihat wajah Alta yang mengintimidasi. Dengan gemetar Lamanda menurut dan menelfon Kalka. Terdengar nada sambung beberapa kali sampai akhirnya diangkat.
"Dimana lo?"
"Gu--"
"Buruan keluar. Mobil gue dikerubutin nih. Anak Advent agresif banget." Lamanda dapat menangkap suara keributan di seberang. "Iya iya minggir dulu ya. Jangan cakar-cakar mobil ane ya Allah ya Rab," suara Kalka terdengar frustasi.
"Bilang kalau lo pulang sama gue," ucap Alta.
Lamanda diam.
"Bilang atau gue nyalain mobilnya sekarang dan bawa lo kebut-kebutan sekalian," ancam Alta.
Dengan ragu Lamanda kembali menuruti perintah Alta karena posisinya sangat tidak memungkinkan. Karena bisa saja Alta benar-benar nekat dan membawa mobilnya dengan kebut-kebutan.
"Gue cuma mau bilang kalau gue pulang sama temen karena ada urusan penting. Sebentar." Lamanda menggigit bibir bawahnya menunggu jawaban Kalka.
"Lo mau pulang sama temen lo?" tanya Kalka ragu.
Lamanda mengangguk meskipun Kalka tidak dapat melihatnya.
"Bareng siapa? Arsya sama Kaila? "
"Bukan."
Kalka menghela napas. "Temen lo cewek apa cowok?"
Lamanda sebenarnya ragu memberitahukan pada Kalka dengan siapa ia akan pergi. Tapi, daripada berbohong dan membuat masalah lagi, akhirnya ia jujur.
"Cowok. Tapi dia nggak bakal ngebut kok bawa mobilnya," jawab Lamanda sambil menoleh ke arah Alta sebentar kemudian mengarahkan pandangan ke luar jendela. "Dia baik," ucap Lamanda dengan suara rendah. Tapi... Alta dapat mendengarnya.
"Gue mau ngomong sama dia."
Lamanda mengulurkan tangannya bermaksud memberikan ponselnya pada Alta. Alta mengangkat sebelah alisnya. "Kakak gue mau ngomong sama lo," kata Lamanda
Alta menyambar ponsel Lamanda dan mendekatkan ke telinganya. "Ya?" tanyanya karena hanya ada suara berisik di seberang.
"Lo yang mau nganterin Lamanda balik?"
Alta hanya bergumam.
"Lo harus jamin keselamatan adek gue. Jangan ngebut bawa mobilnya. Dia nggak terbiasa soalnya."
"Oke," jawab Alta singkat.
"Ajak makan dulu karena dia pasti belum makan. Lamanda punya maag jadi nggak boleh telat makan. Suruh pakai jaketnya dan jangan lupa minum obat. Jangan pulang terlalu malem, itu nggak baik."
Jeda beberapa saat. Alta melirik Lamanda yang masih melihat keluar jendela.
"Kalau sakitnya kambuh dan obatnya nggak ngaruh, bawa ke rumah sakit."
"Ada lagi?"
"Lo bawa nyawa satu. Jaga jangan sampai hilang," ucap Kalka dengan suara rendah. "Kasih ke Lamanda telfonnya."
Berdecak, Alta menyerahkan ponsel tersebut kembali pada pemiliknya.
Lamanda menatap ponsel tersebut kemudian mendekatkan ke telinga. "Ya, Ka?"
"Hati-hati. Gue tunggu di rumah. Kalau temen lo ngapa-ngapain lo bilang sama gue."
"Iya."
"Yaudah kalo gitu gue tutup telfonya."
Setelah itu terdengar nada putus dari sambungan telfon. Lamanda meletakkan kembali ponselnya di saku kemeja.
Lamanda menoleh ke arah Alta ketika lelaki itu mulai menyalakan mesin mobil dan perlahan keluar dari area parkiran. Lamanda tidak bisa duduk dengan tenang. Tangannya dingin dan berkeringat. Jangan lupakan jantungnya yang mulai tidak stabil saat berdetak.
"Lo nggak percaya sama gue?" tanya Alta tanpa menoleh ke arah Lamanda.
"M-mmaksudnya?"
"Lo nggak percaya kalau gue nggak bakalan ngebut?" tanya Alta lagi.
Lamanda tidak menjawab dan memilih mencoba untuk menenangkan diri namun tidak bisa padahal Alta benar-benar tidak mengebut. Tidak ada pembicaraan setelahnya, keduanya sama-sama diam membuat suasana dalam mobil jadi semakin dingin. Apalagi melihat kondisi langit yang tidak pasti, sedari tadi mendung namun hujan tidak kunjung datang.
"Tadi gue nggak lihat Raskal, kemana dia?" tanya Alta memecah keheningan.
"Tadi pulang dulu," jawab Lamanda pelan.
Dahi Alta berkerut. Ia kembali fokus menyetir namun tidak sampai lima detik ia sadar. "Sh*t!!" umpatnya sambil memukil setir. Ia segera meraih ponselnya dengan cepat dan mengetikkan sesuatu disana.
Jangan berantakin apartement gue!
Sent to Raskal..
Sent to Satya..
Ingatkan Alta untuk segera mengganti password apartementnya agar para pendebah itu tidak membuat kerusuhan. Alta paling tidak suka jika kamarnya berantakan, apalagi karena ulah teman-temannya. Meskipun cowok Alta anti jorok. Memikirkan kamarnya yang akan disulap teman-temannya membuat Alta mendengus dan segera mematikan ponselnya tidak berniat menanggapi balasan chat kedua temannya apalagi sekarang ia sedang menyetir.
Alta mengalihkan pandangan ke arah Lamanda yang terlihat sangat ketakutan. Terlihat dari raut wajahnya yang semakin pucat dan duduknya yang tidak tenang.
Kemudian Alta meraih tangan Lamanda, menggenggamnya erat tangan dingin tersebut. Dapat dirasakan basah di telapak tangannnya.
Lamanda menoleh. Kaget. Ia memandang tangannya kemudian beralih pada Alta.
"Kali ini lo selamat. Nggak akan ada adegan kecelakaan kaya dulu. Tenang aja," kata Alta santai.
Deg
Nggak akan ada adegan kecelakaan kaya dulu.
Nggak akan ada adegan kecelakaan kaya dulu.
Lamanda memejamkan matanya ketika perkataan Alta terulang terus dengan otomatis di pikirannya tanpa ia mau. Kemudian, ia diam membiarkan Alta lebih mendominan daripada membuatnya kalap lagi.
Selama perjalanan Alta tidak melepaskan genggaman tangannya. Tidak peduli jika saat ini jantung Lamanda semakin berpacu cepat bahkan hati dan sekujur punggungnya sedikit menghangat.
"Lo nggak akan pernah lepas dari gue lagi." Alta menoleh sekilas. "Kaya ini." ia mengangkat tanganya yang menggenggam tangan Lamanda kemudian tersenyum. "Kecuali gue yang ingin ngelepas lo," ucap Alta sambil melepaskan genggaman tangannya dan mulai menepikan mobilnya di pinggir jalan.
Hal itu membuat Lamada semakin tidak tenang. Beberapa pikiran buruk saling melintas dipikirannya. Alta bisa saja menurunkanya ditengah jalan dan meninggalkannya sendirian seperti beberapa hari yang lalu atau kemungkinan terburuk bisa aja ia dibunuh mengingat niat yang pernah Alta ucapkan.
Kalau Alta benar-benar Davino, tidak menutup kemungkinan kalau lelaki itu balas dendam kepadanya. Meskipun Davino sangat mencintainya.
Dengan takut-takut Lamanda menghadap Alta.
"Sini," panggil Alta menyuruh Lamanda mendekat.
Lamanda merasakan napasnya sesak melihat tatapan Alta. Ia lebih memilih menunduk dan melihat kedua tangannya yang berkeringat dingin dengan kuku-kuku mulai memutih.
Tidak ada respon Alta berdecak dan mencondongkan badannya ke arah Lamanda. Tanpa aba-aba ia sudah memasangkan headset di telinga Lamanda membuat gadis itu mendongak dan bersitatap dengan Alta.
"Biasanya musik bisa bikin rileks," ucap Alta dan meletakkan ipod shuffle berwarna hitam miliknya di telapak tangan Lamanda.
Lalu Alta kembali pada posisinya, menyalakan mesin mobilnya dan melanjutkan perjalanan mereka yang sempat tertunda.
Dan Lamanda yakin bahwa tidak semua sisi Alta bisa ia lihat. Alta terlalu pandai memainkan segala peran. Ia bisa menjadi antagonis dan protagonis dalam waktu hampir bersamaan. Dan sekarang, Lamanda melihat Alta seperti Davino.. Tapi ia belum yakin.
Belum, karena bukan saatnya.