Beberapa hari berlalu, Dassa melanjutkan aktifitasnya seperti biasa, memintai uang para pedagang pinggir jalanan lalu membelanjakan semua uang itu untuk membeli makanan anak anak kolong jembatan, dia akan menyempatkan kuliah jika ada kelas dan malamnya dia menjadi seorang bintang di Ring Hitam.
Dassa hampir selalu menang di setiap pertandingannya, dia memiliki tubuh yang fit, tinggi seperti pemain basket, dan dendam yang membara dalam dadanya seakan itulah yang membuatnya ingin melampiaskan pada lawan-lawannya.
Tapi di sela-sela waktu terkadang dia masih memikirkan Mutia. Dia tak bisa melupakan apa yang Mutia katakan. Seharusnya Dassa senang karena Mutia tidak mempermasalahkan soal kejadian itu, bahkan saat tidak sengaja bertemu pun Mutia hanya melengos seakan Dassa bukanlah apa apa. Tapi justru karena sikap cuek Mutia, Dassa malah semakin merasa kejar rasa bersalah dan resah.
Suatu hari saat jam makan siang Dassa melihat Mutia makan di kantin. Dassa yang sebal memiliki rencana menjaili Mutia, ingin membuat Mutia tersulut emosi. Dassa sengaja menempelkan tulisan 'RUSAK' pada salah satu toilet dan memasang air di dalam ember yang diletakkan di atas celah pintu yang sedikit terbuka. Dassa setia menjaga pintu itu dan mempelototi mereka yang ingin menggunakannya, sampai saat mangsa yang dia tunggu-tunggu muncul hendak mendekati perangkap.
Dassa bersidekap saat Mutia melewatinya, sedang Mutia bersikap seakan tidak ada Dassa di sana. Mutia membuka pintu toilet itu dan...
BYUURR!
DUUGH!
Air dalam ember itu tumpah berikut ember yang ikut jatuh tepat di atas kepala Mutia.
"HAHAHA..." Dassa tertawa geli sambil memegangi perutnya, sedang Mutia memandang Dassa kesal. Tapi hanya sebatas itu yang Mutia lakukan... Hanya menatap Dassa dengan tatapan kesal.
"Gue akan buat lo semakin muak, sampai lo akhirnya mengadu ke Roy!" Kata Dassa sambil membalas tatapan Mutia.
"Aku berharap, Tuhan langsung yang akan menghukum kamu," kata Mutia enteng.
Mutia masuk ke dalam ruangan kelas dalam keadaan basah kuyup dan itu mengejutkan penghuni kelas termasuk Niken. Dibantu Niken, akhirnya Mutia bisa pulang lebih awal dari kampus. Untungnya Roy tidak masuk kuliah hari ini. Itu lebih baik.
Di kamar Mutia memandangi ponselnya, tidak biasanya Roy tidak memberi kabar tentang alasan dia tidak masuk kuliah hari ini.
'Apa Roy marah? Atau... Roy bisa ngerasain perbedaan sikap aku yang sekarang? Aku mau telepon dia tapi... Gak! Lebih baik seperti ini. Sebaiknya aku memang mengakhiri hubungan aku dan Roy sekarang. Aku harus mencari alasan yang tepat,'
Wajah Mutia kembali muram saat memikirkan nasib hubungannya dengan Roy.
Tok tok tok.
"Non, ada tamu." Kata Bi Ijah dari balik pintu.
"Siapa? Saya gak mau menemui siapa siapa bi," jawab Mutia.
"Den Roy, non."
Mutia menelan ludah dalam dalam lalu keluar dari selimutnya. Saat Mutia menuruni tangga, Roy sontak berdiri saat melihat Mutia berjalan menghampirinya. Penampilan Roy nampak rapih dari biasanya. Dia mengenakan kemeja polos berwarna biru laut dipadu dengan celana bahan berwarna hitam, sepatu kulit bertali berwarna cokelat, semakin menonjolkan bentuk tubuh proporsionalnya.
"Mut, kita keluar yuk. Kita kan udah lama banget gak jalan jalan. Apalagi sejak aku sakit, trus sejak kamu mulai cuek sama aku beberapa hari ini." Nada sedih terdengar dari suara Roy.
Mutia memandang mata abu abu itu, betapa dia sangat menyayangi pemuda ini namun, dia sudah tidak mungkin melanjutkannya. Mutia sudah kotor, dia sudah tidak lagi pantas mendampingi Roy. "Aku gak bisa Roy, sekarang aku gak bisa keluar rumah tanpa izin Ayah atau Bunda, dan mereka lagi pergi."
"Atau temenin aku aja ke supermaket deket sini yah, please..." Roy sudah serapih ini dan, Mutia tak tega juga untuk menolak.
Hanya menemani ke supermarket. Hanya itu.
Mutia akhirnya mengangguk sambil berpikir jika mungkin ini adalah saat yang tepat untuk memutuskan hubungan ini. Mutia mulai memikirkan alasan yang tepat saat Roy menggandengnya keluar dan membukakan pintu mobil untuknya. Tapi anehnya mobil Roy malah melewati supermaket yang hendak mereka tuju.
"Roy, itu kan supermaketnya?"
"Iya. Kita parkir di sana aja ya,"
Mutia tidak menaruh curiga, sampai mobil Roy berhenti tak jauh dari telaga buatan yang menjadi fasilitas di perumahannya. Roy turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Mutia. Digandeng Roy, Mutia dari kejauhan melihat apa yang Roy siapkan untuknya. Lampu lampu yang menggantung di sepanjang pohon, di tiap lampu tertempel sebuah foto kebersamaan mereka. Setiap foto yang Mutia lihat langsung mengingatkannya pada moment yang terjadi kala itu.
Foto saat Roy tertawa sambil memegang dahi Mutia yang cemberut, itu diambil saat Mutia marah karena Roy lama menjemput di kampusnya yang lama. Mutia mengusap air matanya yang berjatuhan. Ternyata sudah banyak yang mereka lalui untuk bisa bersama hari ini.
Langkah mereka berhenti di sebuah foto yang sengaja ditunjukkan Roy. Pada foto itu tak ada gambar hanya history sebuah chat setahun yang lalu, di mana Roy akhirnya berani mengatakan perasaannya. Roy mencabut foto itu, lalu memperlihatkannya ke Mutia.
"Kamu inget kan hari itu, dan aku akan mengulangnya hari ini Mut." Kata Roy.
"Roy, aku... Aku harus pulang, aku..." Mutia resah, bahkan berkeringat dingin.
Namun Roy memegang kedua lengannya, menatap kedua mata yang berkaca-kaca itu, "Dua tahun kita hanya berhubungan via chat, butuh dua tahun untuk aku sadar perasaan aku. Dan setelah beberapa bulan kita menjalani hubungan ini, aku gak butuh waktu lebih lama lagi untuk yakin dengan..."
Roy menjeda kalimatnya untuk merogoh saku celananya, kemudian sambil berlutut ia membuka kotak kecil yang isinya sebuah cincin lalu melanjutkan kata katanya. "Aku mau selamanya sama kamu..."
Kedua kaki Mutia lemas mendengarnya, sedang air matanya berjatuhan.
"Aku tau ini terlalu cepat, tapi setelah ini kita akan sibuk skripsi... Kita akan sibuk dengan banyak hal, sedang aku gak mau kehilangan kamu... Aku,"
Roy tidak sempat melanjutkan kata-katanya karena tubuh Mutia tiba tiba lunglai tidak sadarkan diri. Dia menangkap raga Mutia tepat waktu. "Mut! Mutia!" Roy panik lalu berlari dengan Mutia terbaring di kedua lengannya kemudian mendudukkannya di dalam mobil. Roy langsung membawa Mutia pulang.
Pintu rumah terbuka, kebetulan Hadiwinata lah yang membukanya karena sejak tadi menunggu kepulangan Mutia. Melihat kemunculan Roy dari balik pintu langsung membuat Hadiwinata mendelik, terlebih ketika menyadari puteri semata-wayangnya pulang dalam keadaan tak sadar.
"Om, maaf Mutia pingsan om." Kata Roy.
Hadiwinata langsung memberikan jalan, membiarkan Roy membaringkan Mutia di sofa. "Apa yang kamu lakukan pada anak saya!" Hadiwinata langsung menarik tinggi-tinggi kemeja Roy.
Andini mempercepat langkahnya saat melihat suaminya hendak memukul Roy. Dia langsung berdiri di antara suaminya dan Roy, "Sudah cukup ayah! Lebih baik kita tolong Mutia, biar dia bisa cerita yang sebenarnya."
Bi Ijah datang memberikan minyak angin, dan segelas air putih yang di letakkan di meja ruang tamu. Andini mencium-ciumkan minyak angin itu ke hidung Mutia. Sedang Roy berdiri, memandangi Mutia cemas, sementara Hadiwinata memperhatikan Roy sinis, coba menerka gelagat pemuda ini.
Kedua mata Mutia mengerjap, "Alhamdulillah kamu sadar nak..." Kata Andini saat melihat Mutia mulai membuka mata.
"Mutia," panggil Roy. Hadiwinata mencengkram kerah belakang kemeja Roy lalu menariknya agar menjauh dari Mutia.
"Bunda,"
"Kamu pingsan nak, Roy yang bawa kamu pulang." Jawab Andini sambil mengusap kening Mutia cemas.
Kedua mata itu bertemu, Mutia bisa melihat kecemasan sekaligus kekecewaan di wajah Roy. Mutia mengusap air matanya yang menggenang, sambil mulai duduk dia berkata, "Roy kamu lebih baik pulang."
"Tunggu dulu! Dia ini yang bikin kamu pingsan kan?!" Tanya Hadiwinata dengan nada marah, bersiap mengintrogasi.
"Gak kok yah, Mutia memang gak enak badan. Mungkin karena tadi basah-basahan di kampus." Jawab Mutia sambil bangun, menaiki tangga tanpa berkata apapun lagi sedang Roy masih berdiri menunggu jawaban Mutia.
Mutia masuk ke dalam kamarnya, dan mengunci pintunya rapat. Dia memandang jauh pada kalender yang ada di meja belajarnya. Ada perasaan takut yang teramat besar, rasa cemas, juga amarah yang selalu dia sembunyikan dari siapapun.
Mutia hampiri meja belajarnya, takut takut ia ambil kalender kecilnya. Ada angka yang dia lingkari dengan garis merah. Mutia menghela nafas panjang, dia lega. Tidak akan terjadi apa apa dengannya. Dia tidak terlambat menstruasi, masih ada beberapa hari sebelum tanggal biasanya. Mutia tersenyum, memaksakan diri untuk tidak cemas walau akhirnya air mata menggenangi pipinya lagi.
Mutia mendengar suara mobil menyala, dia hampiri jendela. Meletakkan telapak tangannya pada kaca jendela saat melihat mobil Roy hendak pergi, seakan dia bisa menyentuh Roy dan mencegahnya pergi.
"Aku gak ingin kamu disakiti siapapun Roy, tapi nyatanya... Akulah pelakunya."
Mutia masih bisa membayangkan bagaimana Roy menyiapkan kejutan kecil tadi, dia bahkan terlutut dan meminta untuk bisa selamanya berada di sisinya namun... Semua takkan sama lagi setelah hari itu. Hari di mana hal paling berharga dalam diri Mutia terenggut, dan tak tersisa apapun lagi. Mutia menangis, sambil meletakkan keningnya di kaca jendelanya, sementara mobil Roy sudah pergi.