Bagian 1
Kaleidoskop Tech. Inc., Jakarta.
04.00 PM
Lelaki itu sekali lagi melihat ke arah jam tangannya. Pukul 16.00. Ia pun kembali menghembuskan napas kasar mencoba menahan segala emosi yang hendak keluar. Bagaimana tidak, ternyata Ia sudah menunggu, berdiri tidak jelas, di ruangan ini sekitar tiga jam yang lalu, semenjak sang sekretaris meminta izin keluar sebentar demi makan siang bersama sepupunya. Namun, sampai saat ini ia tetap tak kembali.
Kesal? Iya.
Marah? Tentu saja.
Tak habis pikir jika lelaki itu akan dibodohi begini. Menunggu sekretaris itu kembali, mengajaknya pulang, lalu melakukan pergulatan seperti malam-malam sebelumnya di sebuah hotel ternama di daerah Jakarta merupakan niat awalnya. Tapi sekarang justru yang ada ia hanya berdiam atau sesekali berjalan mengelilingi ruangan megah ini.
Ruangan tempatnya bekerja sebagai CEO Kaleidoskop Tech. Inc, perusahaan turun-temurun yang berbasis teknologi. Ingatkan dia juga bahwa ruangan ini merupakan implementasi dari fantasi sex gilanya bersama sang sekretaris.
Setelah puas berdiri lelaki itu pun kembali duduk. Membaca beberapa dokumen yang sebenarnya sudah selesai dikerjakan. Satu halaman. Dua halaman. Tiga. Sungguh ini sangat membosankan, dan hal ini merupakan tugas sekertaris pribadinya itu.
Ketika dia hendak mengambil dokumen lain tiba-tiba seseorang wanita masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu. Ia pun memicingkan matanya dan menangkap sosok sekretaris cantik yang kini tengah menatapnya. Sekretaris itu hanya mematung di depan pintu, mungkin tak ada niatan masuk. Refleks, hal itu membuat sang bos segera menghampirinya.
"sayang..." kata si lelaki lembut.
"kamu kemana aja, udah tiga jam loh aku nunggu."
Tangannya mengelus bahu sang sekretaris, lengannya, lalu ke perutnya. Sontak hal itu membuat sang wanita menoleh dan melihat lelaki itu tengah tersenyum sambil menutup matanya. Seakan sedang membayangkan malam-malam panas yang selalu mereka lalui sejak beberapa bulan belakangan ini.
Tangannya yang nakal itu mulai naik ke dada dan meremasnya impulsif, membuat si wanita justru hampir kehilangan kewarasannya karena sentuhan di titik sensitifnya. Ia mengeluh tertahan mencoba menahan hasrat yang mulai berkobar. Ia kali ini harus mampu. Mampu untuk keluar dari pesona maupun daya tariknya dan mampu untuk mengatakan semua kebenarannya.
"ah... please no. Ud..ah, ak..u mohon" ucap sang wanita terbata-bata.
Namun mendengar kalimat itu justru membuat si lelaki semakin tertantang. Tangan satunya ia usapkan pada area sensitif si wanita yang tertutup oleh rok hitam selutut. "AHHHH" terdengar suara desahan dari bibir si wanita Hal itu tak membuatnya urung, dengan sekali tarikan bawahan itu kini sudah teronggok di lantai sedang wanita itu tidak memakai celana dalam semakin mempermudah sang lelaki untuk melakukan aksi selanjutnya. Sementara bibirnya kini didekatkan pada bibir si wanita dan tanpa hambatan langsung menciumnya. Melumat lalu menghisapnya bagai candu yang nikmat. Yang mendorong untuk melakukannya lagi dan lagi.
"Ma Di..go Please, mas"
"kamu selalu menggoda sayang. Maka bersiaplah, aku akan menghukumu, my bitch."
***
Bitch, selalu saja kata ini yang lelaki itu ucapkan.
Setelah percintaan panas mereka beberapa menit yang lalu, kini Gea hanya terbaring di atas sofa yang ada di ruangan itu. Sungguh, sekujur tubuhnya sudah mati rasa.
Entah berapa lama mereka bercinta, Gea sungguh tidak tahu.
Gea rasa tadi permainan Digo lebih beringas dan itu tidak seperti biasanya, yang selalu bermain lembut dan berperasaan. Dari mulai Digo memeluknya posesif hingga dengan tidak sabaran melucuti seluruh pakaian yang menempel pada kulitnya. Lalu setelah itu mereka bercinta gila-gilaan dengan posisi berdiri. Dan dilanjutkan dengan posisi-posisi lainnya.
Itu sungguh memuakkan namun entah kenapa di satu sisi justru memuaskan.
Gea melihat ke arah jendela, ternyata keadaaan di luar sudah gelap. Di sana terpampang sudut pemandangan malam kota Jakarta. tampak indah dengan kerlap-kerlip lampu jalanan yang menyoroti kendaraan, atau nuansa atap rumah yang terbasuh sinar rembulan.
Kendaraan yang saling beradu melintas cepat saling berlomba menuju tempat tujuan masing-masing. Sisi kanan kiri jalanan yang di penuhi gerai-gerai dan kafe mulai dipadati pengunjung. Gea ingin sekali menjadi salah satu di antara pengunjung itu yang rata-rata sedang merangkul mesra pasangannya.
Digo. Lelaki itu sudah berpakaian lengkap dan sekarang tengah merapikan dasinya sementara dirinya masih telanjang terbaring di atas sofa. Pakaiannya bergeletakan di bawah sana. Dan tak ada niatan untuk mengambilnya. Mungkin ia akan bermalam di sini. Mungkin.
"Sayang... Terimakasih. Ini uang untuk pelayanannya malam ini." lelaki itu mengulurkan amplop berwarna kuning pucat ke arah Gea. Namun, Gea yang terlalu lelah justru tak menghiraukannya.
"Aku taruh di sini ya". Lelaki itu menaruh amplopnya di atas meja di depan Gea.
"Aku mau pulang" sebelum lelaki itu beranjak keluar Gea berdiri, melangkah dengan cepat lalu menarik lengan kokoh Digo dengan sisa-sisa tenaga yang masih ia punya. Wanita itu mencoba menghentikan pergerakan si lelaki dan sepertinya berhasil karena hal itu membuat Digo menoleh.
"Tunggu... mas. Ini" Gea menyerahkan kembali amplop yang tadi Digo kasih.
"Mas tahu kan kalo aku ga butuh ini. aku cuma butuh Mas. hanya mas, bukan uang-uang yang selama ini selalu mas kasih. Aku bukan pelacur mas, tolong hargai aku"
"kamu memang bukan pelacur sayang. Kamu adalah wanita penggoda terbaik yang pernah aku temui. Maka dari itu, jadilah pelacurku. Aku akan membelikanmu apapun, dan aku akan memenuhi semua keinginanmu". Sungguh bukan pernyataan seperti ini yang ingin Gea dengar.
"mas tahu betul keinginanku apa?!"
"Jika keinginanmu aku menjadi kekasihmu, maaf aku tak bisa memenuhinya."
"Kalau begitu tolong mas lepaskan aku. Aku bisa apa jika mas terus melecehkanku seperti ini." Tapi sungguh Gea hanya menggertak saja. Mana mungkin dia menginginkan hal itu, dia bisa mati jika sampai Digo benar-benar meninggalkannya.
"Jika itu maumu, maka..."
Belum sempat perkataan Digo habis Gea sudah menangis tergugu di hadapannya. Awalnya Gea pikir dia akan kuat menghadapi semua penolakan ini. Namun Renata benar, dia hanyalah gadis egois yang lemah. Yang mudah di bodohi hanya karena cinta. Ya Cinta. Maka dari itu dia menangis sekuat-kuatnya, sekeras-kerasnya berusaha meluapkan segalanya berharap dengan itu bisa merasa sedikit tenang.
Tiba-tiba dari arah belakangnya, tangan yang kokoh yang tadi Ia tarik itu melilit pinggangnya erat. Memberikan kenyamanan tersendiri dan menghangatkan seluruh hatinya. Rasanya begitu membahagiakan mengingat dia belum pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya. Biasanya Digo memeluk atau menciumnya murni hanya karena nafsu semata, namun kali ini berbeda.
Di sisi lain, Digo pun merasakan ada sedikit getaran pada hatinya ketika ia memeluk Gea. Rasanya jantungnya berdetak tidak senormal biasanya. Sementara tubuhnya merasakan kenyamanan yang menenangkan hatinya. Sungguh pelukan ini seperti candu baru baginya. Ia rasa sepertinya logika dan hatinya mulai berjalan beriringan. Perasaan asing apakah ini sebenarnya?
Ah masa bodoh dengan itu semua, yang terpenting sekarang bagaimana cara membuat Gea diam.
"Maaf. Maafin aku ya" Hanya kata itu yang akhirnya Digo ucapkan. Selanjutnya sungguh gerakan yang tak terduga, Digo tiba-tiba membalikan tubuh Gea sehingga kini mereka saling berhadapan. Kemudian dengan perlahan ia mengecup keningnya sementara tangannya mengelus pipinya. "sudah ya." Digo melihat air mata yang sejak tadi mengucuri pipi Gea lalu mengecupnya. Gea bisa merasakan jika lidahnya juga ikut mencecap di sana. "Manis sayang."
Gea tersenyum.
Sebenarnya Gea sudah lelah dengan semua hubungan gelap ini, apalagi Digo sudah hampir berkeluarga. Dia sudah bertunangan dan itu dengan sahabat baiknya Renata. Dan karena Renatalah Gea bisa kenal Digo hingga bekerja di kantornya.
Ingin rasanya Gea menyudahi hubungan ini. Jika bukan karena iming-iming "suatu saat nanti Digo akan berubah dan menatap Gea seorang" sudah pasti Gea sedari dulu meninggalkannya. Gea cinta Digo sangat, tapi Digo tak sekalipun mencinta Gea.
Dan selama seumur hidupnya hanya satu yang Gea harapkan. Digo melihatnya dengan penuh cinta dan melimpahkan segala kasih dan sayangnya.
Ya, hanya itu.