Unedited
"Apa?" Delilah terkejut. Matanya terbelalak tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
'Ngomong apa tadi si pak Alex? Married? Sama aku? Sialan dia bercanda, kan?'
Dengan perasaan bingung dan waswas Delilah bertanya, "Anda tidak sedang sakitkan, pak?"
"Saya tidak sakit dan saya baik-baik saja. Jadi bagaimana? Kamu mau menikah dengan saya?" ujar Alex sangat berharap Delilah menyetujui ide gilanya ini.
"Bapak beneran?"
"Mm."
Raut wajah yang sekretarisnya tunjukan kini nampak begitu tidak yakin dengan perkataan Alex barusan. Wanita itu bahkan mulai memperhatikan wajahnya dengan lekat. Mungkin ingin melihat apakah ia sedang bercanda atau tidak. Sayang sekali, Alex sama sekali tidak sedang bergurau. Ini bukan hal yang patut dijadikan bahan bercandaan. Dan Alex juga tidak mungkin asal-asalan mengatakan kata keramat itu.
Demi Tuhan. Alex bahkan belum siap menikah. Bukan belum siap. Ia sama sekali tidak ingin menikah. Biar saja dia menjadi lelaki tua yang hidup sendirian. Dia lebih memilih hidup sendiri daripada harus berususan dengan namanya cinta. Tapi setelah dipikir-pikir, pernikahan juga tidak selalu tetang cinta.
"Benar bapak tidak sakit? mungkin kepala bapak sempat terbentur tadi dan bapak tidak mengetahuinya," Seru Delilah mencoba menjelaskan teorinya.
"Delilah, Delilah. Dengar baik-baik. Saya sama sekali baik-baik saja. Saya tidak sakit dan tenang saja, kepala saya 100% tidak mengalami benturan." Jelas Alex sedikit kesal.
Alex mengerti maksud wanita itu. Ia juga jika diperhadapkan dengan situasi seperti ini,ia tentunya pasti tidak akan percaya. Apalagi jika yang mengajak menikah adalah atasannya sendiri.
"Pak Alex, saya sarankan sebaiknya bapak ke dokter. Saya yakin pikiran bapak sedang dalam kondisi yang tidak sehat. Kalau dokter tidak bisa menolong bapak, mungkin psikiater bisa, pak." ujar Delilah mencoba membantu Alex.
Sialan. Alex ingin memaki.
'Dia pikir aku gila apa?' Batin Alex tidak terima atas omongan Delilah barusan
"Saya baik-baik saja. Dan asal kamu tau saya sama sekali tidak memerlukan bantuan seorang dokter apalagi psikiater. Kamu pikir saya gila?" Tandas Alex tajam merasa tersindir dengan ucapan sekretarisnya itu.
Pernikahan sialan!
"Coba deh pak Alex ingat-ingat apa yang barusan pak Alex katakan pada saya barusan,"
"Saya tau dan ingat betul apa yang saya katakan ke kamu tadi. Saya ajak kamu menikah dengan saya, kan?"
"Ternyata memang benar sudah gila." gumam Delilah pelan menggelengkan kepalanya yang tanpa ia sadari ternyata ikut didengar Alex.
"For goodness sake. Saya sama sekali tidak mengalami gangguan jiwa seperti yang kamu pikirkan. Saya tidak gila! Saya juga tidak ingin menikah. Ada sesuatu yang membuat saya sampai bertindak gila seperti ini. Saya juga tidak ingin seperti seorang pecundang yang mengajak atau lebih tepatnya membujuk sekretarisnya untuk menikah." jelasnya putus asa. Tidak tahu harus mengatakan apa lagi untuk bisa meyakinkan sekretarisnya ini.
"Okay, ada sesuatu yang membuat bapak sampai seperti sekarang ini. Tapi kenapa saya? Kenapa harus saya yang bapak ajak dalam rencana gila bapak ini?"
"Begini Delilah, saya—" sela Delilah tidak ingin mendengarkan.
"Maaf, pak. Saya harus menolak permintaan bapak ini. Bapak cari orang lain saja yang mau menikah dengan bapak. Saya sama sekali tidak tertarik. Dan saya yakin bapak akan dengan mudah mendapatkan pengganti saya." tolak Delilah, pamit dan berbalik meninggalkan Alex.
"Delilah, tolong saya sekali ini saja." seru Alex menghentikan langkah kaki Delilah sembari mengusap wajahnya dengan kasar.
Sekilas Alex sempat melihat siratan rasa kasihan dari mata sekretaris tapi sedetik kemudian seritan tersebut langsung berubah menjadi siratan kekesalan.
"Pak Alex begini ya, saya tidak bisa menikah dengan bapak. Pernikahan itu bukan sesuatu yang bisa seenaknya diucapakna begitu saja. Pernikahan itu sesuatu yang sakral. Tidak main-main. Bukan dengan cara seperti ini. Bapak tiba-tiba ngajak saya menikah padahal kita berdua tidak saling mencintai. Dan bapak juga atasan saya."
"Saya mengerti dengan alasan kamu itu. Saya tau bahwa ini sangat mendadak dan kamu kamu pasti bingung kenapa saya bisa berkata seperti ini. Tapi saya mohon, bisakah kamu membantu saya, sekali ini saja. Tolong pertimbangkan sekali lagi permintaan saya." Alex memohon.
"Pak Alex, bukannya saya tidak mengerti tapi—"
Alex memotong ucapan Delilah, "Ini demi eyang. Demi permintaan terakhir eyang. Saya mohon, hanya kamu yang bisa membantu saya." pintanya dengan muka dibuat sangat memelas.
"Maksud bapak apa?" Perkataan Alex seketika mendapat perhatian penuh dari Delilah.
Alex lantas menjelaskan semuanya. Mengapa sampai ia mengajak sekretarisnya itu menikah. Itu semua ia lakukan semata-mata hanya untuk eyang.
"Saya ajak kamu menikah dengan saya itu semua karena eyang. Karena permintaan terakhir eyang. Eyang mau saya secepatnya menikah."
"Tidak bisakah bapak mencari orang lain untuk diajak menikah? Kenapa harus saya? Bapak bisakan cari orang lain?" Delilah bingung.
Nah pertanyaan ini yang sudah dari tadi Alex tunggu-tunggu. Bagi Alex, Delilah merupakan kandidat terkuat untuk dijadikannya seorang istri. Bukan karena ia suka, ya. Sejujurnya, mengingat alasan sampai ia memilih wanita ini, egonya sebagai seorang laki-laki sedikit terluka. Kenapa? Karena hanya wanita ini yang kelihataannya tidak terpesona dan tertarik dengan dirinya.
"Tidak bisa. Hanya kamu yang saya inginkan." Tegas Alex bersikeras.
"Kenapa harus saya?"
"Alasannya karena kamu tidak tertarik dengan saya. Dan hal itu membuat semuanya lebih mudah."
Bedebah. Alex sadar bahwa alasannya itu sangat tidak masuk akal dan terdengar begitu sombong di telinga wanita. Ia yakin Delilah tidak akan menerima ajakan konyolnya ini.
"Baiklah."
Alex mengerjap beberapa kali, "Kamu bilang apa tadi? Kamu setuju?"
"Saya setuju." Delilah mengangguk kecil.
"Kamu yakin?" tanya Alex ragu-ragu. Masih tidak percaya dengan jawaban Delilah.
"Bapak mau saya tidak yakin?" ujarnya menantang.
"Bukan begitu, aku takut nanti kamu berubah pikiran." seru Alex cepat.
"Aku akan menikah dengan bapak tapi ada syaratnya," ucap Delilah menjelaskan dengan wajah profesionalnya.
"Apa?"
"Sebaiknya hal ini kita bicarakan di ruangan bapak saja. Supaya lebih leluasa dan lebih tertutup." Delilah memperhatikan sekelilingnya.
"Sorry, hampir saja saya lupa kalau kita berdua tidak sedang di dalam ruangan saya. Ikut saya ke ruangan saya." sahut Alex melangkahkan kakinya berjalan ke arah ruangannya.
Semoga kalian suka