Beberapa hari ini Raffi tidak bisa tidur dengan nyenyak. Bagaimana dia bisa tidur, kalau dia semalaman harus berjaga di ruang ICU, mengamati setiap hembusan napas orang yang menjadi rivalnya dalam memperebutkan hati Farani. Bagaimana dia bisa tidur kalau saat dia sudah memejamkan mata, lalu suara langkah suster yang berjalan untuk sekedar melakukan pemeriksaan rutin membuat dia panik.
Belum lagi pikirannya yang dipenuhi oleh Farani. Yang bahkan sampai saat ini masih belum tahu bahwa kekasihnya terbaring tak berdaya di rumah sakit. Meski berat, dia lebih memilih untuk tidak memberitahukan masalah ini kepada Farani. Dengan alasan agar gadis itu bisa melanjutkan hidupnya dengan normal.
Apa dia egois? Hanya Tuhan yang dapat menilainya.
Setelah sampai rumah jam 5 pagi tadi, Raffi segera naik ke kamarnya. Merebahkan tubuhnya barang sejenak untuk meregenerasi tenaga. Mama yang khawatir melihat putra semata wayangnya selalu pulang pagi ingin menanyakan apa ada masalah, tapi beliau tidak ingin mengganggu privasi putranya. Mama percaya bahwa suatu hari nanti dia akan berbagi cerita tentang masalahnya.
Mama hanya bisa berkirim pesan dengan Farani. Berharap gadis itu tahu apa yang terjadi dengan Raffi belakangan ini. Sayangnya, Farani juga tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Karena memang perubahan sikap Raffi sedikit mencolok sejak beberapa hari yang lalu.
Contoh kecil yang ditangkap oleh Mama dan Farani adalah bahwa Raffi sering tidak fokus ketika mengobrol bersama. Itu memang kebiasaan Raffi, tapi hal itu makin menganggu karena Raffi juga terkadang tidak merespon sekitarnya.
Dan orang yang mendapat perhatian itu ternyata sedang tertidur dengan pulasnya. Tidak pulas 100% karena terkadang Raffi secara naluri terbangun ketika dia sayup-sayup mendengar langkah kaki ataupun suara bising lainnya. Melihat Raffi tertidur, Mama menyelimuti tubuh Raffi.
Sebelum meninggalkan kamar Raffi, Mama memandang putra kesayangannya. Tampak wajah yang kelelahan dan penuh tekanan. Entah masalah apa yang sekarang sedang dihadapi, Mama hanya bisa berharap semoga badai itu segera berlalu. Menampakkan sinar mentari yang menerangi kehidupan putranya.
Mama yang sengaja mengambil cuti untuk melewatkan waktu bersama dengan Raffi harus menelan pil pahit, karena Raffi ternyata sibuk dengan agendanya sendiri. Dan di hari terakhir cuti Mama, keduanya belum berkencan sama sekali. Yang lebih menyakitkan lagi, Raffi malah terlihat kusut sejak kembali ke Indonesia.
Lamunan Mama menjadi buyar karena mendengar suara Farani dan Lulu yang masuk ke rumah. Keduanya berjalan ke arah ruang tengah dengan ributnya, entah apa yang mereka ributkan.
"Lho, Mama nggak kerja hari ini?" tanya Farani saat melihat Mama tengah bersantai di ruang keluarga sambil membaca majalah.
Menggelengkan kepalanya, Mama menyambut kedatangan kedua putrinya. "Kalian ada acara hari ini?"
"Iya, Ma, kita mau main sama Raffi. Dimana dia?"
"Masih merem di kamarnya. Tadi jam 5 baru balik."
Farani dan Lulu saling berpandangan begitu mendengar jawaban Mama. Raffi pulang jam 5 pagi? Apa dia sekarang sering main ke klub malam? Apa kebiasaan itu dia dapatkan di Paris?
Banyak pertanyaan yang menggelayuti ketiga perempuan itu. Tapi tak ada yang berani menyuarakan kecurigaan mereka.
Baru jam 11 siang Raffi menampakkan diri. Keluar dari kamar dengan mata yang berat dan rambut acak-acakan.
Raffi tidak menyadari bahwa ada 3 makhluk cantik yang sedari tadi mengamatinya berjalan ke dapur untuk mencari minum. Sampai akhirnya cekikikan Lulu terdengar di telinga Raffi, mengagetkannya dan hampir membuat Raffi tersedak.
"Kalian kenapa ada disini?" Raffi keheranan.
"Secara teknis ini masih rumah Mama." Jawab Mama.
"Kita tamu." jawab Farani sambil menunjuk dirinya dan Lulu.
"Ma, serius dong. Mama nggak kerja?" Raffi berhasil mengatasi tersedaknya. "dan kalian ngapain? Tamu siapa?"
"Mama kan cuti. Kamu nggak inget sayang?"
"Kita mau jalan bertiga. Kamu nggak inget sayang?" Lulu menirukan Mama.
Menepuk jidatnya, Raffi baru saja teringat dengan janji yang sudah dia buat.
"Sorry, gue lupa banget. Tunggu, gue bakal siap-siap."
Raffi berlari secepat kilat menuju kamarnya. Tak kurang dari 10 menit, dia sudah keluar dengan pakaian rapi dan rambut yang mulus, tak lupa parfum yang semerbak harum mewangi. Sebagai 'murid' Farani yang taat, the power of kepepet selalu menjadi andalan Raffi.
"Kalian mau kemana?" tanya Mama saat ketiga anak itu bangkit untuk pergi.
"Kami mau main aja, Ma."
"Iya, Raffi udah janji mau nemenin kita muterin mall." Lulu menambahkan.
Mama memandang Raffi penuh tanda tanya. Raffi hanya bisa mengangkgat bahunya untuk meredam pertanyaan Mama yang tak terucap.
*
Ini bukan mall terbesar yang ada di Jogja, tapi siapapun yang punya tenaga lebih tidak akan membuangnya hanya untuk berkeliling mall tanpa tujuan.
Ini sudah 4 jam Farani dan Lulu mengelilingi mall, dan mereka masih tampak segar. Berbeda dengan Raffi yang harus beberapa kali mengistirahatkan kakinya. Entah sudah berapa kali mereka keluar masuk toko dan mencoba beberapa pakaian secara random.
Raffi mulai mempertanyakan kekuatan para perempuan yang ada di depannya. Masih ingat jelas saat mereka kelas X dulu di jam pelajaran olahraga. Semua murid perempuan bahkan tidak bisa menyelesaikan lari mengelilingi lapangan 2 putaran. Tapi sekarang mereka sudah 4 jam tanpa henti mengelilingi mall. Dan belum nampak tanda-tanda mereka kelelahan ataupun keinginan untuk berhenti.
"Girls, gimana kalo gue traktir es krim?"
Dengan senang hati kedua gadis itu menyetujui ajakan Raffi. Dalam hati, dia bersyukur bisa mengistirahatkan kakinya barang 30 menit sebelum bertempur lagi di medan perang.
"Gue ke toilet dulu. Titip HP ya." Raffi bangkit, berjalan menuju toilet terdekat.
Alasan utama Raffi ke tiolet adalah agar dirinya bisa berisitrahat dengan damai. Mengulur waktu sampai pegal di kakinya sedikit berkurang.
Tak berselang lama, HP Raffi yang ditinggal di meja berdering. Sebuah nomor asing meneleponnya. Karena tidak ingin mengganggu privasi Raffi, baik Lulu maupun Farani tidak menjawab. Namun nomor yang sama terus saja menelepon.
"Kayanya penting. Lo jawab gimana, Fa?" Lulu mengusulkan.
"Halo?"
"Halo Bapak Raffi, kami ingin mengabarkan bahwa pasien sudah sadar sekarang." suara perempuan diujung telepon berkata.
"Pasien siapa ya?"
"Oh maaf, saya pikir tadi Bapak Raffi." suara seberang meminta maaf. "Pasien atas nama Rivio."
"Oh oke, nanti saya sampaikan ke Bapak Raffi. Terima kasih." jawab Farani sambil menutup teleponnya.
Rivio? Siapa dia? Farani berusaha mengingat nama itu. Nama yang tidak asing di telinganya, tapi jarang terdengar.
"Siapa Fa?" tanya Lulu penasaran.
"Nggak tau, ngabarin kalo pasien udah sadar."Farani menyendok es krimnya. "Lu, apa Raffi nabrak seseorang? Itu makanya dia keliatan kek ada masalah?"
"Bisa jadi, tapi kita harus mastiin dulu."
"Bahas apa girls?" Raffi duduk di kursinya, kembali dari toilet.
"Tadi ada telepon, gue angkat. Katanya Rivio udah sadar."
Raffi terkaget mendengar perkataan Farani. Rivio sadar?
"Trus?" Raffi berusaha bersikap setenang mungkin.
"Lo nabrak orang kah?" Lulu bertanya dengan ragu.
Raffi mengamati perubahan raut wajah Farani. Hal yang selama ini dia takutkan nampaknya menjadi kenyataan. Meski sudah mempersiapkan hati untuk menghadapinya, tapi saat dihadapkan pada kenyataan Raffi tidak bisa bertindak seperti keinginannya.
"Whats going on?" mendengar pertanyaan Farani, Raffi hanya bisa maenundukkan wajahnya. "Tell me the truth."