Ludwina merasa konyol sekali pagi ini karena ia tidak bisa menemukan pakaian yang cocok untuk keluar hotel.
Cuaca hari ini di diperkirakan tidak sepanas biasanya, dan ia bisa mengenakan celana pendek dan atasan tipis yang kasual, khas daerah tropis. Tetapi entah kenapa ia merasa penampilannya persis sama dengan gadis-gadis yang berlalu lalang di Singapura. Ia ingin terlihat spesial.
Akhirnya setelah ganti baju beberapa puluh kali, ia mengenakan pilihan pertamanya.
[Kamu mau cari inspirasi di mana? Aku jemput ke hotel?]
Andrea sudah tiba di kantornya dan ia sedang meminta izin ke manajernya untuk bekerja di luar kantor. Joe tampak heran tetapi senang melihat Andrea ingin bekerja di luar hari ini. Ia bisa melihat perubahan suasana hati pemuda itu dua hari terakhir ini.
[Aku mau ke National Museum dan cari inspirasi di sana. Setelah itu aku mau duduk di coffee shop dan menulis. Sampai ketemu di sana.]
[Oke]
Mereka bertemu di museum dan melihat-lihat isinya sebentar, sebelum memutuskan untuk mencari kafe terdekat dan mulai bekerja. Keduanya memilih sudut paling sepi demi privasi, karena Andrea bekerja dengan materi rahasia, sementara Ludwina tidak suka mengetik bila ada suara orang lalu lalang.
Begitu duduk, ia membuka laptopnya dan menuliskan kepingan-kepingan informasi yang diperolehnya dari museum barusan. Ia menyebutnya bank inspirasi, dan sudah terkumpul banyak gagasan di dalamnya selama 3 tahun terakhir.
Di dalam folder Singapura Ia mencatat kasus Maria Hertogh yang pernah menyulut terjadinya kerusuhan etnis di Singapura pada tahun 1950an. Gadis itu terlahir pada keluarga Belanda di Jawa. Saat pendudukan Jepang, Maria yang masih kecil dititipkan orangtuanya kepada tetangga mereka seorang Melayu muslim yang tidak punya anak.
Maria kemudian dibesarkan sebagai muslim dan dibawa ke Singapura. Setelah perang selesai, keluarga kandung Maria ingin membawanya pulang ke Belanda, tetapi dicegah oleh ibu angkatnya yang menyatakan bahwa Maria telah diserahkan kepadanya untuk diadopsi.
Maria tidak ingin meninggalkan keluarga angkatnya, tetapi keluarga Hertogh yang menuntut ke pengadilan berhasil memenangkan kasusnya dan memaksa Maria yang berusia 13 tahun untuk pulang ke Belanda dan kembali menjadi Katolik.
Saat putusan pengadilan keluar, terjadi kerusuhan berdarah di Singapura yang diakibatkan protes warga Melayu yang menganggap pengadilan Inggris bersikap tidak adil kepada pribumi Melayu.
"Untuk apa kamu mencatat hal-hal begitu?" tanya Andrea tertarik. Ludwina menjelaskan kisah itu sambil mengetik sehingga Andrea jadi memperhatikan.
"Aku suka menyimpan cuplikan fakta sejarah, yang nanti bisa aku jadikan latar belakang novel. Menurutku kasus Maria Hertogh ini cukup menarik.
Kerusuhan etnis akibat putusan pengadilan waktu itu membuat pemerintah Singapura bersikap tegas dan sampai sekarang kita tahu kehidupan bertoleransi di Singapura bagus sekali," jawab Ludwina.
"Menarik," komentar Andrea. "Kamu selalu penuh dengan cerita-cerita yang menarik. Kamu tinggal menuangkannya jadi novel beneran."
"Iya sih... " Ludwina mencoba mengintip laptop Andrea, tetapi ia hanya melihat kode-kode yang tidak dimengertinya. "Kamu lagi apa?"
"Aku lagi masuk ke pintu belakang sebuah bank, mencari kelemahan sistemnya."
"Oh.."
Mereka kembali bekerja dalam diam, hanya sesekali saling mengangkat muka dan tersenyum melihat yang lain sedang sibuk dengan dunianya.
Setelah dua jam Ludwina mulai merasa bosan mengetik. Materi bank inspirasinya sudah habis dan ia rindu melihat pepohonan.
"Mau ke taman? Di sebelah kanan kita ada Fort Canning Park," tanyanya kemudian.
"Boleh." Andrea menutup laptopnya dan membayar minuman mereka lalu beranjak keluar. Ludwina mengikuti dengan senyum terkembang.
Ia mengajak Andrea berjalan-jalan di taman Fort Canning Park yang luas dan akhirnya memilih satu tempat yang teduh di bawah pohon. Dari situ mereka bisa melihat hamparan rumput dan bangunan kolonial di kejauhan.
"Duduk di sini?" Ludwina duduk menyandar di pohon dan mengeluarkan buku untuk dibaca. Andrea mengangguk setuju. Pandangannya mengarah ke sekitar mereka yang tampak begitu hijau dan damai. Ia lalu duduk di sebelah Ludwina dan melanjutkan pekerjaannya.
Mereka kembali sibuk dengan pekerjaannya. Ludwina dengan novel yang baru dibelinya, dan Andrea dengan security testingnya.
Ternyata bekerja berdampingan seperti ini rasanya sangat menyenangkan. Angin sepoi-sepoi yang berhembus membuat Ludwina terlena dan tidak lama ia pun jatuh tertidur.
Andrea baru menyadari Ludwina ketiduran saat kepala gadis itu oleng dan menimpa bahunya. Sambil geleng-geleng ia menahan kepala gadis itu dan perlahan-lahan memposisikannya menyandar di bahunya dengan nyaman, tetapi wajahnya tersenyum senang sekali.
Ia tidak akan membangunkan Ludwina, biar gadis itu istirahat di bahunya. Kalau perlu ia akan terus ada di taman ini walau baterai laptopnya habis.
Ludwina bangun satu jam kemudian, dan ia menemukan kepalanya tersandar di dada Andrea, sementara pemuda itu sendiri tidur menyandar ke pohon di belakang mereka.
Hmm... Ia tidak mau membangunkan Andrea.
Ia juga tidak mau beranjak dari dada pemuda itu...
Ludwina memejamkan matanya dan pura-pura tidur kembali. Biar nanti dia tunggu sampai Andrea bangun sendiri...
Ahhh.... betapa damainya suasana ini.
Ludwina tidak ingat pernah merasa begini damai dan bahagia selama hidupnya. Ia tidak mau pulang ke hotel. Ia mau menginap di taman ini kalau perlu.
Saat pikirannya tengah dipenuhi berbagai skenario, tiba-tiba terdengar langkah orang mengendap-endap mendekati mereka. Ludwina curiga dan membuka sebelah matanya, melihat ke arah suara.
Ia menemukan seorang pemuda yang mengira mereka tidur sedang berjalan perlahan-lahan mendekati mereka, tentunya dengan niat jahat. Ludwina langsung sadar bahwa ia mengincar laptop mereka. Ia buru-buru melompat bangun dan menghardik pemuda itu yang terkejut setengah mati.
"Hey! Kenapa kau mengendap-endap begitu? Mau curi barang kami, ya?!" serunya keras.
Sontak pemuda itu kabur terburu-buru.
Andrea membuka matanya dan bangun dari tidur. "Sudah jam berapa?"
"Mau jam 5 sore".
"Kamu mau makan seafood di Makan Sutra?" tanyanya kemudian.
Makan Sutra adalah tempat makan outdoor berisi banyak warung berbagai makanan yang terkenal di Esplanade. Makanan di sana terkenal enak dan murah. Andrea tidak yakin apakah Ludwina yang terbiasa makan di restoran mewah mau makan di sana, tetapi ternyata gadis itu mengangguk bersemangat.
"Mau! Aku lapar."
Andrea menarik Ludwina bangun dari rumput lalu menggandeng tangannya ke halte bus terdekat. Mereka turun di Esplanade lalu makan malam di Makan Sutra.
Andrea tambah menyukai Ludwina karena gadis itu ternyata sama sekali tidak manja, ia mau makan apa saja dan tidak keberatan berjalan kaki jauh ataupun naik turun bus. Tidak sedikit pun ada tanda-tanda ia ingin diperlakukan dengan kemewahan.
Sikapnya pun sangat sederhana. Hanya orang yang mengerti fashion yang bisa menaksir harga tas laptop Hermes yang dibawanya, serta pakaian bermerk sangat mahal yang melekat di tubuhnya.
"I am having a really good day. Thank you for having me." kata Ludwina.
"Aku juga mengalami hari yang menyenangkan. Pekerjaanku beres dan aku bisa menghabiskan waktu sama kamu," balas Andrea. "Kamu kapan pulang ke Jakarta?"
"Belum tahu... Aku menemukan banyak inspirasi di sini," kata Ludwina sambil mengangkat bahu. "Aku lihat nanti deh."
"Selama kamu di sini, kita bisa ketemu kalau kamu mau. Sambil kerja kayak gini, atau jalan-jalan di weekend. Aku bisa kerja di luar kantor 3 hari dalam seminggu kalau aku mau."
"Oh, sounds good. Besok aku mau kerja di Ikea...." jawab Ludwina sambil tersenyum jahil, "Aku suka pura-pura ngantor di ruang displaynya."
"Ikea Alexandra atau Tampines?"
"Yang Tampines aja."
"OK."
Keesokan harinya Andrea menepati janjinya menemani Ludwina mencari inspirasi di Ikea. Mereka makan bakso Swedia siang di kantin Ikea lalu kembali 'ngantor' di ruang yang dipilih Ludwina. Suasana hati keduanya tampak senang sekali.
Keesokan harinya Andrea harus kerja di kantor, maka Ludwina menghabiskan waktunya untuk membaca buku di Restoran Italia di dalam Hotel Raffles. Ia bertemu Andrea sepulang kerja di Chijmes untuk ngobrol sambil makan malam.
Tanpa terasa sudah dua minggu Ludwina berada di Singapura. Ia betah sekali dan tidak terpikir mau pulang. Singapura yang 2 tahun lalu membuatnya bosan setengah mati hingga memutuskan untuk berhenti traveling ke sana, kini terasa sangat vibran dan indah, penuh dengan segala kemungkinan.
Baginya Singapura sekarang dipenuhi oleh cinta.