Tidak terasa seminggu telah berlalu, Azra dan Rhyan sudah kembali bersekolah. Ujian kenaikan kelas sudah dekat, membuat sebagian besar siswa fokus untuk belajar, meskipun masih ada segelintir siswa yang cuek dan tidak memperdulikan hasil ujiannya nanti.
"Ring...ring...ring..." Bel tanda jam pelajaran pertama dimulai berbunyi, seluruh siswa memasuki ruang kelasnya masing-masing.
Di dalam kelas X4 masih terdengar jelas suara keributan siswa, namun sedetik kemudian menjadi tenang ketika wali kelas memasuki ruang kelas.
Ketua kelas memberikan aba-aba dan seluruh siswa dalam kelas memberikan salam kepada wali kelasnya, lalu kembali duduk dengan tenang.
"Selamat pagi murid-murid!" Sapa Ibu Ira.
"Hari ini kita kedatangan murid baru, ibu harap kalian bisa membantunya dalam belajar, karena perpindahannya ini terjadi secara mendadak di waktu ujian penaikan kelas akan di laksanakan!" Terang Ibu Ira, dia khawatir siswa pindahan ini akan mengalami sedikit kesulitan dengan lingkungan yang baru, apa lagi ujian untuk penaikan kelas setiap sekolah kadang ada sedikit perbedaan.
"Alman masuklah!"
Seorang siswa masuk kedalam kelas, tampilannya begitu memukau seisi kelas. Dengan postur tubuh tinggi dan warna rambut metalik, cara berpakaiannya sedikit liar. Entah mengapa Ibu Ira tidak memperdulikan hal itu, bahkan dia memakai tindik telinga di telinga kirinya. Wajahnya tidak kalah tampan dari pangeran Rhyan, membuat seluruh siswi yang memandangnya melongo' tanpa berkedip.
Satu kata yang terngiang di benak mereka.
"Nakal!"
"Alman perkenalkan dirimu!" Perintah Ibu Ira.
"Halo semuanya, perkenalkan nama lengkap saya Almam Triandi Saldi, kalian bisa memanggil saya Alman. Saya murid pindahan dari sekolah SMA GARUDA, karena kedua orang tua saya di pindah tugaskan di kota ini maka saya juga pindah sekolah. Mohon bantuannya dari teman-teman sekalian." katanya sambil membungkuk.
Semua murid tidak percaya dengan apa yang mereka lihat, anak itu terlihat seperti berandalan namun cara berbicaranya sangat sopan. Meskipun penampilannya agak liar tapi dia tidak terlihat seperti berandalan pada umumnya. Lebih seperti berandalan emm sulit untuk di jelaskan, terlihat liar tapi bersamaan berkharisma dan agung.
Saat dia selesai berbicara matanya tertuju pada siswi yang duduk di sudut bagian belakang dalam sekian detik lalu teralihkan ke Ibu Ira.
"Saya sudah selesai Bu!"
"Kalau begitu ada di antara kalian yang ingin bertanya?"
Seluruh murid berlomba-lomba mengangkat tangannya.
"Kamu belasteran ya? tapi namamu biasa-biasa saja nggak ada barat-baratnya gitu!"
"Tinggal dimana?"
"Udah punya pacar belum?"
"Bisa minta nope nya nggak?"
Para siswi bertanya dengan antusias, meskipun pertanyaan mereka sedikit ngawur.
Hal itu membuat Alman melengkungkan sedikit bibirnya ke atas, membuat para siswi histeris, beberpa dari mereka sampai mimisan.
"Tenang-tenang semuanya! Alman silahkan menjawab, tapi jawab saja pertanyaan yang masuk akal!"
"Saya bukan keturunan blasteran, bapak dan ibu saya asli orang Indonesia. Kedua orang tua saya juga tidak mengerti mengapa wajah saya bisa seperti ini, mungkin sewaktu ibu saya ngidam suka liatin foto-foto bule cakep gitu!" katanya bercanda. Alman hanya menjawab satu pertanyaan saja karena hanya itu satu-satunya pertanyaan yang sedikit normal menurutnya.
"Baiklah kalau begitu kamu..." Ibu Ira kini mencari bangku kosong untuk alman tempati.
"Kamu duduk di sana!" Ibu Ira menunjuk ke arah bangku kosong yang terletak di bagian depan, bangku itu tepat berada di samping Rhyan. Semua murid terkejut, karena meskipun Rhyan terkenal ramah namun dia tidak perna memperbolehkan siapa pun duduk di sampingnya. Bahkan ketika dia tak masuk belajarpun, bangku itu tetap di biarkan kosong.
Alman pun berjalan ke arah bangku kosong itu, namun tanpa diduga Rhyan tidak memberikan tanggapan apa pun.
Sedari tadi Rhyan hanya terdiam, dia tidak peduli dengan keadaan di sekitarnya. Rhyan masih dalam keadaan yang tidak mood untuk menanggapi sesuatu, sebenarnya Rhyan enggan untuk masuk belajar namun perasaannya memaksa agar dia dapat melihat Azra hari ini.
Saat pelajaran sedang berlangsung, Dhyan memegang dadanya yang terasa sesak, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dia sempat bertatapan secara langsung dengan Alman, mata mereka bertemu selama sekian detik. Oh tidak apakah aku tertarik padanya? pikir Dhyan dalam hati. Azra yang sibuk dengan memperhatikan guru tidak menyadari tingkah laku sahabatnya yang aneh.