Aku berumur enam belas tahun ketika menikah dengan Rasulullah. Suatu hari, kakakku Asma kembali memergokiku ketika sedang termenung di lantai bagian atas rumah.
"Ke mana kau memandang Aisyah?"
"Terbit matahari.... Begitu indah..."
"Semua masih tertidur di waktu subuh yang dingin ini...."
"Sinar matahari.... Sinar itu seakan-akan seperti ujung jemari matahari. Begitu mulai berjalan di atas tanah..... Rasa kantukku hilang."
"Tiap malam kau juga selalu memandangi bintang-bintang..."
"Sinar juga adalah bentuk asli dari bintang-bintang. Bukankah begitu? Seakan-akan mereka itu mengatakan sesuatu...."
"ketika semua orang tertidur di malam hari, kau masih terbangun..."
"Sinar.... Sinar itu memancar dengan lembut.... Rasa kantukku jadi hilang."
Rasulullah..... Rasa kantukku hilang. Aku berputar seperti planet-planet, seperti seorang pemburu yang kedua matanya tak lepas dari targetnya. Mengikutinya.
Aku adalah bulu di busur panah. Ke mana busur panah pergi, ke sanalah aku ikut.
Dia bersamaku, di waktu bersamaan, juga rasa kantukku....
Tidur nyenyak Rasulullah lebih manis daripada madu, selalu terlihat menyenangkan hati. Aku takut melepaskan tangannya ketika tertidur. Bila terbangun tengah malam, aku mencari-cari dengan tanganku yang gemetaran. Kedua mataku terbakar seperti orang buta bila tak menemukannya. Aku menangis seperti orang buta. Setiap kali ketika ujung jemariku tak bisa menyentuhnya, ah..... di waktu tanganku tak bisa memegang tangannya untuk menemukan dirinya di gelap malam.
Sinar....
Sejauh yang kutahu, aku selalu berlari ke arahnya.... Kadang-kadang ia mengulurkan tangannya ketika tak satu orang pun terbangun di waktu fajar. Sinar lembut matahari terbit membelai daun-daun tipis bunga padang pasir. Tak seorang pun tahu kesedihan seperti apa yang berada di ujung cermin retak. Kadang-kadang sinar itu seperti induk pohon kurma yang ingin menyelimuti anak-anaknya.
Di antara ada dan tiada.... Hanya bisa dilihat mereka yang sabar dan teguh.
Bersama terbit matahari, setelah benang-benang tipis memikat diriku.
Dan semburat sinar dari atas ke bawah.... Dari bawah ke atas. "Seperti itulah bintang-bintang tersebar," ucap sebuah suara di dalam mimpiku....
Berawal hanya cinta.... Dalam bentuk niat yang kukuh.
Sebuah getaran terjadi di pusat cinta, gejolak yang ringan. Dari atas ke bawah, dari bawah ke atas... Seperti itulah awal pergerakan. Pelan-pelan. Kemudian hilang kendali kecepatannya. Dan gesekan-gesekan... Percikan... Api.
Percikan api yang membakar ini menyambar semua nafas yang terembus dari tungku.
Kali ini Percikan berubah menjadi kobaran ketika api bertemu dengan embusan nafas. Kemudian setiap nafas bertambah banyak berawal dari dua, tiga, dan angka-angka berikutnya.
Saat nafas-nafas berbenturan dengan cinta yang berkembang biak, terbentuklah huruf-huruf.... Dengan mad panjang, deretan-deretan huruf itu membentuk kalimat-kalimat.... Dan ledakan.
Cinta adalah ledakan.
Sejalan dengan ledakan, bintang-bintang tersebut luas di cakrawala langit memancarkan sinar.
Sinar itu adalah rumah api.
Angkat harakat tasydid pada api, kemudian ubahlah ke dalam tanwin. Jika tanwin berada di depan, terbentuklah cinta.
Jangan mengumpat kobaran api yang membakar tanganmu, tapi cobalah untuk memahami. Pahamilah, ketahui dari mana datangnya. Itu ialah jalan yang sangat panjang....
Para malaikat mencuci api itu tujuh puluh ribu kali dengan sabar di tujuh puluh mata air surga, kemudian menaruhnya di langit dan menyebutnya matahari. Ia tepat berada dalam jarak yang stabil dengan permukaan bumi, dan hanya sinarnya yang kita rasakan.
Sinar.....
Kisah cinta, kerinduan.... Hanya orang-orang berhati bersih berisi cinta yang dapat menyadari pecahan mimpi nan tipis ini.
Terikat....
Pada sinar kalung kerang yang bergantung di atas telapak tangan padang pasir, muncul dari lautan beriklim beda.
Terikat...
Pada kilauan sinar mutiara, delima yang memikat manusia.
Terikat....
Pada sinar sebutir air mata. Di ujung pedang yang berjuang demi kehormatannya. Pada sinar kebebasan yang berkibas di setiap sayap. Pada niat tulus dari bibir anak-anak yang baru saja belajar membaca. Pada tajam anak panah yang meluncur dari busurnya. Pada sinar-sinar yang berkilauan ini.....
Terikat....
Terikat....
Pada sinar Rasulullah.
Pada senyumnya.
Pada kedua lengannya yang terangkat,
berdoa.
Pada sinar yang menyinari kegelapan
malam.
Pada kerendahan hatinya.
Pada kehendaknya.
Pada kesopanannya.
Pada suaranya.
Pada tangan-tangannya.
Pada kedua tangan yang tak pernah diulurkan untuk hal haram dan ketidakadilan, selalu menunjukkan kebenaran, hanya dan hanya terbuka untuk Rabnya.
Dan pada sinar ujung-ujung jemarinya.
Dan sinarnya mengenaliku.
Sinar yang melindungi dan akan terus
melindungiku.
Aku terikat pada sinar yang tak seorang pun mengetahuinya.
Kesendirianny di waktu senja dan gelap malam, sementara tak seorang pun menjadi saksi mata atas hal itu.
Kesendiriannya yang tak dibagikan kepada siapa pun.
Kesendiriannya yang tak sepenuhnya dipahami banyak orang.
Kesendiriannya yang tak diserahkan kepada siapa pun.
Dalam Kesendiriannya yang syahdu.
Sendirian meskipun berada dalam keramaian.
Aku mencintai sinar ketulusannya, kesedihannya, kepedihannya.
Aku terikat pada sinar pengorbanannya.
Terhadap korban cintanya kepada orang-orang yang dia cintai.
Pada jarak yang dia bentang dengan hal-hal yang dijauhkan.
Pada seberkas sinar, sinar yang dekat dan jauh.
Aku cinta....
Matanya bintang, suaranya sungai, kata-katanya lautan.
Aku terikat pada sinarnya.
Meskipun pernikahan kami telah berlangsung, tapi waktu pertemuan belum tiba.
Ketika mendengar kabar gembira bahwa kaum Muslim sudah tiba di Madinah dengan selamat, kami pun mulai menantikan keputusan Rasulullah.... Kapan perintah Allah akan turun?
Beberapa waktu setelah pernikahanku dengan Rasulullah, kami berharap hari-hari kesedihan di Mekah berakhir.