Tak berselang lama, setelah kedua orang tua Andra puas berbincang dan melepas rindu dengan anak mereka, Wulan dan Arsad akhirnya memutuskan untuk segera pulang. Keduanya berpamitan pada anak dan menantu mereka.
Di teras rumah, Andra dan Andine tengah mengamati kepergian kedua tamu dadakan tersebut. Sampai mobil yang dikemudikan Arsad akhirnya menghilang di belokan ujung jalan. Di saat itu juga Andra dan Andine bisa bernapas lega, senyum lebar yang tadi mereka pamerkan kini langsung lenyap.
"Bagus juga akting kamu, Mas." Sambil berpangku tangan Andine mencibir, memuji akting sang suami di hadapan kedua mertuanya tadi.
Andra menoleh, dahinya mengernyit melihat senyum miring di bibir istrinya. Namun, pemuda itu tak terlalu mempedulikan omongan Andine, ia justru masih kepikiran tentang celetukan sang ibu. Tentang momongan yang sangat ingin mereka dapatkan.
Andra mendesah, pandangannya jatuh ke bawah. "Soal omongan mama tadi, jangan terlalu dipikirin," ucapnya.
Kedua mata Andine memicing, dahinya berkerut bingung. "Omongan yang mana?" tanyanya, sebab ia memang lupa dan tidak terlalu memperhatikan obrolan-obrolan ringan tadi.
Mendengar pertanyaan Andine, pemuda itu lantas mendongak. Ia justru tak mengerti dengan sosok sang istri, bahkan wanita itu merasa baik-baik saja dan tidak terbebani sama sekali.
"Kamu lupa? Atau sengaja nggak peduli?" Mata Andra menatap tajam ke wajah istrinya.
Andine terkesiap, memorinya kembali memutar peristiwa beberapa waktu lalu.
"Soal momongan, An, mama tadi bahas soal cucu!" ucap Andra cepat.
Kedua mata gadis itu lantas membulat kaget. Ya, dia baru ingat sekarang.
"Oh, soal itu? A-aku … emang nggak terlalu mikirin itu kok." Andine tiba-tiba salah tingkah. Ya, bagaimana ia bisa lupa soal obrolan sensitif itu? Suaminya sendiri saja resah memikirkannya.
Andra menghela napas panjang, "Baguslah kalau gitu," ujarnya.
Andine mengangguk, "Wajar kok kalau mama kamu pengen segera punya cucu, dia pasti nungguin kabar tentang kehamilan aku yang entah kapan bakal terjadi."
Mata Andra sinis melirik istrinya yang berdiri di sebelah, kalimat yang dilontarkan Andine memang sengaja menyindir suaminya sendiri. Gadis itu bahkan dengan sikap menantang membalas tatapan Andra yang dingin.
"Jadi … kamu pengen hamil?" tanya Andra dengan mata menyipit, ia melangkah mendekati istrinya yang kini terpaku dengan mata membulat kaget.
Jantung Andine berdebar kencang secara tiba-tiba, ia merasa tatapan dan ekspresi Andra sangat tidak biasa!
"K-kok kamu tanya gitu, Mas?" Andine tergagap dengan mata mengerjap, kakinya perlahan mundur menjauh dari Andra.
Pria itu menghentikan gerakannya, refleks Andine pun ikut melakukannya. Pasangan suami istri itu kini berhadapan dan sedikit berjarak. Andra masih memusatkan pandangan ke arah istrinya, ia kemudian memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana.
Andra mengamati wajah panik milik Andine, lalu tawa kecil pun tersembur begitu saja.
"Baru digituin doang kamu udah takut, padahal pas malem pertama kamu duluan yang mancing," ucap Andra dengan entengnya, membuat mata bulat Andine membesar.
"Kenapa? Pertanyaan aku ada yang salah? Enggak 'kan? Aku cuma tanya, kamu pengen hamil apa engga, tapi bukannya dijawab malah ketakutan gitu."
"Sikap, Mas yang bikin aku takut, ngeri! Mana ekspresinya begitu banget lagi! Emang kalau aku pengen hamil, kamu mau hamilin? Eh!" Gadis itu sontak menutup mulutnya, ia menyadari baru saja keceplosan dalam bicara. Di dalam hati, ia tengah merutuki diri.
Andra tersentak, ditatapnya gadis itu hingga ia tak berkedip beberapa detik. Tak menyangka sang istri akan bicara demikian. Andra berusaha menahan tawa melihat kelakuan wanita muda di hadapannya itu.
"Astaga." Andra menggelengkan kepala. "Inget ya, An, kita udah bahas ini sebelumnya sejak awal pernikahan. Kita udah buat perjanjian, dan kamu harusnya jangan terlalu berharap lebih sama aku. Pernikahan kita bukanlah kemauan aku, jadi aku nggak akan bersedia menjadi suami kamu secara utuh. Ingat itu." Andra menjelaskan dengan suara tenang tapi penuh penekanan, setiap katanya tajam hingga melukai batin istrinya.
Andine terpaku mendengar semua itu, ia menatap sang suami dengan perasaan campur aduk. Seolah-olah harapan yang selama ini dipupuk, mati begitu saja saat Andra kembali mengingatkannya soal perjanjian beberapa waktu lalu.
Tanpa basa-basi lagi, Andra akhirnya memutuskan pergi dan berlalu begitu saja dari hadapan Andine. Ia meninggalkan sang istri yang terabaikan, meninggalkan seorang istri yang terbuang.
Ucapan Andra yang menyakitkan tersebut berhasil membuat Andine seolah kehilangan semangat hidup, wanita itu benar-benar tidak mood dalam melakukan hal apa pun. Bahkan hingga malam harinya, Andine memilih mengurung diri di kamarnya.
Andra yang tidak melihat sang istri di ruang makan untuk makan malam, akhirnya bertanya pada asisten rumah tangganya,
"Bi, Nona Andine belum turun?" tanya Andra seraya menghampiri Bi Lastri di dapur.
Wanita paruh baya itu lantas menoleh, ia menggeleng cepat seraya menjawab, "Belum, Tuan. Nona Andine belum turun dari tadi."
Andra mendesah, tidak biasanya wanita itu seperti ini. Sebelum pukul tujuh malam biasanya Andine sudah duduk manis di salah satu kursi, kemudian saat Andra datang ia akan segera menyiapkan makanan untuknya.
Meskipun Andra sudah menolak berkali-kali, sebab tak ingin dilayani.
"Mau saya panggilin, Tuan?" tanya Bi Lastri, wanita yang sedang menyusun piring itu mengajukan diri.
Andra terkesiap, "Eng … nggak usah, Bi. Biar saya sendiri aja," jawabnya seraya berbalik.
Andra melangkah menaiki anak-anak tangga, pemuda jangkung itu segera menuju kamar Andine.
Tok, tok, tok!
Pintu diketuk oleh Andra, tapi wanita di dalam sana tak kunjung menjawabnya.
"Andine, ini aku! Bukain pintunya!" seru Andra akhirnya, sejak tadi ia mengetuk tanpa panggilan apa-apa, dan Andine tak tergerak sedikit pun untuk membuka.
Hening, Andra tak mendengar suara apa pun dari dalam kamar itu. Ia sampai menempelkan telinga sebelah kanannya ke pintu bercat coklat tersebut.
'Jangan-jangan dia pingsan!'
Entah dari mana pikiran seperti itu datang, tiba-tiba saja muncul di dalam kepala Andra. Membuat pria itu panik.
"Andine! Bukain pintunya! Kamu ngapain sih di dalem? Andine!" Pria itu berkali-kali memukul pintu dengan brutal.
"Duh, berisik!"
Andra terlonjak kaget saat mendengar teriakan dari dalam, pria itu mengusap dadanya sebab jantungnya berdebar kencang akibat terkejut.
Tak berselang lama, pintu akhirnya terbuka. Dan munculah sosok wanita dengan muka bantal dan rambut awut-awutan. Andine menguap beberapa kali, dia tertidur rupanya!
Andra menghela napas lega.
"Kamu ketiduran? Kok bisa tidur lama banget nggak bangun-bangun?" Andra malah mengomel.
Andine mengusap wajah yang tampak lesu itu, saking galaunya ia memilih rebahan dan tak melakukan apa-apa di atas ranjang.
Ia bahkan hanya beberapa kali saja membalas pesan WhatsApp dari Amira, menjawab pertanyaan gadis itu mengapa saat di kafe tempat mereka ingin memesan makanan, Andine tiba-tiba menghilang dan tak kembali lagi setelah ia berpamitan ingin ke toilet.
Dengan mata setengah terpejam, Andine pun bertanya, "Kenapa emang? Kamu kangen sama aku, Mas?" Gadis itu tersenyum sinis.
Bersambung.