Bulan nampak indah di atas sana. Di sebuah rumah daerah Cipaganti, Catur memarkirkan motor klasiknya di sana. Ia melepas helm dari kepalanya kemudian memencet tombol bel yang ada di samping pagar. Sejurus kemudian, seorang pria keluar membukakan pintu dan menghampiri Catur.
Sial. kenapa orang ini yang keluar, rutuk Catur dalam hati.
"Selamat malam, Om Andre. Allea ada?" tanya Catur berusaha tersenyum ramah.
"Apa? Paket? Maaf, kayaknya salah alamat," ketus Om Andre dari balik gerbang.
"Saya bukan kurir pengantar paket, Om. Saya lagi cari Allea. Apa dia ada di ru-"
"Nggak ada," sahut Om Andre. "Dia baru saja keluar sama cowok."
Catur mengernyitkan dahinya. Ragu-ragu ia ingin bertanya, namun diurungkan. Perasaannya menjadi fluktuatif.
"Benaran! Dia keluar sama pacarnya. Kau pulang saja," usir Om Andre yang seolah bisa membaca pikiran Catur.
Pacar? batin Catur.
"Eh, malah bengong. Tunggu apa lagi? Buruan pulang!"
"Ada apa ini rebut-ribut." Seorang wanita paruh baya keluar dari dalam rumah dan menghampiri mereka berdua.
Catur mengela lega. Napas sesaknya tertolong oleh wanita itu. Catur tahu bahwa itu adalah Ibunya Allea.
"Oh, ini Nak Catur itu ya. Teman yang ikut olimpiade sains sama Lea?" tanya wanita itu.
Catur mengangguk takzim.
"Saya Wulan, mamanya Lea."
Mendengar perkenalkan formal ini, Catur jadi merasa bersalah. Entah sudah berapa kali ia sering menjemput Allea, tapi sekalipun belum pernah berkenalan dengan orang tuanya. Bagaimana tidak? Allea sendiri yang melarang Catur untuk turun dari mobil dan bersalaman dengan kedua orang tuanya.
"Mari masuk dulu, saya buatkan minum," ajak Wulan yang inisiatif membukakan pintu pagar.
"Sayang … kenapa malah disuruh masuk? Allea kan enggak lagi di rumah." Om Andre masih bersikeras menolak kehadiran Catur. Tentu saja jika Catur diterima oleh Wulan, maka akan banyak menghambat rencananya, seorang 'pedofil yang berkedok menjadi papa tiri', kata Allea setiap kali menceritakan pria itu.
"Mas, Catur ke sini itu mau belajar bareng sama Allea. Mereka berdua mewakili sekolahnya ikut lomba olimpiade sains. Harusnya kita mendukung, dong."
Kini Catur tersenyum lebar merasa di atas awan. "Benar, Tante. Saya mau belajar bersama di rumah Allea. Tadi sudah janjian." Tapi bohong. Memang Catur ada rencana untuk belajar bersama dengan Allea, tapi soal janjian, jujur saja mereka belum saling berkabar.
"Tuh, kan. Yuk, masuk," ujar Wulan mempersilakan.
Om Andre hanya bisa mengeraskan rahangnya ketika melihat Catur menyunggingkan senyum tengilnya.
"Silakan duduk." Wulan kemudian berjalan ke dalam ruang tengah. Lalu kembali keluar dengan membawa segelas lemon tea.
"Oh, iya tante," ujar Catur sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Apa Allea benar tidak ada di rumah sekarang?"
Wulan mengangguk. "Katanya tadi keluar sama kakak kelasnya. Aduh, siapa tadi namanya. Saya lupa."
"Reytama?" Catur mencoba untuk menebak cowok itu.
"Ah, iya. Lea panggilnya tadi Kak Rey kalau tidak salah."
Catur mengangguk berat. Senyumnya terurai begitu mendengar nama itu. Ia menyesali ucapannya sendiri. Kenapa pula tadi ia malah menerka-nerka Allea pergi dengan siapa.
"Kalau begitu, saya pamit undur diri saja, Tante. Belajarnya bisa besok saja waktu Allea di rumah."
"Loh, kenapa kok buru-buru?. Ditunggu saja dulu enggak apa-apa. Anggap saja rumah sendiri," ujar Wulan sembari membuka kudapan di atas meja. "Mari dicicipi," imbuhnya mempersilakan.
-OoO-
Detik merangkap menit, dan setiap menitnya terus merangkai waktu hingga pukul sepuluh. Sudah hampir 3 jam Catur menunggu kedatangan Allea tapi tak kunjung pulang. Waktu terus menggerus seolah membunuhnya di ruang tamu. Terlebih, pria di seberang sana terus memandangnya dengan tatapan tajam.
Meskipun Wulan lebih banyak mendominasi pertanyaan, Om Andre sesekali juga turut menimpali dengan sarkastis—yang tentu saja membuat Catur tidak bisa nyaman di sana.
"Tante, saya mau pamit pulang saja. Ini sudah hampir larut malam, mungkin besok saja belajar bersamanya." Entah sudah berapa kali pernyataan ini keluar dari mulut Catur. Tapi jawabannya tetap sama.
"Tunggu sebentar lagi saja, Nak Catur. Ini saya juga berusaha hubungi Lea. Sebentar lagi juga pulang kok dia."
"Bagus deh. Mending kau pulang saja. Lagian juga Lea malas belajar sama kau. Dia pasti lelah setelah kencan sama pacar barunya." Sungguh, perkataan Om Andre lebih asam dari lemon tea yang disuguhkan.
"Ssst, Mas! Jangan ngomong begitu," sikut Wulan. "Tunggu sebentar lagi, ya. Pasti Lea sedang perjalanan pulang."
"Enggak, Tante. Saya enggak enak lama-lama di sini." Catur terus mencari alasan agar bisa pulang dari sana. "Lagi pula ini sudah terlalu malam. Enggak baik malam-malam berkunjung ke rumah teman wanita."
"Saya yang lebih enggak enak sama, Nak Catur. Nak Catur jauh-jauh ke sini demi belajar bareng, tapi Leanya malah keluar. Ini anak memang susah sekali dihubungi kalau lagi di luar." Wulan mengomel sendiri sembari berkutat dengan ponselnya—berusaha terus menghubungi anaknya yang tak kunjung pulang.
Catur meneguk lemon tea yang tinggal separuh gelas. "Tante … terima kasih atas perjamuannya. Saya pamit pulang saja sekarang. Besok saja saya ke sini lagi."
Wulan hendak menahannya sekali lagi, namun Catur sudah berdiri di tempatnya.
"Saya pulang dulu, Tante …" Catur menggeser kepalanya, memandang Om Andre. "Saya pulang dulu, Om."
"Ya, pulang saja sana," jawab Om Andre tak acuh.
Wulan berdiri mengantarkan Catur menuju beranda rumah. "Maafkan Lea yang enggak bisa temanin Nak Catur belajar hari ini ya. Kalau tahu tadi Nak Catur mau ke sini, pasti Lea enggak tante izinin keluar."
Catur tersenyum takzim. "Tidak apa, Tante. Saya juga minta maaf merepotkan Om sama Tante di rumah."
"Iya. Kau memang merepotkan kami!" sahut Om Andre dari balik punggung Wulan.
Wulan kembali menyikut suaminya.
Rupanya ada yang lebih asam dari perkataan Om Andre dan lemon tea tadi. Kala Catur melihat kedatangan sebuah mobil model couple di depan gerbang. Seorang cewek keluar dari pintu seat depan mobil. Lalu disusul seorang cowok keluar dari pintu kemudi.
Wulan melihat siapa yang datang dan langsung menghampiri mereka berdua.
"Kamu ini dari mana saja sih, Allea. Jam berapa ini baru pulang?!"
"Maaf, Tante. Jalanan Bandung sering macet."
"Saya enggak tanya kamu!" timpal Wulan. Ia menatap tajam ke arah cowok yang ada di samping Allea.
"Reytama. Nama kamu Reytama, kan?" tanya Wulan dengan nada meninggi. Disahuti dengan anggukan dari cowok di sebelah Allea sebagai jawaban.
"Mulai besok, kamu tidak boleh lagi keluar sama anak saya!"
"Tapi, Ma. Kak Rey enggak salah," protes Allea.
"Enggak ada tapi-tapi. Kamu masuk sekarang. Harusnya kamu belajar sama Catur di rumah. Bukan malah main!"
"Catur?" Allea mengernyitkan dahi. Lalu mengedarkan pandangannya, mencari nama cowok yang disebut oleh ibunya. Keduanya saling bertatapan sejenak. Catur tersenyum di sana.
"Sejak kapan kamu–".
"Sejak tadi!" sahut Wulan. "Kenapa kamu susah sekali dihubungi, sih?!"
"Robin mati, Ma. Tadi Lea lupa enggak bawa charger," jelas Allea.
"Robin siapa lagi ini?!" tanya Wulan masih dengan nada meninggi.
"Ini." Wulan mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. "Namanya Robin," jawab Allea dengan polosnya.
Wulan menggelengkan kepala dengan mata terpejam. "Ya sudah, temuin Catur sana."
Allea memutar pandangan ke arah cowok yang telah mengantarkannya tadi. "Terima kasih buat malam ini ya, Kak Rey." Lantas masuk ke dalam gerbang.
Rey hanya tersenyum tipis.
"Udah. Pulang sana!" bentak Wulan kepada Rey. Ia saat ini seperti indukan singa dan siap melumatnya bulat-bulat.
Rey mengangguk berkali-kali dan buru-buru masuk ke mobilnya.
Sementara itu, kecanggungan terjadi ketika Allea semakin mendekati daun pintu, di mana Catur tepat berdiri di sana.
"Bagaimana kencannya? Lancar?" Catur mencoba untuk mencairkan suasana. Tapi suasana kembali dingin ketika Om Andre ikut menimpali.
"Tentu saja. Kencan dengan pacar baru itu menyenangkan."
Allea memelotot ke arah papa tirinya. "Om Andre bisa masuk nggak?" Om Andre membuka mulutnya hendak berbicara, tapi Allea lebih dulu menyahuti, "Sekarang!"
Om Andre kemudian berlalu dari hadapan mereka. Disusul dengan Wulan yang juga turut masuk ke dalam rumah. Meski sempat terjadi negosiasi sedikit. Ketika Wulan akan membuatkan minuman lagi, tapi buru-buru Catur menolaknya. Dengan dalih ia tidak akan lama di sini dan segera pamit pulang.
Kini beranda rumah menyisakan dua anak manusia yang saling terdiam beberapa menit. Lengang.
"Aku pulang dulu ya. Sampai bertemu di sekolah," ujar Catur sambil berlalu dari hadapan Allea.
"Dinasti Catur …" panggil Allea pelan.
Catur hendak tertawa mendengar panggilan aneh itu lagi.
"Iya?" Catur menoleh ke arah Allea.
"Maaf."
"Enggak perlu maaf. Lagi pula kamu berhak merayakan keberhasilan kita dengan orang lain." Catur tersenyum, lantas berjalan menuju motornya. Meski ia tahu, senyuman itu hanya sebagai letusan bagi dirinya sendiri.
— Bab baru akan segera rilis — Tulis ulasan