Unduh Aplikasi
34.92% Unfaithful From 2568 KM / Chapter 22: UF2568KM || 22

Bab 22: UF2568KM || 22

Tapi, tiba-tiba …,

'Brak!!!'

"Astaga!" Rein dan Haris langsung terperanjak kaget saat tiba-tiba saja Rendi datang dan menggebrak meja yang ada di hadapan mereka.

Rendi menatap horor mereka satu persatu. "Ngapain lo berdua tatap-tatapan kek gitu? Gak baik! Sampe gue dateng ke sini aja kalian gak nyadar saking fokusnya. Awas hati-hati! Dari mata entar keterusan ke mana-mana." Rein menghela napasnya pasrah  lalu ia tersenyum pada kakak laki-lakinya yang sangat tampan itu. "Iya, Kak, enggak, kok."

"Awas aja! Belakang lo berdua kamar, nih, jangan macem-macem!" Rendi pun berlalu dari balkon kamar Rein dan kembali meninggalkan mereka berdua di sana.

"Emang dia pikir kita mau ngapain coba?" Rein memutar bola matanya malas sedangkan Haris hanya terkekeh pelan.

"Tapi emang bener sih yang diomongin bang Rendi. Belakang kita kamar, loh."

"Ya, terus?! Jangan kotor, deh!!! Kalo gak gue lempar nih ke muka lo." Rein mengambil ancang-ancang ingin melemparkan vas bunga pada Haris.

"Galak amat nih cewek." Haris mengambil vas bunga itu dari tangan Rein dan kembali menyimpannya.

"Ini kita cuma mau diem kek gini doang? Bosen banget." Rein mengusap kasar wajahnya dengan kedua tangannya.

"Jalan-jalan keluar, gimana?" Tawar Haris.

"Ck. Enggak, ah. Mager keluar rumah." Haris menghela napasnya lelah lalu ia menatap lembut kedua bola mata Rein. "Terus maunya apa, Cantik …?"

"Gak tau."

Sebuah ide terlintas dalam pikiran Haris, ia tersenyum senang setelah ia mendapatkan ide itu. "Rein, punya gitar?"

"Boro-boro punya gue, bisa juga kagak. Kak Rendi yang punya, noh. Lo pinjem aja kalo mau." Haris mengangguk mengiyakan lalu ia pun beranjak dari duduknya.

Karena kamar Rendi berhadapan dengan kamar Rein, jadi Haris tidak perlu berjalan jauh untuk meminjam gitar pada Rendi. Ia berharap Rendi ada di kamarnya.

Perlahan ia mengetuk sebuah pintu kamar bercat putih itu dan terdengarlah suara seseorang yang menyahut dari dalam. Haris membuka sedikit pintunya dan melihat Rendi sedang fokus pada laptop merahnya.

"Bang, gue pinjem gitar, dong."

"Ambil aja, noh!" Rendi menunjuk pada tempat di mana gitarnya diletakkan dan Haris pun mengambil gitar tersebut yang berada di dekat lemari milik Rendi. "Gue pinjem dulu yo, Bang."

"Yo."

Setelah itu Haris pun kembali ke balkon kamar Rein dengan sebuah gitar putih di tangannya. "Lah, ada pengamen masuk sini."

"Kalo pengamen modelannya ganteng gini kek gue, yang ada pas baru aja gue turun ke jalanan bakal langsung ada agensi yang rekrut gue."

"Halah." Rein mengibaskan tangannya di depan mukanya.

"Gue mau nyanyi biar lo gak bete terus dari tadi." Rein hanya merespon dengan anggukan saja. "Mau lagu apa?"

"Bebas."

"Ya udah."

Haris mulai memainkan alat musik tersebut dan Rein mulai memfokuskan atensinya terhadap pria yang ada di hadapannya saat ini.

"About not too long ago, I woke up feeling kind of blue … Picked up my phone and I decided that I hit up you … We talked for a little while, ask me if I could roll through …,"

Bibir Rein tertarik menciptakan sebuah senyuman cantik ketika mendengar lagu yang dinyanyikan oleh Haris. Entahlah, mood Rein sedikit membaik ketika melihatnya bernyanyi. Haris sangat tampan, tapi Rein tidak pernah berani mengatakan hal itu padanya. Melihat dia yang tampan dan bermain gitar seperti ini telah berhasil membuat ia semakin mencintai pria di hadapannya itu.

Selama ini ketampanannya tertutupi oleh ulah jahilnya dan tingkahnya yang konyol serta mulutnya selalu banyak bicara. Tapi, itulah alasan Rein bagaimana bisa ia mencintai seorang pria seperti Haris.

Setiap kali Haris menatap matanya di sela-sela lagu yang sedang ia nyanyikan, Rein hanya bisa mengarahkan pandangannya ke arah lain. Hatinya berdebar saat pria itu menatap dalam kedua maniknya.

Sampai hingga di penghujung lagu, ia kembali memberanikan dirinya untuk kembali melihat ke arah pria itu.

"Can I call you my own and can I call you my lover? Call you my one and only girl.

Can I call you my everything, call you my baby? You're the only one who runs my world."

Setelah menyelesaikan lagunya, Haris menatap dan tersenyum jahil pada Rein. "Kenapa, Cantik? Baper?"

"Ihk! Ngerusak suasana aja, lo!" Haris tertawa pelan lalu mengambil tangan Rein dan digenggamnya. "Jawab lagunya, dong! Boleh, gak?"

"Boleh," jawab Rein dengan senyum manisnya. "Aduh … manis banget."

"Ih udah, ah! Sejak kapan lo demen ngalusin gue kek gini? Salting gue tuh." Haris terkekeh dan ia memainkan kedua pipi Rein.

"Sejak gue makin jatuh cinta sama lo."

• • •

Malam ini Haris membawa Rein ke rumahnya bersama teman-temannya juga. Orangtuanya dan juga Haikal pergi ke bali kemarin dan baru akan pulang besok lusa. Haris sengaja mengajak mereka semua untuk bermain di rumahnya malam ini. Lagi pula, orangtuanya tidak mempermasalahkan hal itu. Ya, Haris telah meminta izin sebelumnya.

"Ris, si Sakti mau ke sini gak, dia?" Haris yang sedang fokus pada ponselnya langsung melihat ke arah Jifran.

"Iya, dia mau ke sini, kok. Katanya bentar lagi. Dia mau jemput ceweknya dulu." Jifran hanya mengangguk mengerti untuk menanggapi perkataan Haris.

"Cesilla?" Tanya Dara.

"Iya kali."

"Ris, si Rein kok lo diemin? Malah fokus sama HP, lo. Lagi marahan, ya?" Mendengar Sheril berkata demikian, Haris pun langsung melihat Rein yang duduk di sampingnya.

"Kagak, dia lagi PMS. Gue salah mulu jadinya. Yaudah gue diem aja. Ya kan, Cantik?" Rein menepis tangan Haris yang hendak mencubit pipinya. "Tuh, kan?"

"Bukan didiemin, Ris. Lo ngapain kek gitu siapa tau bisa bikin mood dia baikan," usul Sheril.

"Udah-udah! Gak usah mikirin gue, gue emang lagi pengen diem aja gitu gak banyak ngomong. Nyaman bet keknya."

Haris meletakkan ponsel di atas meja dan ia pun beranjak dari duduknya. "Haris, mau ke mana, ih?" Tanya Rein ketika pria itu pergi meninggalkannya.

"Bentar, ya." Haris berjalan ke arah dapur karena ia ingin membuatkan sesuatu untuk Rein.

"Rein, hari pertama?" Rein mengangguk mengiyakan pertanyaan dari Erin. "Pinggang gue pegel banget."

Suara motor tiba-tiba terdengar dari arah luar sana. Mereka semua sudah mengira jika itu adalah suara motor Sakti karena memang sudah tidak terdengar asing lagi di telinga mereka.

"YO! GUE DATENG, BRO!"

"Dateng-dateng rusuh, lo! Napa lo lama?" Sakti duduk di samping Jian sebelum ia menjawab pertanyaan dari Bastian.

"Gue ke rumah cewek gue dulu tadi. Gue mau ajak dia tadinya, cuma ya … dianya gak mau. Katanya lagi pengen di rumah aja."

"Cewek lo masih yang waktu itu lo kenalin sama kita, bukan? Cesi?" Tanya Sheril yang dibalas anggukan oleh Sakti.

Setelah beberapa lama kemudian, Haris kembali dari dapur dengan segelas minuman hangat untuk Rein.

"Minum dulu, nih!" Rein menerima minuman itu dan sedikit menghirup dulu aromanya. "Ris, ini apa?"

"Itu namanya teh lemon jahe. Gue nyari di internet tadi. Katanya sih buat ngeredain nyeri haid." Mereka yang menyaksikan itu langsung bersorak heboh ke arah Haris.

"Kenapa, sih?" Tanya Haris heran ketika ia melihat teman-temannya itu pada ribut.

"Seorang Haris bisa perhatian juga rupanya," celetuk Jian. "Iyalah, lo kira gue paan gak bisa perhatian. Dah Syuh syuh jangan ngeliatin gue ma Rein mulu! Entar lo semua pada syirik."

"Mana ada ya kita kek gitu, Kadal," balas Jian.

"Halah. Oh gak mau diganggu gaes, mereka lagi pengen nikmatin dunia mereka sendiri. Dah dah, kita jangan ganggu!"

"Heem, bener tuh kata si Sakti. Dah, sono sono liatnya sono!" Setelah mereka tak lagi memperhatikan mereka berdua, Rein pun mulai meminum minuman yang telah dibuatkan oleh Haris itu. "Mau sesuatu, gak? Biar gue beliin sekarang."

"Gak deh, Ris. Gue mau tiduran aja. Pinggang gue pegel."

"Ya udah, sini!" Haris menepuk kedua pahanya dan Rein pun langsung meletakkan kepalanya di pangkuan Haris.

"Ini gue gak bawa pacar gue, kan, ya? Dari pada gue liatin bucinan kalian semua yang najisin banget, mending gue jadi back sound di sini. Ris, pinjem gitar lo, dong."

"Bawa aja di kamar gue." Sakti pun langsung menaiki tangga yang menuju kamar Haris. Saat dia sudah sampai, ia melihat gitarnya ada di dekat ranjang Haris, lebih tepatnya tersandar pada sebuah nakas.

Saat ia hendak mengambilnya, Sakti melihat ada sebuah buku novel di atas nakas. "Lah, gak nyangka si Haris baca buku ginian."

Haris yang teringat akan sesuatu di kamarnya langsung meminta Rein untuk bangun dulu dan ia pun langsung menyusul Sakti ke kamarnya.

Saat dia sampai, dia melihat Sakti baru saja meletakkan novel milik Rein pada tempatnya. "Sak,"

Haris mendekati Sakti dan mengambil novel yang sudah diletakkan kembali oleh Sakti di atas nakas. "Lo …?"

"Iya, gue udah buka novel itu. Lo bisa jelasin, gak? Gimana bisa ada nama gue di situ?" Haris menghela napasnya dan melempar novel itu ke kasurnya. Ia pun duduk di pinggir kasurnya seraya sedikit mengacak rambutnya.

"Rein suka sama lo sebelum dia sama gue. Tapi gak gitu juga, sih. Sebenernya, setelah kita beberapa minggu pacaran juga hati dia masih buat lo. Gue berusaha banget buat bikin hati dia cuma buat gue supaya dia bisa secepetnya ngelupain lo. Kita bahkan pernah bertengkar gara-gara novel itu. Dia niat banget ganti semuanya dengan nama kalian, makanya gue ambil novelnya biar dia gak baca lagi. Gue cuma takut kalo misalnya dia bakal berbalik hati lagi sama lo."

Sakti sedikit tertawa. "Aelah, Bro. Udah lo gak perlu sedih kek gitulah. Itu pasti udah lama. Dia juga pasti udah cinta banget sama lo kok sekarang. Ya wajarlah, cewek-cewek emang suka gitu biasanya." Haris mengangguk mengerti. "Pertahanin hubungan kalian berdua, yo. Jangan sampe ada yang lepas," tambah Sakti.

"Thanks, Bro."

"Santai." Mereka berdua pun turun dan kembali berkumpul dengan yang lain. Jian menatap mereka berdua heran, mengapa Sakti kembali dengan tangan kosong? Pikirnya.

"Sak, katanya lo mau pinjem gitar."

"Lah iya gitarnya lupa dibawa. Bodo lah, udah gak mood lagi gue. Gue mau main game aja." Sakti kembali duduk di tempat yang ia duduki sebelumnya dan membuka ponselnya.

"Terus, lo berdua habis ngapain aja di atas?" Tanya Jian lagi.

"Rahasia. Kepo banget lo, Tokek," sahut Haris seraya membiarkan Rein kembali menjadikan pangkuannya sebagai bantal.

"Yeuuu … biasa aja lo, Cicak!"

Sakti mencuri-curi pandang pada mereka berdua di sela-sela ia bermain game di dalam ponselnya. "Jadi … waktu itu lo juga suka sama gue, Rein? Jadi waktu itu … gue sama lo sebenernya saling ada rasa satu sama lain? Gue gak berani nembak lo waktu itu karena gue ngiranya lo bakal nolak gue karena lo tau sikap gue kek gimana. Tapi semuanya udah lewat, Rein. Lo punya Haris dan gue punya Cesilla sekarang," batin Sakti.

"Kalo ngantuk tidur aja gak papa." Haris mengusap kepala Rein yang ada di pangkuannya.

"Jangan nakal tapi, ya." Rein menunjuk Haris.

"Kapan sih Haris nakal, Rein?" Rein terkekeh mendengarnya. Benar juga pikirnya, Haris tidak pernah macam-macam padanya. Lagi pula di sini ada teman-temannya juga, mana mungkin Haris berani berbuat yang tidak-tidak padanya.

"Jangan sok imut, deh!"

"Haris gak sok imut, kok."

"Idih, terus itu apaan? Sok imut."

"Udah, bobok bobok!" Haris menepuk-nepuk pelan pipi Rein dan Rein pun mulai memejamkan matanya. Suasana yang terdengar berisik di telinga Rein mulai perlahan menghilang setelah ia mulai tertidur. Haris melepaskan jaketnya secara perlahan dan ia pergunakan itu untuk menjadi selimut yang akan melindungi Rein dari cuaca dingin.

Haris tersenyum lembut seraya ia memandangi wajah damai Rein ketika ia tertidur. Ia sedikit menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajahnya.

"Cantik."

•To be Continued•


next chapter
Load failed, please RETRY

Status Power Mingguan

Rank -- Peringkat Power
Stone -- Power stone

Membuka kunci kumpulan bab

Indeks

Opsi Tampilan

Latar Belakang

Font

Ukuran

Komentar pada bab

Tulis ulasan Status Membaca: C22
Gagal mengirim. Silakan coba lagi
  • Kualitas penulisan
  • Stabilitas Pembaruan
  • Pengembangan Cerita
  • Desain Karakter
  • Latar Belakang Dunia

Skor total 0.0

Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
Pilih Power Stone
Rank NO.-- Peringkat Power
Stone -- Batu Daya
Laporkan konten yang tidak pantas
Tip kesalahan

Laporkan penyalahgunaan

Komentar paragraf

Masuk