Setelah kawanan tirta menyerang bumi dengan membabi buta telah mereda. Sofia bersama Zeno berjalan pulang, dengan sang wanita yang terus mendahului prianya.
Air mata wanita itu sesekali mengalir tanpa permisi di pipi sewarna pualamnya. Beberapa kali Sofia tersandung dan hampir terjatuh, netranya mengabur akibat kabut di pelupuk integral miliknya.
Langkah kakinya berat. Sangat kentara jika Sofia tengah menahan rasa sakit di salah satu bagian tubuhnya.
"Sofia, biarkan saya membopong tubuhmu. Saya tahu, kamu pasti sedang menahan rasa sakit saat ini," ucap Zeno khawatir.
Wanita dengan tali pakaian yang terikat asal itu tak bergeming. Ia tetap berjalan sedikit tertatih tanpa mau menoleh ke belakang sedikit pun. Raganya memang sakit, tetapi hatinya terasa lebih pedih.
Sesampainya di gubuk milik keluarganya, Sofia langsung masuk ke dalam kamar sang ibu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dari birai ranumnya.
"Nak Zeno, Sofia kenapa?" tanya sang kepala rumah tangga panik.
Dengan sedikit gugup Zeno menjawab, "Sofia, dia marah kepada saya. Saya, membuat kesalahan padanya dengan sengaja."
Ayah Sofia mengangguk, tak ada rasa curiga sedikit pun kepada Zeno. "Tenang saja, marahnya Sofia tidak akan lama. Dia sering seperti itu," jelasnya mencoba untuk menenangkan hati Zeno yang tampak gelisah.
Ibu Sofia menghampiri putri semata wayangnya. Wanita itu akan mencoba menanyai sang buah hati, tentang apa yang terjadi sesungguhnya. Hingga Sofia pulang dengan mata sembab, wajah memerah juga beberapa memar samar di bagian bahu sempitnya.
"Sofia sayang, kamu kenapa? Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" tanya sang ibu dengan raut wajah yang tampak khawatir.
"Tidak apa, Bu. Hanya saja, Sofia sedang tidak enak badan." Sofia bergumam sembari mengeratkan cengkeraman pada alas tidur yang ia tempati.
Wanita cantik itu menutupi bahunya dengan selimut, agar sang ibu tidak menanyakan hal macam-macam pada dirinya. "Ibu, biarkan Sofia istirahat sebentar. Nanti, jika sudah waktunya makan malam Ibu bisa membangunkan Sofia."
Ibu Sofia memilih keluar dari kamar, membiarkan buah hatinya beristirahat terlebih dahulu untuk menenangkan diri. Ia yakin betul jika ada sesuatu yang terjadi antara Zeno juga anaknya.
Di luar, rupanya Zeno juga sudah tidak tampak kehadirannya. Pria itu pasti berada di kamar Sofia untuk beristirahat. Terlihat jelas jika Zeno sedang tidak baik-baik saja.
***
Sesuai permintaan putri semata wayangnya, wanita tua itu masuk ke dalam kamar untuk membangunkan Sofia. "Anakku, sudah waktunya makan malam. Ayah sudah menunggu di luar."
Sofia membuka mata, netra yang sesungguhnya tak pernah terlelap semenjak beberapa jam yang lalu. "Iya, Ibu. Tunggu di luar saja, nanti Sofia menyusul."
Setelah sang ibu meninggalkannya sendiri, Sofia segera bangkit keluar menuju ke arah kamar mandi satu-satunya yang berada di gubuk tempat tinggalnya.
Wanita itu membasuh wajahnya yang tampak kuyu. Matanya juga membengkak dan tampak sedikit merah. Dirasa cukup, Sofia segera bergabung untuk makan malam bersama dengan kedua orang tuanya.
"Ayah, Ibu, Zeno." sapa Sofia sembari mendudukkan dirinya di samping sang pemuda.
Mereka makan dengan tenang dan hangat. Sesekali saling melontarkan lelucon untuk mencairkan suasana di malam hari yang dingin.
Zeno terus menatap ke arah Sofia, hingga tidak sadar jika sesekali ayah dan ibu Sofia memergokinya.
"Nak Zeno, enak?" tanya ayah Sofia sembari terkekeh pelan.
Sedangkan yang ditanya hanya diam, membuat semua mata beralih menatap ke arah Zeno. Hingga pria itu mulai tersadar jika sedang dipandangi. "Kenapa, apa ada masalah?" tanyanya seperti orang bodoh.
"Saya bertanya, apakah enak?" ulang ayah Sofia.
Zeno mengangguk, "Enak, enak sekali."
"Apanya?" tanya ayah Sofia kembali.
Zeno terdiam, ia juga tidak tahu apanya yang enak. Wajah penuh tanya pada pria tampan itu membuah kedua orang tua yang ada di sana tertawa. Hingga mata Zeno bertatap dengan Sofia dan wanita itu memalingkan wajahnya.
"Sofia, bisakah kita berbicara di luar sebentar?" tanya Zeno setelah mereka semua menyelesaikan acara makan malam bersama.
Sofia bangkit, mengikuti langkah Zeno setelah berpamitan kepada kedua orang tuanya.
Keduanya duduk pada kursi bambu buatan ayah Sofia. Sang wanita hanya diam, memandangi bintang-bintang samar yang tertutup kabut mendung.
"Kamu, pasti sangat marah padaku. Maafkan saya, saya hilang akal. Seharusnya saya tidak memaksamu," ucap Zeno lirih.
Sofia memejamkan matanya erat-erat. Kejadian di gubuk tempat ia dan Zeno berteduh, kembali masuk ke dalam pikirannya.
Sofia ingat betul bagaimana Zeno yang tiba-tiba memeluknya dengan erat. Kedua mata mereka saling menyelam dalam, hingga mereka menemukan jika ada rasa cinta di dalam sana.
Dengan gerakan pelan namun pasti, Zeno menidurkan Sofia lalu mengungkungnya. Membuka tali pakaian yang Sofia kenakan.
Hingga beberapa detik kemudian Sofia tersadar atas apa yang akan mereka lalukan. Wanita itu memberontak tanpa suara, menggeleng tanda ia tidak mau terlalu jauh melangkah.
Namun dengan teduh matanya, hati yang saling berbicara. Sofia luluh, memberikan mahkota berharga yang selama ini ia jaga. Dengan suka rela, wanita itu berpasrah diri di bawah kungkungan jagoannya. Sang pria tampan tinggi dengan dada bidang dan rahang tegas yang sangat memesona.
Dinginnya hujan di luar sana tergantikan dengan setiap peluh yang menetes, bercampur baur antara satu dengan yang lainnya. Penuh cinta dan juga gairah, hingga keduanya mencapai puncak sebagai tanda berakhirnya kegiatan panas dua insan manusia di dalam sana.
Tangan dingin yang menyentuh lengan, membuat Sofia tersadar dari lamunannya. "Saya, tidak marah. Saya memang menolak pada awalnya. Namun, pada akhirnya saya hanya berpasrah diri dan mengikuti alur permainanmu."
"Jadi, kamu tidak marah? Besok, saya akan membicarakan ini kepada kedua orang tuamu. Saya akan menikahimu secepat mungkin," janji Zeno kepada Sofia.
Sofia menggeleng pelan, "Tidak akan semudah itu Zeno. Kamu tentu saja perlu membawa keluargamu kemari."
Zeno baru sadar, ia tidak bisa melakukan ini sendiri. Lalu, siapa yang akan ia bawa untuk mempersunting Sofia?
"Besok, saya akan membawa kakak saya kemari. Saya memiliki satu saudara. Namun untuk orang tua, saya tidak bisa membawa mereka, karena keduanya sedang melakukan perjalanan jauh di negeri seberang," jelas Zeno yang dipercayai oleh Sofia begitu saja.
"Terserah bagaimana baiknya, yang terpenting Zeno mau bertanggung jawab," ucap Sofia sembari melemparkan senyum manisnya.
Zeno mengusap pipi hingga ke arah sudut birai sang kekasih. Menekan sedikit pada bagian ranum indah yang menyita perhatiannya. Dengan lembut ia usap rambut Sofia lalu memeluknya erat.
Mendekap dan melindungi Sofia, dari dinginnya sang bayu yang tanpa permisi membelai kulit pualamnya.
Dalam hati, Zeno menyadari kekeliruannya. Namun ia mencinta, lalu dirinya bisa apa?
"Saya tahu, ini bukan awal yang mudah. Tetapi, semoga saja memiliki akhiran yang baik."