Hari ke-10 sejak Levi mendeklarasikan misi utama pada kadetnya. Artinya, sudah 10 hari sejak mereka berlatih dan semakin jauh dari harapan tidur cukup. mereka meninggalkan kabin kosong tanpa bekas di siang hari dan mendapat shift jaga secara bergantian di malam hari untuk mencegah mata-mata. Cukup untuk menguras energi mereka. Shift malam terbagi menjadi 2. Pukul 9-2 pagi dan 2-7 pagi. Masing-masing mereka mendapat 5 jam tidur setiap harinya.
Hari terasa sangat cepat ketika mereka menghabiskan hari mereka di neraka buatan Levi. Namun harus mereka akui, insting dan gerakan mereka mendapat kemajuan walau masih jauh dari harapan Levi. Levi bukan guru yang pandai membuat muridnya senang, namun tak satupun dari mereka mengeluh. Mengerti bahwa usaha keras mereka akan terbayar nanti. Semoga.
Hari berganti menjadi hari ke-11. Pukul 2 pagi dan Petra akhirnya mendapat istirahatnya. Bersyukur melebihi apapun. Badannya yang awal terasa sangat sakit kini seolah tidak merasakan tubuhnya sama sekali.
Mandi air panas akan sangat membantu membuat ototku relax. Pikir Petra. Membuatnya bersemangat segera pergi ke kamar mandi. Namun cahaya lilin di ruang makan mengalihkan perhatiannya.
Itu Levi, terlihat buku tebal dan beberapa coretan di sisinya. Wajah tegasnya semakin meng-kaku. Alisnya semakin mengkerut bersamaan dengan desahan putus asa.
"Kapten, kau masih disini?" Petra menghampiri Levi. Menaruh mug berisi teh di hadapannya dan duduk di sampingnya.
"apa ini?" Levi menunjuk mug di hadapannya.
"teh hangat."
Levi hanya memandang Petra penuh tanya namun tidak terucap olehnya.
"wajahmu semakin menakut- ehem!- tegang ketika memikirkan hal sulit. ini akan membantumu lebih santai."
"wajahku selalu seperti ini."
"yah, tapi setidaknya pikiranmu akan kembali jernih." Petra dapat merasakan dirinya mulai terbiasa dengan mata tajam Levi. "atau kau tidak suka teh? mau kubuatkan kopi?"
"tidak. ini cukup." Lalu Levi membawa mug itu ke bibirnya. "...."
Melihat ekspresi datar Levi, membuat Petra tidak nyaman. "b-bagaimana?" ini tidak seperti pertama kalinya ia membuat teh, tapi ia benar-benar khawatir menunggu jawaban Levi.
"teh apa ini?"
"Black tea. Aromanya membuatmu relax bukan?"
Levi mencoba isapan lain. Sedikit desahan lega terselip keluar dari bibirnya. "yeah. Tapi mug-nya mengganggu."
"ah, aku tidak menemukan cangkir jadi.."
"aku menyukainya."
Petra hampir tergelincir dari kursinya. "kau menyukainya?" untuk pertama kalinya Levi mengatakan hal positif di hadapannya.
"jika aku menyukainya, aku akan mengatakan demikian."
"jadi kau bukan tipe tsundere?"
"hah?"
"ehem! aku akan membuatkannya untukmu jika kau mau."
"aku akan menghargainya."
Petra tidak tahu rasanya di akui oleh Levi akan sebahagia dan sebangga ini, namun tidak bertahan lama. Seolah tertarik paksa kembali ke dunia nyata. Petra menangkap coretan yang Levi kerjakan sebelum ia datang. terlihat seperti sebuah list dan formasi.
"bukankah ini latihan yang kita lakukan sebelumnya?" tanya Petra. Matanya masih tertuju pada coretan itu. Beberapa point tercoret dan terceklist. namun Levi segera menariknya dan menyelipkannya kedalam buku tebal di sampingnya dan menutupnya rapat-rapat. "ah, maaf. aku tidak tahu itu bersifat rahasia."
"kau benar-benar.." namun Levi tidak menlanjutkan.
"Kapten, apa kau tidur setiap malam?" nada Petra jelas terdengar khawatir. Melihat betapa tertekannya ia sebelumnya membuatnya khawatir. Entah bagaimana ia yakin Levi melakukannya setiap malam.
"lakukan tugasmu dan aku melakukan tugasku."
"ah, okay. maaf."
"...." Levi sadar yang ia katakan dingin, tapi ia hanya mengatakan kenyataan. Tapi wajah khawatir Petra membuatnya tidak nyaman. "aku tidur. aku juga manusia yang butuh istirahat."
Seolah puas dengan jawabannya, Petra tersenyum kecil. "syukurlah. tolong jaga kesehatamu, Kapten. walau aku tidak bisa membayangkanmu sakit." ia bangkit dari kursinya dan hendak pergi, namun suara Levi di belakangnya menghentikannya.
"... apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?"
"eh?" Petra menoleh ke arah Levi, menemukan Levi memandangnya tajam seolah sedang menghitung bulu mata di wajahnya. Namun setelah Petra pikirkan lagi pertanyaannya, itu membuatnya semakin malu. "eehh?!"
"sejak hari pertama kau selalu mencari celah untuk menghampiriku, bukan?" tatapan Levi tidak goyah dan itu membuat Petra semakin canggung. Wajahnya mulai memerah mengingat perilakunya ternyata sangat jelas terlihat.
"m-maaf. kau keberatan?"
"apa 'maaf' kata keberuntunganmu? aku hanya bertanya apa yang kau inginkan. promosi? FYI, aku tidak bisa memberika hal seperti itu."
Ternyata Levi tidak berpikir seperti yang Petra pikirkan. Mungkin ia terlalu overthinking. Mungkin ia sedikit berharap. Tapi ia menemukan dirinya lepas dari ketegangan. "w-well. Aku hanya mencoba untuk lebih mengenalmu."
"kenapa?"
"kau tahu, kita sudah berada di Squad yang sama dan aku hanya ingin kita lebih mengenal seperti saudara. Menjadikan Squad ini sebagai rumah untuk pulang." Petra memulai dengan ragu.
"saudara? rumah?"
"yah. Dapat mengandalkan satu sama lain. Berbagi kehangatan selayaknya rumah. Tidak perduli kemana kita pergi, sudara selalu bersama. Dan tempat untuk menemukan cinta."
"....."
"Kapten?"
"hubungan seperti itu hanya akan mempersulitmu."
"kenapa?"
"kita tidak seperti keluarga pada umumnya, Petra. Salah satu dari kita bisa mati kapan saja. Dan hubungan seperti itu hanya akan membuatmu terpuruk ketika itu terjadi dan pada akhirnya menuntunmu pada kematian juga."
"...." Petra terdiam. Memandang Levi sedikit terkejut. Ia tidak menemukan kata yang tepat untuk membalasnya karna ia tahu apa yang Levi katakan benar.
"lupakan soal saudara dan lainnya. Kita di bentuk untuk masa depan umat manusia.."
"tapi kita juga manusia." Kini Levi tersentak memandang Petra. "jika yang kau takutkan adalah perasaan kehilangan, kenapa tidak kau buat kenangan indah bersama mereka. Kau tidak perlu berlarut meratapi kepergian mereka selama kalian berpisah dengan kenangan indah. Mungkin kenangan tidak bisa terulang, tapi mereka bukanlah kebahagiaan palsu. Perasaan bahagia, sakit, sedih dan harapan, itu yang membuat kita menjadi manusia. Dan aku ingin Squad ini menjadi tempat berbagi semua perasaan itu. Perasaan itu yang akan membuatku ingin berusaha untuk tetap hidup dan melindungi orang yang ingin aku lindungi. Namun jika semua usahaku gagal, aku masih memiliki kenangan indah dengannya untuk ku ingat. Kapten, apa kau memilikinya?"
"....." Levi hanya terdiam. Sorot matanya terlihat tenggelam jauh ke dalam ingatannya. Ingatan yang lama terlupakan. Ingatan pedih. Namun ada sudut yang tak pernah tersentuh olehnya karna takut dengan perasaan itu. Seolah Petra telah mendorongnya kesudut itu. Sudut dimana kenangan indahnya tersimpan. Sudut yang ia lupa dengan keberadaannya. Sudut yang tenggelam oleh kenangan pahit yang ingin ia lupakan. "aku... memilikinya.." Levi bergumam, namun cukup keras untuk Petra dengar.
"walau ada kenangnan pahit menyelimutinya, kenangan indah tetaplah kenangan indah. Kau akan merasakan bahagia sama seperti ketika kau membuat kenangan itu. Namun kali ini, perasaan bahagia itu di ikuti rasa sakit. Tidak apa. Karna itu yang membuat kita manusia... Kapten?!" Petra tersentak ketika melihat setitik air mata jatuh dari mata Levi. Bahkan Levi sendiri terkejut. Ia tidak ingat kapan terakhir kali ia menangis.
Petra mencari di sekitarnya sesuatu untuk menghapusnya. Merasa bertanggung jawab. Namun Levi sudah lebih dulu mengeluarkan sapu tangan dari kantungnya.
"Kapten, ma..."
"seperti apa keluargamu?" Levi bertanya. Tidak membiarkan Petra menyelesaikan kalimatnya.
"uh, hanya keluarga normal. Disana ada ayah dan ibu. Dan aku mempunyai adik."
"seperti apa adikmu?"
"umur kami tidak terlalu jauh. Dia anak yang bersemangat dan..."
Dan dengan itu mereka tenggelam dengan perbincangan mereka. Petra menghabiskan 3 jam istirahatnya bersama Levi dan mendapat kantung mata hitam yang lebih besar di pagi harinya. Namun ia sama sekali tidak menyesal. Ia merasa semakin dekat dengan Levi dan itu merupakan kemajuan yang sangat pesat. Ia bahkan tidak sengaja melihat sisi terlemah Levi yang ia pikir sangat manis. walau tidak tahu apa yang membuatnya seperti itu, ia tetap senang. Ia ingin berjalan perlahan untuk semakin mengenal Levi lebih jauh.
Disisi lain, 3 lelaki lainnya tidak bisa melepaskan pandangan mereka pada dua orang di hadapannya yang memiliki sepasang mata panda yang sama besarnya dan piring sarapan yang tidak terlalu mereka sentuh. Sangat ingin tahu apa yang terjadi namun terlalu takut untuk bertanya, mereka memilih diam dengan suasana yang canggung di meja makan.
"Petra, apa yang terjadi?" Oluo berbisik menghampiri Petra yang sedang mencuci piring. Mengambil beberapa piring yang sudah di cuci untuk ia keringkan sebelum ia taruh di lemari.
"apa maksudmu?"
"jangan berlagak bodoh. Semua orang tahu sesuatu terjadi antara kau dan Kapten!"
"wha! Apa maksudmu terjadi sesuatu?! Kami tidak pernah melakukan apapun!"
"bagaimana dengan kantong matamu? Kapten Levi memilikinya juga. Tidak mungkin ini hanya kebetulan bukan?"
"ah, kau membuatku kaget. Kami hanya terlalu larut hingga lupa waktu."
"berdua?! dikamar?!"
"apa yang kau bayangkan, dasar mesum!" Petra memukul kepala Oluo dengan piring yang baru saja ia cuci. "kami disini sepanjang malam."
"disini?!!!"
"ada apa denganmu? Kenapa kau perduli?" tanpa menunggu jawabannya, Petra pergi karna bagiannya sudah selesai dan ia mendengar Levi memanggilnya.
"tidak mungkin, Kapten terlalu bagus untuk Petra. Lihat dia bertingkah seperti Kapten Levi sudah menjadi miliknya." gumam Oluo.
"pakai ini." Levi memberi satu kotak pada Petra. Membuat Oluo menggigit lidahnya sendiri.
"eh? Dari mana kau mendapatkannya?"
"kebetulan aku menemukannya di kota pagi tadi."
Dia sengaja pergi ke kota untuk memberikan Petra hadiah?! Apa mungkin mereka benar-benar.. Oluo mulai membuat skenario sendiri di kepalanya.
"haruskan kugunakan sekarang?" tawar Petra.
Menggunakan apa?!
"kita tidak punya waktu sekarang. Sebaiknya kita pergi." dan dengan itu Levi hendak meninggalkan kabin. "bagaimana nanti malam? Aku akan berada di kamarku." Ia berubah pikiran.
Nanti malam?!! Dikamar!!
"okay!"
Jangan balas seperti itu sebuah permintaan normal! Apa yang akan kalian lakukan nanti malam?!
Oluo terlalu memikirkannya. Tanpa sadar ia terus memperhatikan gerakan mereka berdua selama latihan. Membuat performanya menurun.
TBC------>