Sekali lagi Tara mendapati dirinya tersentak ketika bangun dari tidur lelapnya. Jantungnya berdetak keras sampai ia tersengal kewalahan. Iapun mencoba menenangkan diri dari keadaan ini, meski itu cukup mustahil. Dan posisinya kini masih berada di sebuah kamar mungil, terbaring di atas ranjang sempit dan dirinya tak ubahnya menetap di dalam tubuh seorang Vanilla.
Tara beranjak bangun dari tidurnya sambil memijit pelipis yang kian berdenyut pelan. Alangkah baiknya jika pagi tak ada untuk hari ini. Karena Tara terserang rasa takut untuk menjalani kehidupannya yang entah sampai kapan berlanjut. Serta berbagai hal tak terkendali akan menantinya. Dalam benaknya, ia tidak sehebat apa yang ditampakkannya. Namun satu kata pasti baginya, bahwa selama ia bertahan, suatu nanti dia akan menemukan maksud dari semua ini.
Tara lekas bangun dan menuju kamar mandi untuk mencuci muka menggunakan air dingin. Diapun dapat melihat secercah wajah menawan nan muda dari pantulan cermin kini tampak lebih segar, Tara menelusuri setiap permukaan wajahnya mulai dari garis alis kecoklatan terbentuk sempurna, lalu sepasang mata beriris coklat pekat namun sendu, hidungnya tampak mungil dengan garis rendah, bibirnya merekah merah dan terdapat sedikit luka di sudutnya. Tara hampir lupa jika ia kesal sekali dengan pria yang berani menamparnya semalam.
"Aku katakan padamu Vanilla. Untuk sementara waktu aku akan menjaga baik tubuh ini untukmu." Ujar Tara pada sosok Vanilla yang terpantul di cermin. Meski sifat Tara terkadang menjengkelkan bagi Jake dan Nila, Tara meyakini bahwa ia adalah orang yang baik hati. Bisa dibilang seperti itu, walaupun tidak ada yang bisa menjamin hal tersebut.
Tara tersenyum tipis lalu menuntaskan acara bersih-bersihnya lalu melenggang keluar kamar dengan langkah ragu dan belum sampai hitungan detik Kattie yang tampak sibuk di dapar langsung menyapannya.
"Aku memanaskan kembali bubur untukmu. Duduklah Vanilla. Kau ingin minuman coklat hangat?" Kata Kettie ramah.
"Iya." Tara mengangguk samar. Tentu saja ia merasa canggung ada orang lain berada di bawah satu atap dengannya. Biasanya, pada pagi hari Tara akan melewatkan waktu sarapan, karena ia akan memundurkannya sampai menjelang siang. Tara selalu sendirian, ia bebas menulis cerita kapanpun, ia juga dapat mudah memilih memasak makanannya sendiri ataupun jika malas ia akan melakukan delivery. Tak akan ada yang memarahinya dan apalagi peduli padanya.
Tara duduk di salah satu kursi makan sambil tersenyum menerima segelas coklat hangat dari Kettie. Kattie, wanita penuh kedewasaan sekaligus rambut keemasan yang mencerminkan kehangatan. "Judith menanyakan kondisimu. Apakah kau sudah merasa baikkan? Jika belum, Judith akan memberi tahu Stave kalau kau masih sakit hingga kau tak perlu masuk kerja."
"Entahlah..." Tara mencoba mengingat siapa wanita bernama Judith itu. Dan sepertinya Vanillla bekerja menjadi pelayan di club malam kemarin. Tara sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga kehidupan Vanilla termasuk ia tak boleh kehilangan pekerjaan tersebut. "Pekerjaanku mulai sekitar pukul delapan malam.." Ujar Tara ragu, padahal ia memancing Kattie untuk memberi tahu informasi mengenai ini.
"Hemm. Tidak. Kau selalu datang lebih awal. Pukul tujuh malam."
"Ah.. iya pukul tujuh malam. Dan masih banyak waktu bagiku untuk istirahat. Bisa kau katakan pada Judith, nanti malam aku akan kembali bekerja." Tara berencana sebelum itu ia akan menjenguk tubuhnya yang terbaring di rumah sakit untuk mengawasi apakah ada timbul masalah yang tak menyenangkan.
"Sungguh? Kuharap kau tak terlalu memaksakan dirimu Vanilla."
"Aku baik-baik saja." Tara menumpahkan senyuman untuk memecahkan keraguan Kettie.
Kemudian mereka sarapan bersama. Bubur buatan Kattie terasa lumayan di lidah Tara, lebih tepatnya lidah Vanilla yang terbiasa akan masakan tersebut. Tara kira dia bakal kesulitan berinteraksi dengan Kattie, nyatanya Kattie orang yang sangat supel. Hingga Tara tak bingung mencari topik pembicaraan selama acara makan mereka berlangsung. Ia juga mendapat beberapa informasi kalau Vanilla mempunyai keluarga yang tinggal di penghujung kota Seattle. Kattie lalu lanjut melontarkan pertanyaan. "Oh iya, apa kau jadi berniat mengunjungi orang tuamu setelah perayaan tahun baru ini?"
"Tentu saja. Aku sudah berencana memesan tiket pesawat untuk kesana." Bisa dikatakan Tara pintar berakting bukannya lihai berbohong. Meski begitu ia tetap berhati-hati atas ucapannya yang takut memicu kebingungan bagi Kettie.
Usai sarapan, Kattie berangkat bekerja sedangkan Tara kembali masuk ke dalam kamarnya. Tara membuka sebuah tas milik Vanilla yang ia dapatkan semalam. Terdapat sebuah dompet lusuh berisi beberapa lembar dollar dan tanda pengenal. Tara akhirnya mengetahui nama panjang Vanilla, yaitu Vanilla Flaweret, berkelahiran di Seattle pada bulan Febuary. Dan tahun ini Vanilla akan berumur dua puluh satu tahun. Terbilang cukup muda. Tarapun mengangguk-anggukkan kepala, mulai beranjak paham tentang sosok Vanilla.
Selanjutnya ketika Tara mendapati sebuah ponsel flip milik Vanilla yang terlihat ketinggalan jaman, Tara tak kuasa untuk tidak terkekeh. Tara jadi ingat, dulu ia menyukai ponsel bertipe seperti itu. "Aku senang dengan suara saat ponsel ini di tutup. Tapi aku tetap memerlukan android modern." Seru Tara.
Tara mendekat ke lemari buku yang tersusun sedikit berantakan dengan beberapa lembar kertas lusuh dan robek tampak mencuat dari berbagai selipan. Iapun memperoleh novel-novel klasik ditulis oleh pengarang yang belum pernah Tara ketahui. Sekilas dia membaca halaman pertama bab satu. Tulisan yang dikemas sederhana, juga diikuti pengelupasan konflik dengan berbagai argumen, sudut pandang tokoh utama juga cukup menarik untuk permulaan cerita. Sepertinya Tara akan melanjutkan membaca novel ini nanti sewaktu ia mendapatkan jadwal senggang. Tarapun mengembalikan novel tersebut ke tempat semula.
Setiap sudut kamar Vanilla, Tara jelajahi lebih tepatnya ia mengobrak-abrik tempat itu. Sebuah buku tabungan, buka harian lusuh, catatan-catatan tak berguna, surat tagihan, namun Tara tak menemukan satupun foto. Vanilla seperti hanya memiliki sedikit barang serta perabotan dan entah kenapa ada yang aneh dari semua ini.
Tiba-tiba saja Tara teringat dengan wajah kaku dari seorang pria yang kemarin menolongnya. Ada sebuah rasa melekat di dalam benaknya, begitu dalam nan hangat. Tara yakin jika pria tersebut mempunyai hubungan yang khusus dengan Vanilla. Tapi ia tidak ingin mencampuri percintaan orang lain. Seperti membuang waktu saja.