Ketika Ola begitu mengagumi penampilan Kaluna dengan kecantikannya yang luar biasa, Hendra justru terlihat ragu-ragu menyaksikan keponakan satu-satunya didandani layaknya perempuan dewasa.
“Kamu sepertinya berlebihan, itu keponakan kamu sendiri lho!” komentar Hendra dengan berbisik saat Ola duduk di sampingnya. “Kamu jangan terlalu kelihatan berambisi di depan Luna ...”
“Shh!” desis Ola, sebisa mungkin dia bicara tegas tanpa mengeluarkan suara. “Kamu lihat kan, Luna begitu anggun. Ya ampun Sayang, sini senyum sebentar.”
Kaluna sempat memandang tantenya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Melihat Kaluna hanya duduk diam di belakang, Ola buru-buru mengingatkannya bahwa ini hanyalah acara arisan biasa.
Setelah itu Ola segera mendesak suaminya untuk pergi mengantar mereka ke lokasi pertemuan.
Di sepanjang perjalanan, Ola selalu menyuruh Kaluna untuk tersenyum lebih sering daripada biasanya. Lama-lama Kaluna jadi merasa janggal dengan sikap tantenya yang terlalu berlebihan untuk sebuah acara arisan ibu-ibu semacam ini.
Sebagai keponakan yang hanya ikut ke manapun tantenya pergi, tapi kenapa justru Kaluna yang diminta untuk dandan habis-habisan seperti ini?
Seperti mau dipertemukan dengan keluarga calon suami saja, pikir Kaluna.
"Nah, kita sudah sampai!"
Kira-kira satu jam kemudian, Hendra menepikan mobilnya di depan sebuah rumah megah bernuansa Eropa dan Ola seketika berseru antusias.
"Luna sayang, ayo senyum yang maksimal!" pintanya sambil membuka pintu mobil suaminya.
Kaluna hanya meringis menanggapinya.
"Om Hendra ikut arisan juga?" tanya Kaluna basa-basi ketika dia mengikuti tante dan omnya memasuki pelataran rumah yang didomimasi oleh pilar-pilar gagah di bagian depannya.
"Enggak, arisan ibu-ibu ini ... Om cuma ngantar sama jemput," jawab Hendra jujur. "Jangan tegang begitu, Lun."
Kaluna menggeleng sembari tersenyum pendek dan tetap meneruskan langkah hingga seorang penjaga rumah mendatangi Ola. Dari gerak-gerik yang terlihat, Kaluna tahu bahwa kedatangan mereka seakan sudah ditunggu oleh pemilik rumah megah itu.
Kaluna yang sudah mulai curiga, semakin merasa aneh saat menyadari bahwa di sekitar rumah itu suasananya begitu terlihat sepi. Tidak ada tanda-tanda bahwa si pemilik rumah sedang mengadakan acara kumpul-kumpul seperti arisan atau semacamnya.
"Ini yang namanya Luna?" sapa seorang wanita yang tiba-tiba muncul dan menyambut kedatangan Ola sekeluarga. Dia menoleh memandang Kaluna yang tersenyum dengan wajah yang luar biasa bingung.
Hendra sempat menyapa wanita itu, kemudian dia pamit undur diri dan berjanji akan datang menjemput mereka dua jam lagi.
"Silakan, anggap saja rumah sendiri!" Wanita itu tersenyum lagi ke arah Kaluna dan tantenya.
Kaluna menurut saja saat Ola menariknya lebih jauh ke dalam rumah, apalagi wanita di sebelahnya terlihat sangat ramah dan bersahabat terhadap kedatangan mereka
Selanjutnya Kaluna dipersilakan duduk sementara Ola dan wanita itu mengobrol dengan begitu akrabnya.
Nyaris saja Kaluna mati terserang kebosanan kalau tidak ada tamu lain yang mendadak muncul dan bergabung dengan mereka bertiga di ruang tamu.
"Selamat siang!"
"Siang ... Nah, ini dia Rey datang!"
"Wahhh, sudah dewasa banget dia, Bu! Lebih ganteng daripada yang ada di foto!"
Kaluna yang duduk miring menghadap jendela, sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan kepada suasana heboh yang sedang terjadi di sekitarnya.
"Kuliah di mana kamu, Rey?" Terdengar suara antusias Olla menanyai seseorang yang baru saja bergabung itu.
"Saya sudah kerja, Tante ...."
"Ya ampun, tante kira masih mahasiswa. Oh iya, kenalkan ini keponakan tante." Ola tiba-tiba menarik bahu Kaluna yang masih asyik memandangi jendela dengan pikirannya sendiri. "Lun, ini anaknya Bu Vivian. Namanya Rey, sini kenalan dulu!"
Kaluna terkejut saat Ola menarik bahunya, dia cepat-cepat berdiri karena berpikir jika acara mereka sudah selesai.
"Arisannya udah bubar ya, Tante? Kita mau pulang sekarang? Ya udah, ayo!" kata Kaluna beruntun.
Ola buru-buru merangkulnya sambil tersenyum salah tingkah.
"Apa sih, kita kan baru saja datang." Ola mendesis sambil mengusap-usap puncak kepala Kaluna seakan sedang menjinakkan seekor kucing yang baru saja mengamuk. "Maaf ya, Bu Vivian. Keponakan saya ini orangnya tertutup sekali dan kurang nyaman dengan keramaian sejak kakak saya meninggal."
"Tidak apa-apa, Bu Ola. Saya memakluminya," sahut wanita yang disapa Vivian. "Dulu Luna termasuk ceria saat masih kecil, saya ingat betul."
Kaluna memandang bingung ke arah Ola dan Vivian bergantian. Dirinya sama sekali belum sadar jika sedari tadi ada sepasang mata tajam yang mengawasinya dengan teliti.
"Arisannya belum selesai ternyata?" tanya Kaluna dengan tampang linglung.
"Lupakan soal arisan," sahut Ola sementara Vivian tertawa kecil. "Kenalan dulu sama Rey, anaknya Bu Vivian."
"Rey siapa?" tanya Kaluna sambil memutar tubuhnya dan ketika itulah dia sadar jika ada makhluk lain yang turut serta dalam acara arisan yang digadang-gadang oleh tantenya itu.
Dan jujur, dia adalah makhluk Sang Pencipta yang paling indah yang pernah Kaluna lihat seumur hidupnya.
Tubuh jangkung di atas rata-rata bak seorang model profesional, dibalut kemeja putih dengan jas hitam tersampir di atas salah satu bahunya yang tegap dan lebar, serta celana hitam licin yang membalut kedua kakinya yang panjang.
Ola dan Vivian saling lirik sekilas saat melihat Kaluna yang berdiri membeku di hadapan makhluk Sang Pencipta yang menjelma paling sempurna bernama Rey.
"Kita biarkan dulu mereka saling mengenal secara alami," usul Vivian, disambut anggukan antusias dari Ola yang setuju dengan usul sang pemilik rumah.
"Sudah puas lihat-lihat?" tanya Rey, membuat Kaluna mengerjabkan matanya dan mendongakkan kepala.
Seketika dia terbius, wajah Rey ternyata jauh lebih indah dengan potongan rambut hitam yang ditata rapi dengan belah pinggir, memperlihatkan dahinya yang lebar, dua alis tebal membingkai sempurna sepasang mata elangnya yang menyorot tajam ke arah Kaluna.
Benar-benar makhluk Sang Pencipta yang tercipta paling seksi, batin Kaluna dalam hatinya.
"Aaa ..." Untuk sesaat lamanya Kaluna merasa dia lupa posisinya ada di mana, bersama siapa dan sedang berbuat apa. "Ak-ku ...."
Rey memalingkan muka, merasa tidak perlu untuk memelototi cewek di hadapannya ini seperti Kaluna tadi menatapnya intens sedemikian rupa.
"Cepat katakan, kamu sedang apa di rumah ibuku?" tanya Rey sembari menjatuhkan dirinya ke salah satu sofa yang agak jauh dari posisi Kaluna berdiri.
"Aku ...?" Kaluna terperanjat, dia tidak mengira jika efek yang ditimbulkan makhluk angkuh di depannya ini begitu kuat terasa.
Sesuatu yang belum pernah sekalipun dia rasakan bahkan saat sedang bersama Dewangga.
"Aku tamu di sini!" sergah Kaluna, tidak tahan dengan suasana hening yang mulai mengintimidasinya. Seharusnya sebagai tamu, sudah sewajarnya jika Rey membuatnya nyaman kan?
"Tamu?" ulang Rey sembari menaikkan sebelah alisnya yang lebat. "Tamu dari mana?"
Kaluna tidak bisa tidak cemberut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Rey kepadanya, bahkan tanpa mau repot-repot mempersilakannya untuk duduk lebih dulu.
Kenapa Kaluna merasa seperti seorang murid yang sedang dihakimi oleh gurunya sendiri?
Bersambung -