Unduh Aplikasi
5.1% Second Love / Chapter 19: Part 18. Pulang

Bab 19: Part 18. Pulang

Davie

Aku masuk ke dalam rumah dengan membawa tas ransel. Rumah sepi terasa tak berpenghuni. Entah kemana Papa dan Mama. Maka kemanapun mereka, mereka nanti pasti juga akan pulang. Aku benar-benar lelah sekarang. Aku perlu istirahat agar otakku bisa kembali diajak berfikir dengan baik.

Selama tiga hari aku 'mengungsi' di luar kota, aku memikirkan banyak hal. Bahkan aku sempat membayangkan bagaimana kalau aku melihat Qia menikah dengan lelaki lain? Sanggup kah aku menatapnya?

Tapi karena ucapan Devie, aku merasa semangatku kembali terpacu. Entah sudah berapa kali aku mengatakan perasaaku kepada Qia dengan gamblang, aku lupa. Tapi dia sudah pasti tahu betul kalau aku mencintainya. Mungkin itu saja dulu yang harus dia pahami, sisanya biar aku nanti yang urus.

"Mas Davie!" sebuah panggilan diiringi ketukan pintu, membuat aku harus berdiri dan membukakan pintu. Rencananya memang aku harus segera istirahat karena hari ini aku akan mulai beraksi.

"Ya, Mbak?" seorang asisten rumah tangga yang aku temukan di sana.

"Mas Davie mau makan apa? Ibu hari ini akan pulang telat, jadi nggak bisa masak."

"Memang Mama sama Papa kemana, Mbak?"

"Beliau sedang ada acara syukuran di rumah temannya."

"Sama Devie juga?"

"Iya, Mas." Bagus sekali, bukannya aku nggak perlu mendapatkan intograsi dari mereka bukan? Tidak, paling tidak intograsi itu tertunda.

"Apa aja, Mbak." Akhirnya aku menjawab. Kemudian Mbak mengangguk dan meninggalkan kamarku. Aku segera membersihkan badanku, dan bersiap-siap untuk keluar rumah. Tentu aku akan makan lebih dulu. Mbak sudah menyiapkannya dan tak mungkin aku tega tidak memakannya.

Setelahnya, aku keluar rumah, memacu mobil untuk pergi ke suatu tempat. Untuk memulai hal yang baru, aku harus benar-benar memulai dengan keadaan perasaan yang 'bersih' tanpa beban. Perjuanganku sudah aku mulai, dan aku akan bersungguh-sungguh untuk berjuang.

Selama perjalan, aku memikirkan kalimat awalan apa yang aku ungkapkan kepada mereka ketika kami bertemu nanti. Jika difikir, semua ini adalah hal yang mudah. Hanya meminta maaf bukan? Tapi ini adalah hal yang sungguh sulit bagiku.

Sampai tempat tujuan, aku masuk ke dalam pelataran rumah, memarkir mobilku, dan kemudian berjalan menuju pintu dan menekan bel rumah tersebut. Aku gugup. Dan itu pasti. Tapi aku menahannya. Semua hal pasti ada awal. Dan ini adalah awal dari perjalananku.

"Davie!" ada nada keheranan, tapi ada senyum yang tersungging di bibir perempuan paruh baya yang membukaan pintu rumah tersebut.

"Malam, Bunda." Kataku dengan senyum juga, aku menarik tangannya dan menciumnya. Aku tahu, beliau pasti heran dengan apa yang aku lakukan sekarang. Ini adalah kali pertama aku datang seorang diri di rumah tersebut sejak aku pulang dari luar negeri.

"Masuk-masuk! Ayah ada di dalam." Katanya sambil menarik tanganku dan menutup pintu.

"Gini dong, Dav. Kamu harus sering-sering datang ke rumah. Yah! Ada tamu." Ayah menoleh ke arah kami dan lelaki itu juga tersenyum.

"Wah-wah!" beliau berdiri dan berjalan mendekati kami, "Sepertinya bulan akan bersinar terang malam ini." Katanya bercanda. Sama seperti yang aku lakukan kapada Bunda, aku juga mengambil tangan lelaki itu kemudian menciumnya.

"Ayah terlihat sangat sehat dibandingkan terakhir kali kita bertemu." Ayah memang benar-benar terlihat segar dibandingkan waktu itu yang katanya baru saja sembuh dari sakit.

"Jelas. Ayah sudah sehat sekarang." Katanya. Kemudian kami duduk di sofa ruang keluarga dan mengobrol banyak. Bunda mengambilkan minuman dan juga cemilah yang sudah terhidang di depan kami.

"Kamu udah makan, Dav?" tanya Bunda. "Bunda tadi masak cumi. Kamu juga suka cumi kan?" karena aku suka makanan seafood, dulu ketika singgah di rumah ini, Bunda selalu memasakkan aku makanan tersebut. Entah itu kepiting, cumi, ikan, kerang, atau apapun itu yang dari laut.

Tapi sudahlah, ini bukan waktunya aku untuk bernostalgia. Karena misiku datang ke sini bukan untuk mengingat masa lalu. Tapi untuk memperbaikinya.

"Aku udah makan, Bun." Jawabku, kemudian obrolan kembali berlanjut.

"Kenapa nggak buka usaha aja?" Ayah yang bertanya.

"Aku akan buka usaha juga, Yah, nanti. Karena masih bingung mau buka usaha apa, aku terima saja tawaran kerja tersebut. Lumayan juga kan ada perusahaan yang mau memperkerjakan aku. Buat tambah-tambah uang jajan." Ini adalah obrolan riingan dan kami benar-benar menikmatinya.

Tidak ada pertanyaan yang menjurus pada pertanyaan terkait romansa yang dilontarkan kepadaku. Mereka pasti paham jika itu sangat lah sensitive. Meskipun begitu, aku tidak akan melupakan tujuanku. Maka aku memberanikan diri untuk mengatakan ganjalan dalam hatiku.

"Bunda, Ayah!" panggilku dengan pelan. Ketika mereka berdua menataPt ke arahku, aku bilang sesuatu yang ingin aku sampaikan kepada mereka.

"Aku minta maaf." Ekspresi mereka berubah. "Aku yakin Ayah dan Bunda tahu apa yang aku maksud. Untuk apa aku meminta maaf, dan datang kesini." Suasana berubah menjadi hening dan kaku.

"Semua yang terjadi di masa lalu, adalah benar-benar kesalahan yang aku buat. Tapi Ayah dan Bunda masih sangat baik banget sama aku membuat semua kesalahan itu terlihat mengawang di mataku." Aku tersenyum miris. Benar-benar sangat menyedihkan.

"Ayah dan Bunda sudah memaafkan kamu." Suara Ayah terdengar, "Kami juga ikut andil dalam semua hal yang terjadi." Tidak ada lagi tambahan dalam ucapan beliau seolah semua masalah itu benar-benar sudah tidak difikirkan lagi.

"Davie sudah punya pacar?" Bunda yang bertanya.

"Apa Bunda akan mengijinkan, kalau aku ingin kembali bersama dengan Qia?" suasana kembali hening dan kecanggungan benar-benar terjadi. Aku tahu ini tidak akan mudah. Bunda melirik Ayah, entah apa artinya itu.

"Semua itu tergantung Qia, Dav," Ayah yang menjawab. Dan jawaban itu hanya sampai di sana. Beliau juga tidak mengatakan jika sebenarnya, Qiana akan dijodohkan oleh orang lain. Tapi tentu saja aku tidak akan pernah mendesak dan menanyakan banyak hal. Mereka tidak ingin mengatakan, pasti lah ada pertimbangan lain.

Aku kembali pulang setelah aku merasa jika aku sudah merasa lega sudah meminta maaf kepada Ayah dan Bunda. Sampai rumah, ternyata semuanya sudah datang. Papa, Mama, dan Devie.

Aku ikut duduk bergabung bersama mereka. Devie benar-benar memasang wajah tak bersahabat sambil memicing. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya dan hanya menatapku saja.

"Dari mana?" Mama yang lebih dulu bertanya.

"Menyelesaikan yang harus diselesaikan, Ma." Kataku. Aku tidak menanyakan hal yang sebaliknya dan pamit untuk ke kamar. Besok aku harus bekerja dan aku akan segera beristirahat.

Aku memikirkan apa yang sekarang terjadi dengan orang Tua Qiana setelah aku pulang. Pemikiran seperti apa yang mereka berikan kepadaku. Keterus terangan yang aku katakan tadi memang akan membuat siapa saja keheranan jika tahu apa yang terjadi di masa lalu.

Tapi apa boleh buat. Dibadingkan aku tidak melakukan apapun, lebh baik aku memulai. Hasil akhirnya, kita akan lihat saja nanti seperti apa. Bukankah hasil tidak pernah menghianati usaha?

*.*


next chapter
Load failed, please RETRY

Hadiah

Hadiah -- Hadiah diterima

    Status Power Mingguan

    Rank -- Peringkat Power
    Stone -- Power stone

    Membuka kunci kumpulan bab

    Indeks

    Opsi Tampilan

    Latar Belakang

    Font

    Ukuran

    Komentar pada bab

    Tulis ulasan Status Membaca: C19
    Gagal mengirim. Silakan coba lagi
    • Kualitas penulisan
    • Stabilitas Pembaruan
    • Pengembangan Cerita
    • Desain Karakter
    • Latar Belakang Dunia

    Skor total 0.0

    Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
    Pilih Power Stone
    Rank NO.-- Peringkat Power
    Stone -- Batu Daya
    Laporkan konten yang tidak pantas
    Tip kesalahan

    Laporkan penyalahgunaan

    Komentar paragraf

    Masuk