Unduh Aplikasi
67.74% Secangkir kopi untuk Raditya / Chapter 42: Tristesse

Bab 42: Tristesse

Rembulan memainkan pianonya, jari-jarinya menari diatas tuts piano. Musik yang dimainkan terdengar bagaikan sebuah cerita cinta, terkandung romansa yang indah. Raditya mendengarkan dengan perasaan tak menentu. Cinta, rindu dan kesedihan...ntahlah, dia terhanyut dalam setiap nada-nada yang mengalun.

Raditya sudah tiba di Jakarta setelah dua minggu dia berada jauh dari Jakarta. Dia berangkat dengan penerbangan terakhir. Raditya sengaja tidak memberitahukan Rembulan tentang kepulangannya ke Jakarta, dia ingin memberikan kejutan untuk perempuan itu. Beberapa kali saling mengirim pesan, tak sekalipun Raditya mengatakan kapan dia akan kembali meskipun Rembulan sempat menanyakannya. Raditya selalu mengatakan, "Tunggu saja !" sampai akhirnya Rembulan bosan untuk bertanya. Mungkin perempuan itu juga sangat merindukannya. Raditya tidak berani mengambil kesimpulan karena bagi Raditya tidak mudah mengerti jalan pikiran Rembulan. Raditya cuma berharap perempuan itu memiliki perasaan yang sama dengannya. Ah, perempuan !

Tiba di rumah sudah sangat larut. Ingin rasanya Raditya melihat Rembulan, dia rindu. Tapi dia mengurungkan niatnya untuk menelpon perempuan itu. Di dalam taksi yang mengantarnya dia terus memainkan ponselnya. Raditya dipenuhi dengan keraguan antara menelpon atau tidak. Akhirnya dia memasukkan ponselnya ke dalam tas. Mungkin perempuan itu sudah tidur, Raditya tak ingin mengganggu walaupun rasa rindu sudah membuncah dalam dada.

Begitu di depan pagar, dia mendengar suara denting piano dan sinar lampu yang masih benderang, Raditya tersenyum. Dia membuka pagar perlahan-lahan agar tidak terdengar oleh Rembulan. Dia masih ingin mendengar suara denting piano, itu salah satu yang membuat Raditya rindu untuk pulang. Raditya duduk di sofa, dalam keremangan ruangan. Raditya sengaja hanya menyalakan lampu baca kecil. Dia ingin menikmati alunan nada yang dimainkan Rembulan dalam gelap.

Rembulan terus memainkan pianonya, suara denting pianonya membelah malam. Malam ini dia memainkan tristesse, sebuah karya dari Chopin, sebagai pembuka. Karya-karya Chopin paling sering dimainkannya, Rembulan jatuh cinta pada setiap nada yang diciptakan sang Maestro. Setelah memainkan lima lagu, akhirnya Rembulan menyudahi permainan pianonya. Dia kembali bergairah untuk melanjutkan menulis novel. Rembulan membutuhkan musik untuk mengistirahatkan otaknya yang terus bekerja menyusun kata. Apalagi tadi Rembulan mengalami kebuntuan untuk menulis.

Saat Rembulan menutup piano, ponselnya berdering, nama Raditya tertera di layar ponselnya.

"Kenapa kamu belum tidur?"

Saat mendengar suara Raditya, jantung Rembulan berdegup kencang. Hanya mendengar suaranya saja sudah membuat jantungku berjumpalitan tak menentu.

"Aku belum bisa tidur, ini waktu yang tepat untuk menulis. Tadi aku baru menyelesaikan satu episode."

Terdengar suara Raditya berdecak,"Jangan sering tidur larut malam, tidak bagus untuk kesehatanmu." Rembulan hanya tertawa kecil menanggapi kata-kata Raditya.

"Keluarlah sebentar."

"Apa?Malam-malam begini?" Rembulan heran dengan permintaan Raditya.

"Ke balkon rumah, aku ingin melihatmu sebelum tidur. Aku rasa tidurku tidak akan nyenyak kalau belum ketemu kamu."

"Kamu dimana?"

"Di Jakarta, di rumah...aku sudah pulang. Sedari tadi dalam perjalanan aku terus memikirkanmu."

"Kamu...?"

"Aku mendengar denting pianomu." Raditya melangkahkan kakinya ke balkon rumah.

"Hmm, kamu menyukainya?" Rembulan bertanya sambil melangkah ke balkon.

"Karya siapa yang kamu mainkan?" Raditya sudah berada di balkon menghadap ke arah balkon rumah Rembulan.

"Chopin," katanya sambil berdiri di balkon dan menghadapkan tubuhnya ke arah balkon rumah Raditya. Mereka berhadapan, tersenyum, Raditya melambaikan tangannya ke arah Rembulan.

"Andaikan malam belum larut, aku ingin ke rumahmu untuk melihatmu dari dekat."

"Begini saja lebih baik." Rembulan menyahut, senyumnya terus mengembang. Ingin rasanya dia berlari ke arah Raditya. Menyentuh wajah laki-laki itu dengan jari-jarinya. Ya, begini saja lebih baik.

Rembulan takut tak bisa membendung hasratnya apabila berdekatan dengan Raditya. Walaupun hanya sebatas menyentuh tangannya. Dia takut tingkahnya menjadi memalukan dan terkesan agresif. Rembulan belajar menjaga sikapnya. Rembulan tahu Raditya suka padanya, tapi belum ada pernyataan resmi kalau mereka berpacaran. Biarlah hanya memandangi wajah laki-laki itu. Cukuplah !

Mereka berdua tak bicara lagi, hanya saling memandang di bawah langit malam. Tak perlu kata-kata yang indah untuk disampaikan bahwa mereka saling merindukan. Tatapan mata mereka berdua sudah menyiratkan perasaan itu.

Raditya memecah keheningan diantara mereka berdua, "Masuklah ! Sudah malam. Aku tahu kamu masih ingin melihatku," selorohnya. Rembulan tersenyum tipis.

"Besok pagi aku akan datang ke rumahmu untuk minum secangkir kopi. Kau tahu, kalau aku...."

"Merindukan kopiku....ya aku tahu," sambar Rembulan sebelum Raditya menyelesaikan kalimatnya. Raditya tertawa.

"Sepertinya kamu sudah jadi bagian dari diriku sampai mengerti apa yang akan aku katakan." Raditya tersenyum lebar.

"Tidurku akan nyenyak sekali malam ini karena sudah melihatmu." Mereka berdua meninggalkan balkon, tak sabar menanti esok, saat matahari pagi muncul menampakkan sinarnya.

***

Raditya menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Pagi ini terasa dingin, masih tersisa gerimis semalam yang turun setelah mereka berdua beranjak dari balkon. Raditya mengingat betapa dia merasa bahagia setelah melihat Rembulan dan tidurnya sangat nyenyak.

Raditya mengetuk pintu rumah Rembulan, dia tahu jam delapan Rembulan sudah bangun dan sudah menyeduh kopi. Tadi sayup-sayup dia mendengar suara musik dari rumah Rembulan. Kali ini bukan suara piano. Namun Raditya menyukainya. Sepertinya dia sudah tertular dengan kebiasaan Rembulan yang menyukai lagu-lagu ballad, musik beraliran romantis dan musik klasik. Selera musiknya berubah dari musik yang hingar-bingar menjadi musik yang beraliran lembut.

Raditya berharap Rembulan mendengar suara ketukan di pintu.

***

Perempuan itu tersenyum lebar begitu membuka pintu rumahnya, "Masuklah !" tangannya bergerak mempersilahkan Raditya untuk masuk. Aroma kopi seolah memenuhi seluruh ruangan, menyambut kedatangan Raditya.

"Bajumu basah," katanya sambil menuang kopi dan menyodorkannya pada Raditya.

"Diluar masih gerimis." lagi-lagi Raditya menggosok-gosokkan telapak tangannya.

"Dingin?" Rembulan menyodorkan sepiring pancake yang disiram dengan madu, "Mungkin kopi dan pancake bisa menghangatkanmu."

"Kopi, pancake dan kamu." Raditya mendekat lalu memeluk Rembulan. Dia tidak perduli apabila Rembulan menolaknya. Memeluk perempuan ini adalah salah satu hal yang ingin dia lakukan. Tubuh perempuan ini terasa hangat dalam pelukannya.

Rembulan berdiri kaku, dia tidak menduga Raditya akan memeluknya. Dia membiarkan saja Raditya memeluknya, walaupun dia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Rembulan tetap berdiri mematung. Dia merasakan kehangatan.

"Kemarin, saat aku melihatmu, aku ingin datang untuk memelukmu seperti ini." Raditya bicara perlahan, lebih menyerupai bisikan.

"Aku mencintaimu Rembulan."

Raditya melepaskan pelukannya, tangannya beralih memegang kedua bahu Rembulan. Matanya memandang lekat mata Rembulan seolah mencari jawab disana. Rembulan menundukkan pandangan matanya, terlalu malu untuk menjawab. Dia ingin Raditya tahu isi hatinya tanpa perlu mengatakannya. Raditya mengangkat dagu Rembulan dengan jarinya, "Aku menunggu jawabmu," katanya.

Rembulan diam, dia menutup matanya sesaat, merasa gugup.

"Aku menyukaimu Raditya."


next chapter
Load failed, please RETRY

Status Power Mingguan

Rank -- Peringkat Power
Stone -- Power stone

Membuka kunci kumpulan bab

Indeks

Opsi Tampilan

Latar Belakang

Font

Ukuran

Komentar pada bab

Tulis ulasan Status Membaca: C42
Gagal mengirim. Silakan coba lagi
  • Kualitas penulisan
  • Stabilitas Pembaruan
  • Pengembangan Cerita
  • Desain Karakter
  • Latar Belakang Dunia

Skor total 0.0

Ulasan berhasil diposting! Baca ulasan lebih lanjut
Pilih Power Stone
Rank NO.-- Peringkat Power
Stone -- Batu Daya
Laporkan konten yang tidak pantas
Tip kesalahan

Laporkan penyalahgunaan

Komentar paragraf

Masuk