Raditya duduk nyaman di kursi rotan yang diRadityaberi busa empuk. Dia menuang kopi untuknya dan Rembulan. Matanya sesekali melirik ke arah Rembulan yang masih berkutat dengan buku-bukunya sampai bersimbah peluh.
"Berhentilah dulu sebentar." Raditya ingin Rembulan menemaninya.
"Sebentar lagi!" Rembulan berteriak dari dalam, suaranya tenggelam karena dia sibuk merangkak sambil mengelap rak bukunya.
Tak lama Rembulan berdiri, lalu mencuci tangan dan membasuh wajahnya yang berkeringat.
Pagi ini Rembulan memakai kaos longgar dan celana jeans yang sudah terlihat lama, karena warna celananya sudah pudar dan ada beberapa bagian yang sobek, tapi bukan sobekan yang disengaja seperti ripped jeans jaman sekarang. Raditya terpesona dengan tampilan perempuan itu. Saat dia berdiri dan tertimpa sinar matahari pagi yang masuk ke dalam rumah, dia bersinar serupa malaikat yang sering dilihatnya difilm-film. Raditya tak lepas memandang sosoknya. Perempuan itu duduk dihadapannya, mengangkat cangkir kopi dan menyesapnya. Semua gerak-geriknya tak lepas dari pandangan mata Raditya.
"Oh ya, ini kue yang kemarin aku simpan untukmu, cinnamon cake, semoga kamu suka." Rembulan menyodorkan piring yang berisi beberapa potong kue yang berwarna coklat keemasan.
"Selain menulis novel, membuat kue, bermain piano, apalagi yang bisa kamu lakukan?" Raditya berdecak kagum.
"Memasak." Rembulan tertawa, "Memasak untuk diriku sendiri, menurutku sih masakanku lumayan. Sarah juga mengakuinya."
"Apakah ada undangan untukku makan siang di rumahmu hari ini?"
"Kalau begitu temani aku belanja, kamu mau?"
Raditya mengangguk, tertawa senang. "Tapi luka-lukamu? Apakah tubuhmu terasa sakit? Ngilu? Aku bisa pergi sendiri, aku lupa kalau keadaanmu seperti itu."
"Nggak apa-apa, aku sudah terbiasa dengan rasa sakitnya. Nanti kalau sudah merasakan masakanmu juga akan lebih baik."
"Oh, apakah ini salah satu bentuk rayuan?"
"Bisa dianggap begitu." Raditya lagi-lagi tertawa lepas.
"Kau tak perlu repot-repot merayuku, kita pergi sekarang dan jangan lupa pakai maskermu atau apapun itu yang menutup identitasmu. Aku nggak mau kejadian seperti beberapa hari yang lalu terulang." Rembulan mengingatkan dengan nada sedikit tegas.
"Aku tahu, tunggulah sebentar aku akan menjemputmu."
Raditya segera menuruni tangga, gerakannya tidak bisa segesit biasanya. Rembulan merasa tak enak namun Rembulan tahu Raditya akan bersikeras mengantarnya berbelanja. "Bodoh sekali aku tidak memikirkan keadaannya !" Rembulan mengomel saat Raditya hilang dari pandangan matanya.
Rembulan cepat mengganti baju dengan pakaian yang dirasa lebih pantas.
***
Raditya hanya membutuhkan waktu sepuluh menit, mobilnya sudah berada di depan rumah Rembulan.
Raditya melihat Rembulan menggerai rambut panjangnya, memakai bandana kecil yang berwarna coklat. Bajunya lengan pendek berwarna putih terbuat dari bahan katun dan celana semata kaki berwarna coklat muda.
"Sudah siap berbelanja?" tanyanya sambil mengedipkan mata.
"Semoga kamu tidak bosan melihat aku memilih-milih. Kita belanja di supermarket saja." Rembulan menyebutkan nama salah satu supermarket yang tidak berada jauh dari rumah.
***
"Kamu suka ikan atau daging?" Rembulan berbalik bertanya pada Raditya yang berjalan dibelakangnya.
"Apa saja aku suka kok. Aku nggak terlalu pemilih soal makanan." Rembulan manggut-manggut mendengar penjelasan Raditya.
"Masakan bersantan atau berkuah bening? Berbumbu atau dengan bumbu minimalis?" Rembulan bertanya lagi, kali ini Raditya berjalan di samping Rembulan.
Yang ditanya hanya tersenyum, tangannya merapikan rambut Rembulan yang menutupi dahi "Apapun yang kamu masak, pasti aku makan." Rembulan berdiri mematung, terdiam.
***
Ya ampun, jantungku berdetak sangat cepat. Kenapa dia tersenyum seperti itu? Kenapa tangannya menyentuh rambutku? Kalau begini terus aku nggak yakin akan sanggup menghadapi pesonanya.
Rembulan berdehem, tenggorokannya mendadak terasa kering. Dia segera memilih beberapa sayuran, ikan dan daging sapi. Juga mengambil buah kaleng, dia ingin membuat dessert. Semoga waktunya cukup.
Rembulan bergegas, dia tidak ingin berlama-lama apalagi berjalan di samping Raditya sedari tadi memberi efek buruk bagi jantungnya. Berdetak terlalu cepat, saat mereka berjalan bersisian dan Rembulan tak sengaja menempel sedikit ke sisi Raditya.
Apa orang bilang? Skinship? Oh, bukan...bukan ,dia hanya sedikit melakukan kontak fisik dengan Raditya. Tapi begitulah...hanya bersinggungan sedikit saja, jantungku seperti bermain roller coaster. Berjumpalitan tak tentu arah.
***
"Kamu bisa pulang terlebih dahulu saat aku memasak, nanti aku akan menelponmu kalau semuanya sudah siap."
Begitu tiba di rumah Rembulan mengeluarkan semua barang belanjaannya. Raditya yang berdiri disamping Rembulan memperhatikan semua.
"Aku akan pulang sebentar untuk memasukkan mobil ke garasi lalu aku akan kesini lagi untuk membantumu."
"Nggak...nggak perlu repot-repot membantuku. Aku bisa melakukannya sendiri." Rembulan sedikit gugup. Rembulan membayangkan berada di dapur bersama Raditya. Dia tidak akan sanggup.
"Menurutku tidak benar rasanya kalau aku hanya makan masakanmu tanpa membantu."
"Begini saja, kamu bisa membantu mencuci piring setelahnya. Lagipula keadaanmu sedang seperti ini, kamu perlu istirahat. Beneran kok, aku nggak apa-apa." Rembulan berusaha meyakinkan Raditya bahwa dia akan baik-baik saja.
Bahkan lebih baik kalau Raditya berada pada radius sekian ratus meter darinya. Sungguh, dia ingin jantungnya tetap merasa sehat. Dia juga tak ingin Raditya bisa mendengar detak jantungnya apabila mereka berdiri terlalu dekat. Rembulan pasti akan merasa malu.
"Baiklah, kalau begitu maumu. Aku akan datang nanti."
Begitu Raditya pergi meninggalkannya, Rembulan bisa bernapas lega.
Tapi hal itu tak lama, dua puluh menit kemudian Raditya datang.
"Aku belum selesai memasak," Rembulan protes akan kedatangan tetangganya itu. Dia kira memasak berbagai masakan seperti sim salabim dan semua tersedia.
"Aku tidak tahu harus melakukan apa di rumah, lebih baik aku berada disini." Raditya bicara, tangannya diselipkan ke dalam kantong celana. Sisi tubuhnya bersandar sebagian di tembok. Gesture tubuhnya begitu menggoda. Rembulan segera membuang pandangan matanya, dia mengutuk di dalam hati.
"Kamu bisa berada di lantai dua, membaca buku apa saja sambil tiduran di sofa." Rembulan menggerakkan tangannya, meminta Raditya naik.
"Aku akan mengambil novel dan duduk disini membaca. Aku akan menemanimu." Raditya berjalan ke lantai dua. Rembulan nyaris berteriak merasa frustasi. Tak tahukah laki-laki ini aku ingin menjaga jarak darinya?
Akhirnya Rembulan mengumpulkan kembali semangatnya untuk memasak, dia yakin bisa melewati siang ini dengan damai.
Raditya lumayan lama berada diatas, sepertinya lama memilih novel yang akan dibaca. Rembulan bersyukur untuk itu. Sesekali terdengar suara Raditya dari lantai dua bertanya ini itu kepada Rembulan soal novel. Rembulan sebisa mungkin menjawab, itu lebih baik daripada Raditya berada didekatnya.
"Sepertinya novel ini menarik." Raditya berdiri disamping Rembulan menunjukkan novel yang akan dibaca. Rembulan melirik sekilas. Musashi judulnya.
"Kamu yakin mau membaca novel setebal itu?Itu baru buku pertama lho?" Rembulan menghentikan kegiatannya mengiris bawang.
"Sebenarnya agar aku punya alasan untuk bicara denganmu, membicarakan novel ini."